Budaya Pop

Seksisme itu Nyata, Tugas Media Bukan untuk Memperparah

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Baru-baru ini, Mojok.co, media online yang terkenal karena guyonan dan suara kritisnya, menerbitkan dua artikel misoginis. Esai berjudul “Panduan Memahami Gelagat Cewek Sange buat Para Cowok” yang diterbitkan pada Rabu (7/8/2019) menyebut perempuan senang bermain kode yang “lebih sulit dipecahkan ketimbang sandi rumput anak pramuka,” dan menganggap perempuan yang berani mengirim foto eksplisitnya “barbar.”

Hanya berselang dua hari, Mojok.co menerbitkan naskah “Jangan Munafik: Bukan Perkara Catcalling-nya, tapi Siapa Pelakunya.” Penulis artikel tersebut, Abul Muamar, menganggap perempuan yang disuit-suit di jalan hanya merasa terlecehkan jika pelakunya buruk rupa. Ia juga menyatakan bahwa jumlah orang yang risi untuk di-catcall tidak banyak, sebab pada dasarnya “orang senang digoda.”

Tulisan Abul memang diterbitkan dalam rubrik user-generated content, yang dinamai Terminal Mojok, sehingga tak dapat dianggap mewakili pandangan tim redaksi Mojok.co. Namun, mengingat artikel sebelumnya berasal dari meja redaksi dan pernah terbit pula esai yang terang-terangan homofobik, tentu kita boleh bertanya: mengapa tulisan-tulisan semacam itu lolos dan disetujui?

Prima Sulistya selaku pemimpin redaksi mengaku tak setuju secara personal dengan pandangan yang ditawarkan oleh artikel-artikel tersebut. “Prinsip di Mojok, kami tidak hanya menaikkan esai yang isinya sesuai dengan prinsip kami pribadi maupun konsensus Mojok. Pikiran yang berbeda tak bisa diberangus dengan cara menutup jalur komunikasinya. Justru pikiran-pikiran berbeda harus diungkap agar prasangka bisa dikoreksi,” tulis Prima dalam surat permohonan maaf. Ia mengharapkan ada artikel atau argumen balasan sehingga tercipta ruang diskusi yang sehat.

Namun, harapan tinggal harapan. Mojok diserbu protes dan ungkapan kekecewaan pembaca. Bagi banyak orang: tak ada yang perlu didiskusikan dari sebuah artikel yang mengafirmasi sudut pandang misoginis serta tidak berempati terhadap trauma berkepenjangan yang dialami korban pelecehan dan kekerasan seksual.

Persentase Perempuan dan Kultur Redaksi

Yang terjadi pada Mojok.co tentu bukanlah yang pertama di antara media-media di Indonesia. Dalam kasus-kasus perkosaan, media-media daring maupun cetak yang lebih konvensional seringkali menempatkan perempuan sebagai objek seksual dan berbalik menyudutkan korban.

Judul berita seringkali menyematkan usia, status kawin, hingga keterangan soal paras perempuan. “Muda”, “janda”, dan “cantik” jadi kata kunci—seolah-olah perkosaan dipandang sebagai situasi yang sewajarnya mengundang hasrat seksual. Kata-kata seperti “cabe-cabean”, “berjalan sendirian di malam hari”, hingga “memakai pakaian yang ketat dan pendek” seolah-olah membingkai perkosaan sebagai kesalahan korban.

Pemberitaan yang diskriminatif terhadap perempuan ini tak hanya terkait kekerasan seksual. Penelitian dari Universitas Multimedia Nusantara mengumpulkan berita-berita di Tribunnews, media online ketiga terbesar di Indonesia menurut Alexa. Hasilnya: tak sedikit pemberitaan kasus korupsi yang menyalahkan perempuan karena gaya hidup sosialitanya, menjadikan perempuan objek seksual di iklan-iklan komersial, hingga meresensi fisik para politikus perempuan.

Selain itu, menurut laporan Global Media Monitoring Project pada 2015, penggambaran perempuan dalam media masih lebih banyak seputar peran-peran domestik, seperti istri dan ibu rumah tangga, dan seringkali dideskripsikan “emosional” dan “histeris”. Perempuan pun digambarkan lebih tidak sukses, kurang berpendidikan, serta kurang otoritatif dibandingkan laki-laki.

Kecenderungan untuk mengobjektifikasi perempuan di pemberitaan-pemberitaan ini bisa jadi dipengaruhi oleh kurangnya perspektif dan partisipasi perempuan itu sendiri di media, baik sebagai anggota tim redaksi maupun narasumber.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Tempo Institute terhadap tujuh media cetak dan tiga media daring (Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Bisnis Indonesia, The Jakarta Post, Jawa Pos, Tempo.co, Kompas.com, dan Detik.com), narasumber perempuan hanyalah 11% dari 22.900 orang.

Jumlah perempuan dalam tim redaksi media-media di Indonesia belum diketahui. Namun, menurut riset Women’s Media Center terhadap media-media di Amerika Serikat, pembuat reportase analisis masih didominasi oleh laki-laki, sebanyak 63%. Mengingat masih adanya jurang yang tinggi antara Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki dan perempuan di Indonesia selama 2017-2018, hasilnya boleh jadi tak jauh berbeda.

Ketimpangan partisipasi perempuan dan laki-laki di media tentu berpengaruh terhadap perspektif yang ditawarkan media kepada pembaca. “Semakin banyak perempuan tidak digambarkan setara dengan posisi laki-laki di media, semakin banyak pula perempuan yang kehilangan kepercayaan dirinya dan memilih menghindarkan diri dari media. Akhirnya, perempuan yang terepresentasi di media pun menjadi semakin sedikit,” ujar Colette Davidson dalam “Mengapa Industri Media Mesti Berkomitmen terhadap Kesetaraan Gender.”

