Budaya Pop

Seksualitas Harry Styles dalam Video Klip Lights Up

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

“I’m sorry by the way, never coming back down.”

Dua tahun berlalu sejak Harry Styles merilis album Harry Styles. Beberapa hari lalu, bertepatan dengan National Coming Out Day, musik video “Lights Up” rilis. Di media sosial, para penggemar menafsirkan bahwa Harry Styles hendak come out sebagai seorang biseksual melalui video tersebut.

https://twitter.com/hashiiras/status/1182508077561602048?s=20

Potongan lirik seperti “never going back now” dan “all the lights couldn’t put out the dark” dinyanyikan saat Harry berdansa dan dikelilingi secara intim oleh perempuan dan laki-laki di dalam video klip. Mereka bertelanjang dada, berkeringat, dan saling menyentuh.

Dengan menyanyikan “do you know who you are?” Harry Styles seolah mengatakan bahwa ia baru saja menemukan cahayanya sendiri di ujung terowongan. Ia berdamai dengan dirinya sendiri dan hendak menunjukkan penemuan itu kepada publik sebagaimana adanya.

“Shine, step into the light.”

“Shine, I’m not ever going back,” katanya.

Dalam video tersebut, Harry Styles juga mengenakan baju-baju longgar dan berpotongan dada rendah khas potongan baju perempuan—dengan warna-warna yang tidak identik dengan maskulinitas, seperti biru muda dan hitam gemerlap.

Ini bukan kali pertama Harry Styles mengenakan pakaian yang tidak gender normatif. Dalam Met Gala 2019 yang bertema “Camp”, Harry mengenakan jumpsuit hitam berbahan tule di bagian bahu dan lengan, serta dihiasi renda di tangan. Anting putih bergelantung di telinga kanannya. Jari tangannya penuh dengan cincin dan kukunya dicat warna biru muda dan hitam.

Ia juga pernah merilis lagu yang mengindikasikan bahwa ia pernah berhubungan intim baik dengan laki-laki maupun perempuan. Lagunya yang tak pernah rilis secara resmi, “Medicine” mengandung lirik, “The boys and the girls are in, I’ll mess around with them, and I’m okay with it.”

Namun, di sisi lain, ia juga pernah menyangkal ketika ditanya oleh media apakah ia seorang biseksual. Ia menjawab, “Biseksual? Aku? Sepertinya enggak. Aku cukup yakin.”

Ia kerap mengencani publik figur perempuan, seperti Taylor Swift, Kendall Jenner, dan lain-lain. Ia tak pernah terlihat mengencani laki-laki, terlepas dari rumor-rumor seperti ia dan Louis Tomlinson berpasangan.

Harry Styles memang tak pernah secara lugas mengemukakan gender dan orientasi seksualnya. Selain terkenal menjaga diri dari sorotan publik, mungkin ia juga tidak merasa perlu. Suatu kali, ia bilang tak butuh pelabelan atas seksualitasnya. Namun, ketika ia dan Liam Payne—mantan anggota One Direction—ditanya tentang sifat yang mereka sukai dari perempuan, Harry Styles mengoreksi Liam yang menjawab, “Asal dia perempuan,” dengan, “Bukan berarti itu penting.”

Bisakah kita bilang Harry Styles benar-benar sedang come out? Ataukah ia sekadar queerbaiting lewat video klip “Lights Up”?

Apa Itu Queer Bait?

Representasi identitas LGBTQ dalam budaya pop adalah hal penting. Namun, tak jarang, topik dan dukungan ini cuma dijadikan komoditas.

Queerbaiting pada dasarnya adalah sebuah teknik pemasaran. Sebuah karya populer—film, serial TV, musik, iklan, dan lain—secara sekilas memberikan petunjuk bahwa karakter-karakter mereka adalah queer, tetapi berakhir menampilkan representasi yang tak utuh atau malah menjadikan mereka heteroseksual.

Hendri Yulius, peneliti dan penulis yang sering membahas isu gender dan seksualitas mengatakan bahwa seorang figur publik bisa jadi mengkampanyekan diri mereka sebagai pro-LGBTQ semata-mata untuk dianggap modern dan progresif. “Saat isu LGBTQ sebagai identitas sedang hot, tentu saja media dan figur publik senang memanfaatkannya untuk mendapatkan lebih banyak audiens dan menarik keuntungan,” kata Hendri.

Selain itu, representasi identitas LGBTQ di media pun belum cukup beragam. “Saat kita ngomong tentang queerness, kesetaraan gender, yang muncul kan selebritas-selebritas yang punya kulit putih, able-bodied, cantik, memenuhi standar media. Jadi tidak benar-benar merepresentasikan komunitas LGBTQ secara utuh,” lanjut Hendri.

Salah satu video klip terbaru Taylor Swift, “You Need To Calm Down”, pernah dituduh melakukan queerbaiting. Di satu sisi, video tersebut mempertontonkan pernikahan sesama jenis, kontes drag queen, dan upaya-upaya representasi queerness lainnya. Namun, di sisi lain, The Guardian menyatakan bahwa video klip tersebut masih meneguhkan stereotip tentang homoseksual—gay yang mengikuti pesta teh atau lesbian yang punya tato di lengan.

