Sejak 31 Desember 2019, pandemi Novel Coronavirus (2019-nCoV) menyebar dari Cina ke berbagai negara di seluruh dunia. Sejak kasus pertama ditemukan di kota Wuhan, Cina, laporan teranyar dari WHO menemukan bahwa sebanyak 14.557 orang di seluruh dunia telah terinfeksi, dengan 2.604 kasus baru pada 2 Februari 2020. Sejauh ini, 2019-nCoV telah membunuh 304 orang di Cina. Pada 2 Februari, kematian pertama di luar Cina terjadi di Filipina.
Angka lebih seram datang dari John Hopkins University, yang melaporkan 17.459 kasus di seluruh dunia dengan kematian 362 orang. Sejauh ini, 489 orang telah sembuh dari Coronavirus.
Merebaknya wabah tersebut menuai tanggapan beragam dari berbagai negara di seluruh dunia. Beijing menanggapi wabah ini dengan lekas–rumah sakit darurat yang dapat menampung ribuan orang dikonstruksi dalam sepuluh hari dan jatah liburan pasca tahun baru Cina diperpanjang untuk mencegah publik bepergian secara masif. Kementerian Luar Negeri Cina juga telah mengumumkan bahwa pihaknya memproduksi 20 juta masker per hari, tetapi itu tak cukup dan mereka membutuhkan donasi dari luar negeri.
Wuhan dan 14 kota lainnya juga dikarantina total oleh pemerintah pusat, mengunci pergerakan setidaknya 50 juta penduduk. Di kota Wuhan sendiri, layanan transportasi umum seperti bis, kereta, feri, dan bandara dihentikan untuk sementara waktu. Dalam laporan langsung The Guardian, dilaporkan bahwa kota Wenzhou juga ditutup aksesnya dan penduduk dilarang keluar rumah. Di Guyuan, maksimal 25 orang boleh berkerumun dalam ruang publik berukuran 100 meter persegi. Lokasi Wenzhou 800 kilometer dari Wuhan, dan Guyuan 1.200 kilometer dari Wuhan.
WHO memuji respons cepat tanggap dari pemerintah Cina, yang mengkoordinir upaya meredam persebaran wabah tersebut dengan lekas. Namun, sebagian tindakan pemerintah Cina dikritik oleh lembaga pengawasan HAM Human Rights Watch (HRW). Menurut HRW, Beijing lambat mengakui ke publik bahwa pandemi tersebut terjadi, dan berupaya meredam persebaran informasi dari Wuhan melalui sensor internet serta media besar-besaran. Tindakan Beijing yang mengkarantina kota-kotanya dengan dadakan juga dinilai tak menghormati hak pergerakan bebas.
Berbagai negara lekas mencarter pesawat untuk mengevakuasi warga negaranya dari wilayah Cina, terutama Wuhan. Pada Selasa (28/1) malam, misalnya, Jepang mencarter pesawat dari Wuhan yang dapat membawa sekitar 200 penumpang. Sejauh ini, Jepang menjadi negara dengan kasus Coronavirus terbanyak selain Cina. Setidaknya 20 kasus telah terkonfirmasi di Jepang, termasuk seorang sopir bus wisata yang mengangkut turis dari Wuhan pada pertengahan Januari 2020.
Respons serupa dilakukan Kazakhstan, yang mencarter pesawat untuk mengevakuasi 83 orang warga negaranya dari Cina. Kebanyakan warga negara Kazakhstan yang terdampar di Wuhan adalah pelajar. Kazakhstan menyatakan bahwa mereka sekaligus mengevakuasi warga negara dari negara-negara tetangga seperti Kyrgyzstan, Armenia, dan Belarusia. Para warga yang dievakuasi nantinya akan dikarantina terlebih dahulu dan diuji.
Sabtu (1/2) sore lalu, pesawat militer pemerintah Jerman mengangkut 128 orang warga negaranya dari Wuhan dan mendarat di bandara Frankurt. Kasus Coronavirus pertama juga telah menyerang Italia, dan pemerintah di Roma memutuskan menangguhkan tiap penerbangan ke Cina. Swedia dan Spanyol mengumumkan kasus pertama pada hari Jumat (31/1) dan melakukan tindakan karantina serupa. Inggris telah mencarter penerbangan dari Wuhan untuk membawa 83 warga negara Inggris dan 27 warga negara lain, dan menyatakan akan menarik staf dari kedutaan dan konsulatnya di Cina.
Mulai semalam (2/2), pemerintah Amerika Serikat mengumumkan serangkaian kebijakan untuk mencegah persebaran Coronavirus di negaranya. Warga luar negeri yang telah mengunjungi Cina dalam 14 hari sebelum ketibaan di Amerika Serikat tak boleh masuk, dan aturan sama berlaku untuk warga Amerika Serikat yang mengunjungi provinsi Hubei di Cina, muasal wabah tersebut.