Selain porsi yang setara, menciptakan ruang dan kultur redaksi yang ramah perempuan juga tak kalah penting. Sebagaimana yang terjadi di Mojok.co–pemimpin redaksinya dan 43% pekerjanya adalah perempuan–tim redaksi dengan persentase perempuan yang tinggi bukanlah jaminan bahwa tulisan-tulisan yang terbit senantiasa gender sensitive.

“Perempuan juga bisa menggunakan bahasa yang sama seksis dan misoginisnya dengan laki-laki. Bahasa-bahasa tersebut telah menjadi trope atau stereotip, sehingga tak dipertanyakan lagi,” ujar Amy Kovac-Ashley, direktur pembelajaran ruang redaksi pada American Press Institute.

Jurnalisme lahir dari kultur yang maskulin, dan hal tersebut tak begitu saja mudah hilang. Sara Liao dalam Asian Journal of Communication berkata bahwa jurnalis perempuan seringkali mesti menyesuaikan diri dengan kultur redaksi yang lebih dominan supaya kariernya bisa maju. Walaupun mereka berada di posisi tinggi, asimilasi dengan pihak yang lebih dominan membuat nilai-nilai yang mereka anut jadi tidak jauh berbeda dengan jurnalis-jurnalis laki-laki.

Kebebasan Berpendapat, Keberpihakan Media

Dalam pernyataan dan permintaan maaf tentang dua artikel Mojok, Prima beralasan bahwa cara pandang seperti penulis artikel umum ada di Indonesia. Mengangkatnya di media menjadi upaya agar pembaca menjadi paham akan kondisi tersebut, dan juga untuk membuka ruang dialog.

Tentu tak dapat dimungkiri masih banyak laki-laki dan perempuan Indonesia menganggap remeh catcalling, tak menganggapnya termasuk dalam pelecehan seksual, bahkan menyalahkan perempuan dalam kasus-kasus perkosaan.

Tak hanya masyarakat umum, aparat kepolisian dan proses hukum yang seharusnya menyediakan ruang aman bagi korban untuk melaporkan kasusnya justru berakhir ikut menyalahkan korban dan membuat penderitaan mereka semakin berat. Belum lagi para politikus yang tak kunjung menyetujui Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Sebagai jembatan informasi antara peristiwa dan masyarakat umum, media bertanggung jawab besar terhadap bagaimana ia membingkai berita atau tulisannya.

Untuk memperlihatkan situasi masyarakat yang masih seksis dan homofobik, bukan berarti media mesti memberikan ruang, apalagi pembenaran, bagi pandangan tersebut. Lihatlah apa yang terjadi ketika Cambridge Analytica sengaja menciptakan konten-konten hate speech berdasarkan data yang diberikan Facebook untuk mendongkrak suara Donald Trump dalam pemilu Amerika Serikat lalu.

Media justru mesti ikut bergerak untuk mengakhiri diskriminasi berbasis gender. Informasi yang disampaikan media mencerminkan realitas. Kemasan atau pembingkaian media terhadap suatu isu adalah bentuk dari constructed reality.

Sebagaimana The Guardian yang beberapa waktu lalu memperbarui panduan gaya penulisannya, termasuk dengan mengganti climate change menjadi climate emergency, crisis, atau breakdown, pengaruh dapat diciptakan media mulai dari tingkat pemilihan kata. Mengubah “change” menjadi “crisis” memperlihatkan urgensi permasalahan lingkungan, yang kelak akan berpengaruh besar terhadap persepsi pembaca dan pembuat kebijakan.

Dalam kasus kesetaraan gender, media bisa lebih rajin menimbang ulang kata-kata yang hendak disematkan kepada perempuan, khususnya yang tidak lazim ditempelkan kepada laki-laki. Apakah laki-laki dengan status karier yang tinggi akan diberi pertanyaan tentang cara menyeimbangkan karier dan rumah tangga? Apakah istilah “pelakor” punya padanan untuk laki-laki yang merebut istri orang, atau berselingkuh dari istrinya?

The Conversation telah mengelompokkan jenis-jenis “gender traps” yang media lakukan ketika memberitakan tentang politikus perempuan. Beberapa di antaranya adalah memfokuskan berita pada kehidupan domestiknya, mengasosiasikan si perempuan dengan laki-laki yang lebih punya kuasa dan pengaruh, mengatakan mereka emosional, fokus pada penampilan fisiknya, hingga mengomentari suaranya.

Remotivi pun telah menerbitkan panduan dalam memberikan kasus kekerasan seksual yang berpihak kepada korban dan penyintas. Pemilihan satu kata bisa punya pengaruh signifikan, seperti mengganti “mengakui” yang punya tendensi rasa malu menjadi “mengatakan”, memperlihatkan pelaku sebagai subjek dengan menggunakan kalimat aktif, dan tidak memperhalus perbuatan pelaku—sehingga tidak bertendensi untuk menormalisasi kekerasan seksual, misalnya menggunakan kata “memperkosa” alih-alih “meniduri.”

Kesadaran ini dapat tumbuh dari ruang redaksi yang turut mendukung, mengedukasi, dan memperlakukan segenap anggota timnya dengan perspektif gender. Sebagaimana yang diucapkan oleh Susanne Klinger, jurnalis asal Jerman yang telah 10 tahun bekerja di bidang kesetaraan gender, “Perusahaan-perusahaan berita gagal karena progresivitas mereka hanya sampai di tulisan, tetapi lupa untuk menjadikan perusahaan mereka sama progresifnya.”

Share: Seksisme itu Nyata, Tugas Media Bukan untuk Memperparah