Taliban mengklaim bahwa mereka akan menjamin hak-hak perempuan di bawah aturan Islam ketika memimpin kembali Afghanistan. Namun, klaim ini banyak ditanggapi skeptis. Beberapa bahkan menyatakan tak percaya hal itu bisa dilakukan. Salah satunya seperti yang diutarakan seorang aktivis, Ayesha Noor.
Melalui akun Twitter-nya di @AyeshaNRashid, pendiri organisasi pemberdayaan perempuan, Equal Entrance yang berbasis di Amerika Serikat ini menilai ada sejumlah alasan bahwa klaim moderasi di tubuh Taliban tidak bisa dipercaya. Salah satunya, Taliban mengklaim akan mendukung hak perempuan tetapi tidak mengizinkan perempuan untuk menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan.
“Tindakan mereka sendiri menunjukkan kemunafikan mereka. Ini benar-benar mimpi buruk bagi semua perempuan Afghanistan. Banyak perempuan di pemerintahan, guru, dan ilmuwan, pantas mendapatkan yang lebih baik,” cuit Ayesha.
Selama ini juga Taliban dinilai telah membuat ketimpangan sistematis kepada perempuan Afghanistan. Selain melarang mereka untuk mendapat pendidikan, perempuan juga miskin karena dilarang bekerja sementara laki-lakinya disuruh untuk berperang.
Tentang hal ini, Ayesha mencuit, Taliban menempatkan ibu-ibu muda dalam cobaan karena tidak memiliki makanan untuk bayi mereka.
“Sehingga mereka dipaksa untuk mengemis di jalanan,” ucap dia.
Berlawanan dengan Ajaran Islam
Ayesha lantas mendedah bertentangannya aturan yang diterapkan Taliban dengan ajaran Islam. Menurut dia, Islam justru memberi penghormatan yang sesungguhnya pada hak-hak perempuan. Untuk hak dasar saja, Quran, kitab suci umat Islam mendeklarasikan bahwa “mempusakai perempuan dengan jalan paksa” adalah dilarang.
“Dalam deklarasi ini Islam mengamanatkan bahwa perempuan tidak dapat dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Saya penting, kehendak saya penting, dan itu bersifat final,” kata Ayesha.
Quran juga mengamanatkan bahwa perempuan berhak atas properti dan hak ekonomi. Sementara Taliban malah melucuti kepemilikan properti dari perempuan. Menurut Ayesha, perempuan Afghanistan telah dibuat tidak menyadari hak tanah mereka dan jauh dari memiliki properti.
Nabi Muhammad, juga telah memberi contoh tentang hal ini. Menurutnya, Khadijah, istri pertama Nabi, adalah seorang CEO dan pemilik bisnis yang kaya raya. Islam mengamanatkan bahwa segala sesuatu yang seorang perempuan hasilkan, adalah miliknya dan apa yang suaminya hasilkan, menjadi miliknya sama rata. Ini memberi perempuan kebebasan finansial penuh.
Sementara hak atas pendidikan, 1400 tahun yang lalu Nabi menyatakan “Pendidikan adalah kewajiban setiap Muslim laki-laki & perempuan”. Dengan begitu, pendidikan bukan sekadar hak bagi setiap orang tetapi juga kewajiban.
“Aisyah, istri Nabi, adalah seorang ulama dan ahli hukum yang brilian. Selain itu, Fatimah al-Fihri, seorang ratu perempuan Muslim Afrika, mendirikan universitas tertua & terlama di dunia. Berabad-abad sebelum Harvard atau Oxford, dia mendirikan Al-Quariune di Maroko. Sementara itu Taliban mencoba membunuh anak perempuan hanya karena dia ingin sekolah,” cuit Ayesha sambil menyertakan akun Malala, peraih Nobel 2014 yang pernah ditembak oleh Taliban pada 2012.
Ayesha juga menyitir soal hukum pernikahan di masa Taliban. Menurutnya, Islam mengamanatkan bahwa seorang perempuan tidak dapat dinikahkan tanpa kehendaknya. Sebaliknya, Taliban menangkap gadis dan perempuan yang belum menikah dan menjadikan mereka pengantin untuk pria yang tak dikenal bahkan dijadikan sebagai budak seks.
“Islam mengutuk kebiadaban ini, bukan mendukungnya. Islam adalah agama pertama yang mengamanatkan bahwa seorang perempuan tidak dapat menikah tanpa persetujuannya dan bahwa dia dapat bercerai secara sepihak dengan alasan apapun. Nabi mengutuk kekerasan dalam rumah tangga dalam segala bentuknya,” ucap Ayesha.
Dalam Islam laki-laki dan perempuan juga adalah bagian yang diciptakan dari jiwa yang sama. Kata-kata terakhir Nabi adalah “Perempuan adalah mitra berkomitmenmu, perlakukan mereka dengan baik”.