Warga negara Amerika Serikat yang kembali pulang wajib dikarantina 14 hari dan dimonitor secara ketat, sebelum dikembalikan ke rumahnya dan wajib tinggal di rumah selama 14 hari lagi. Sejak Rabu (29/1) pagi, Amerika Serikat juga mengevakuasi staf dari konsulatnya di Wuhan.
Namun, ada komplikasi tersendiri yang mengganjal tanggapan negara-negara Asia Tenggara. Laporan dari The New York Times mendapati bahwa negara-negara ASEAN yang bergantung pada pemasukan dari turis Cina atau investasi dari Beijing lamban mengevakuasi warganya. Hoaks dan janji yang tak lebih dari pepesan kosong disebarluaskan bahkan oleh petinggi pemerintahan.
Ambil contoh Myanmar, yang mendadak membatalkan rencana evakuasi 60 siswa yang tengah belajar di Wuhan. Di jalanan Myanmar, loudspeaker mengumumkan saran mutakhir dari biksu-biksu: tujuh butir lada, hanya tujuh dan tak boleh lebih dari itu, harus ditempatkan di ujung lidah. Melalui teknik ajaib tersebut, niscaya Coronavirus emoh menghampiri tubuh Anda.
Respons asal-asalan ini juga merembet ke lembaga-lembaga lain. Dalam sebuah pertemuan khusus untuk membahas persebaran virus di Yangon, salah satu slide show presentasi mengandung lelucon: “Jangan takut pada coronavirus, ia tak akan bertahan lama karena ia made in China.” Sementara, seorang pejabat tinggi bernama U Myint Mg dirundung kontroversi karena membagi informasi bahwa “menurut pemerintah Cina, persebaran Coronavirus dapat dicegah dengan memakan bawang”. Sudah tentu, gagasan ini tidak disokong oleh fakta.
Pemerintah Kamboja juga urung mengevakuasi warganya dari Cina. Bahkan, Perdana Menteri Hun Sen menyatakan bahwa pihaknya tak akan mengeluarkan travel warning bagi negaranya dan warga negara Cina. Menurutnya, tindakan ini dilakukan untuk mencegah diskriminasi terhadap warga Cina. Bahkan, pemerintah Kamboja menyatakan akan menghukum siapa saja yang mengenakan masker wajah di publik, sebab dianggap dapat menyebar panik dan rasa takut berlebih.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Indonesia Terawan Agus Putranto sempat bikin tepok jidat ketika ia menyebut bahwa rakyat Indonesia cukup “enjoy saja” dan “makan yang cukup” dalam menanggapi Coronavirus. Namun, sebetulnya respons pemerintah Indonesia tidak buruk-buruk amat. Pada edisi terbaru (3/1), koran The Jakarta Post melaporkan bahwa pesawat berisi 238 orang warga negara Indonesia telah tiba dari Wuhan dan kota-kota lain di Cina.
Sebetulnya, terdapat 245 orang warga negara Indonesia yang hendak dievakuasi dari Cina dan telah berkumpul di provinsi Hubei. Namun setelah melakukan pemeriksaan awal, empat orang menolak dievakuasi dari Cina sementara tiga orang dilarang angkat kaki dari Cina karena telah menunjukkan gejala sakit. Pasca pertemuan Kabinet baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan bahwa pihaknya “menghimbau warga negara Indonesia tidak bepergian ke Cina untuk sementara waktu”.
Para warga negara Indonesia yang dievakuasi dari Cina tiba di Bandara Internasional Hang Nadim, Batam, pada hari Minggu (2/2) kemarin. Mereka menjalani pemeriksaan medis di dalam pesawat sebelum diterbangkan ke fasilitas karantina di kepulauan Natuna. Rencananya, mereka akan ditempatkan di sana selama 14 hari untuk dipantau secara seksama.
Juru bicara Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa selama belum ada kasus yang terkonfirmasi, para WNI yang dievakuasi “akan diperlakukan selayaknya orang sehat” dan diperbolehkan untuk beraktivitas seperti biasa. Namun, selama dikarantina, mereka tidak diperkenankan untuk dikunjungi orang luar meski boleh berkomunikasi melalui gawai.
Pada Sabtu (1/2) siang, warga Natuna ramai-ramai memprotes terpilihnya pulau mereka sebagai tempat karantina Coronavirus. Mereka berkumpul di depan markas Koramil Ranai, Kabupaten Natuna, bahkan sempat menutup akses menuju Bandara Lanud Raden Sadjad. Menanggapi penolakan ini, presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah hanya menaati protokol karantina dari WHO, dan meyakinkan publik bahwa belum ada satu pun dari 238 WNI tersebut yang dinyatakan positif Coronavirus. “Apapun itu, [mereka] adalah saudara-saudara kita,” ucapnya.