Tentu, tak hanya itu yang membuat banyak orang skeptis terhadap Taylor Swift dan videonya. Saat ini Taylor Swift memang seorang aktris yang vokal. Di media sosialnya, ia mengatakan pentingnya memperjuangkan hak-hak LGBTQ dan tidak mendukung segala bentuk diskriminasi terhadap gender dan orientasi seksual. Ia pun secara terbuka mengungkapkan siapa yang akan ia pilih di pemilihan senator beberapa waktu lalu. Namun, di tahun-tahun yang lampau, Taylor terkenal apolitis. Dengan fans yang jumlahnya begitu banyak, orang-orang menyayangkan sikapnya yang tidak menggunakan platform tersebut untuk merespons atau mengkritisi masalah rasisme dan homofobia di Amerika.

Pada pemilu 2016, Taylor Swift juga tidak mengemukakan siapa calon presiden yang ia pilih. Ia hanya mempublikasikan foto di media sosial—mendorong orang untuk menggunakan hak pilihnya.

Sementara itu, Harry Styles bersuara keras mendukung kesetaraan gender, menangkal homofobia, dan melawan rasisme. Harry Styles pun turut menjadi wajah dari kampanye parfum genderless Gucci.

Ia mengangkat bendera LGBTQ tinggi-tinggi dalam berbagai konsernya, termasuk di Singapura—tak peduli larangan aparat keamanan dengan alasan isu tersebut masih sensitif. Sebagaimana ia katakan di Rolling Stone, ia ingin memastikan semua orang merasa diikutsertakan dan direpresentasikan dalam konsernya.

Tidak Dipandang Hitam Putih

Hendri Yulius mengatakan sulit untuk menentukan apakah sebuah produk budaya populer sedang melakukan queerbaiting. “Karena motif orang kan terselubung. Ketimbang kita membuat justifikasi sendiri apakah ini queerbait atau bukan, lebih baik kita menyadari ekonomi politik di budaya populer sendiri. Karena di situ ada industri, ada institusi,” kata Hendri.

“Selebritas berbicara dan mendukung LGBTQ itu bagus. Membongkar heteronormativitas. Tapi kita nggak boleh lupa kalau mereka selebritas. Mereka juga membangun image dan bergantung pada profit making. Kita boleh senang, tapi kita jangan lupa dengan perspektif itu juga,” lanjutnya.

Dukungan terhadap LGBTQ juga tidak cukup hanya dengan membawa bendera pelangi ke konser. “Yang saya tunggu, para selebritas benar-benar terlibat dengan komunitas ini. Lalu ketika kita berbicara tentang mendukung hak-hak LGBTQ, lihat pula hak-hak LGBTQ yang homeless, yang berkulit hitam, atau yang punya disabilitas. Jadi nggak hanya hak-hak berekspresi atau sesimpel melegalkan same-sex marriage,” kata Hendri.

Terlepas itu, walaupun dalam video klip “Lights Out” Harry Styles seolah-olah sedang coming out, bukan berarti ia harus memberikan penjelasan dan menjustifikasi kebenarannya ke publik. “Ketika ia sendiri tidak mau coming out ke publik, apakah itu salah? Tidak. Kenapa kita harus memaksa kalau dia nggak mau? Bukannya coming out itu voluntary awalnya?” kata Hendri.

Sebagai mantan anggota One Direction, Harry Styles bisa jadi terbiasa untuk menyaring segala opini atau kebiasaannya sebelum sampai di publik. Zayn Malik pernah mengatakan bahwa dirinya dan anggota-anggota One Direction lain tak punya kontrol kreatif terhadap musik mereka. Mereka juga dituntut untuk selalu terlihat bahagia ketika mereka sebenarnya, seperti dikatakan Zayn, “tidak bahagia melakukan itu.”

Seorang penggemar musik Harry Styles di Genius, Angelina Raviolo, mengatakan bahwa kini Harry Styles sedang masuk ke babak barunya. “Ia tidak akan kembali ke tempat gelap di mana apa yang ia lakukan selalu disensor dan ia harus meminta izin untuk bisa melakukan sesuatu. Kini, ia bebas. Dan ia tidak akan menukar kebebasan tersebut dengan apa pun,” kata Angelina.

Harry Styles dalam video klip “Lights Up”-nya selalu mengenakan baju dengan kancing terbuka. Tato kupu-kupu di dadanya beberapa kali terlihat jelas di kamera. Ia membuka tangannnya lebar-lebar sembari duduk terbalik di belakang motor. Memperlihatkan bagian-bagian tubuh dan tatonya yang bersifat personal, mungkin Harry Styles sedang membebaskan dirinya, membiarkan sisi rentannya tertangkap kamera.

Terlepas dari apakah Harry Styles sedang membicarakan tentang seksualitasnya atau bukan, “Lights Up” adalah sebuah lagu tentang kebebasan. Sebagaimana adegan di video klip di mana polisi menyetop dirinya di jalan, ia paham ada konsekuensi dari kebebasan tersebut. Namun, ia tidak akan berhenti—sebagaimana yang ia katakan pula, “I could, but wouldn’t stay.”

Share: Seksualitas Harry Styles dalam Video Klip Lights Up