“Mitra. Bukan budak. Bukan pelayan. Setara. Seperti yang Anda lihat, Taliban tidak pernah memenuhi satu pun kewajiban Islami bagi perempuan. Terus terang tidak ada bangsa di Bumi baik Muslim atau Non-Muslim yang seperti ini,” cuit dia.
Belajar dari Pengalaman
Sementara itu, Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran, Hikmawan Saefullah menyebut perubahan sikap Taliban saat ini memang menarik untuk diamati. Taliban mengklaim bahwa pemerintahan mereka sekarang akan lebih inklusif daripada waktu mereka berkuasa di tahun 1990-an.
“Sikap inklusif ini ditandai dengan statement terbuka lewat media massa bahwa mereka meminta kaum perempuan di Afghanistan terlibat dalam pemerintahan Taliban, meneruskan pekerjaannya di luar rumah, dan memenuhi akses mereka kepada pendidikan,” kata Hikmawan kepada Asumsi.co.
Di lapangan hal ini di antaranya dibuktikan dengan permintaan pihak Taliban kepada Mohammad Dawood Sultanzoy, seorang walikota yang ditunjuk AS agar tetap meneruskan jabatan dan tanggung jawabnya sebagai walikota Kabul. Hal ini disampaikan secara langsung dalam tatap muka pihak Taliban dengan Dawood di Kabul.
Tidak lama kemudian Dawood pun mengkonfirmasi sikap inklusif Taliban ini via media dan mengatakan bahwa terlalu dini untuk membuat kesimpulan tentang apa yang akan terjadi pada Afghanistan pasca hengkangnya pasukan AS dari Afghanistan beberapa hari yang lalu.
Hikmawan mengindikasi para pemimpin Taliban telah menyadari pengalaman perang agresif melawan pasukan koalisi AS selama 20 tahun lebih banyak menyebabkan pertumpahan darah bagi umat Muslim di sana.
“Seperti pengeboman-pengeboman drone yang dilakukan pasukan koalisi AS yang membunuh warga Afghanistan di wilayah pedalaman secara indiskriminatif dan pertikaian etnis serta sektarian sesama mereka sendiri,” kata dia.
Menurut Hikmawan, kesadaran politik ini sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, Taliban yang dahulunya bermusuhan dan membunuhi kelompok etnis Hazarah yang bermazhab Islam Syi’ah di Afghanistan, kini merangkulnya dan bahkan merekrut para militan Syi’ah untuk bergabung dengan mereka. Ini diakui oleh Mawlai Mahdi Mujahid, seorang Ulama Syi’ah dari etnik Hazara di Afghanistan pada 22 April 2020 ketika diwawancara oleh media Taliban El-Emara.
Dalam wawancara itu, Mujahid menyebut Islamic emirate Mujahidin adalah milik seluruh elemen bangsa di Afghanistan dan bukan milik sekelompok orang saja. “Dan perlakuan Islamic Emirate (Taliban) terhadap kaum Syi’ah di Afghanistan jauh lebih baik daripada sebelumnya,” ucap dia.
Tapi, memang sampai saat ini klaim Taliban atas moderasi dan inklusifitas yang akan diterapkan belum bisa jadi pegangan. Perlu dilihat proses kepemimpinan Afghanistan ke depan di bawah Taliban untuk membuktikan klaim-klaim saat ini. Apalagi, definisi “moderat” atau “inklusif” para milisi Taliban dengan yang diyakini masyarakat sekuler dan Barat belum tentu sama.
“Seperti yang dibilang oleh Walikota Kabul Dawood sih sebenarnya: ‘Only time will tell’. Kita lihat ke depannya apakah Taliban akan memenuhi janji mereka dengan pemerintahan yang inklusif ini atau akan berubah drastis. Kita belum tahu batasan-batasan yang akan diberikan pemerintah Taliban pada kaum perempuan ketika mereka berangkat ke sekolah dan tempat kerja. Contoh: batasan aurat apakah cukup pakai jilbab, niqab, atau harus pakai Burqa? Lalu bagaimana dengan perempuan Afghan yang tidak mau pakai jilbab atau niqab sama sekali?,” ucap dia.
Terakhir, sambung Hikmawan, kekuasaan Taliban di Afghanistan bisa jadi dirongrong oleh milisi lain seperti Al-Qaeda bahkan ISIS. Apalagi jika memang benar pasukan Taliban membebaskan ribuan milisi ISIS dan Al-Qaeda dari penjara ketika mereka menguasai Kabul. Menurutnya, tindakan ini justru membuka kesempatan kepada oposisi mereka untuk melawan dan menggantikan kekuasaan.
“Masing-masing kelompok militan ini punya strategi dan konsepsi yang berbeda satu sama lain dalam hal pemerintahan Islam. Jika oposisi kepada Taliban ini semakin agresif, apakah Taliban akan tetap menjaga inklusifitasnya?,” kata Hikmawan.