General

Satu Juta Anggota Masyarakat Adat Terancam Hilang Hak Suara di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Guys, sadarkah kalian kalau peran serta masyarakat adat itu cukup penting dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Umum (Pemilu)? Meskipun jumlahnya bisa dibilang sedikit, namun sebagai warga negara, hak-hak para masyarakat adat untuk memilih dan dipilih wajib dipenuhi oleh negara. Sayangnya, menjelang Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019 nanti, diperkirakan bakal ada sekitar satu juta masyarakat adat yang berpotensi kehilangan hak suara tersebut. Yah, kok bisa?

Jadi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi menyatakan ada satu juta masyarakat adat terancam tidak bisa memilih dalam Pilkada 2018 serta Pemilu (legislatif dan presiden) 2019. Pernyataan itu disampaikan dalam Dialog Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN V bertema “Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat” di Desa Koha, Mandolang, Kabupaten Minahasa pada Rabu, 14 Maret 2018.

Rukka mengatakan dari 17 juta jiwa anggota AMAN di seluruh penjuru Indonesia, terdapat 12 juta warga yang memiliki hak pilih. Menurut Rukka, kehilangan satu juta suara dari anggota masyarakat adat tentu sangat merugikan.

“Satu juta suara itu besar, dan ini merugikan kelompok masyarakat adat,” kata Rukka Sombolinggi di sela-sela acara Rakernas AMAN V, seperti dilansir dari laman AMAN, Kamis 15 Maret.

Masalah Masyarakat Adat

Ternyata anggota masyarakat adat yang terancam tidak bisa menggunakan hak suaranya tersebut sebagian besar disebabkan oleh wilayah tempat tinggalnya yang sulit terjangkau oleh pemerintah.

Tak hanya itu saja, mereka juga terganjal adminsitrasi kependudukan, karena sebagian dari mereka tidak memiliki e-KTP. Padahal, e-KTP sangat penting lantaran dijadikan dasar oleh pemerintah maupun KPU untuk menentukan daftar pemilih tetap (DPT) maupun saat hendak memilih di hari pelaksanaan.

Menurut Rukka, hal itu tentunya sangat merugikan kelompok masyarakat adat, terutama untuk memenangkan sebuah pemilihan atau setidaknya mengutus orang mereka untuk menjadi perwakilan mereka di lembaga DPR.

“Sulit bagi wakil masyarakat adat untuk memenangkan pertarungan karena kita terbagi-bagi, misalnya dalam satu masyarakat adat terbagi dalam pemetaan daerah pilihan (dapil), terkait pembagian adminstratif,” ujar Rukka.

Alasan lain yang juga dianggap serius dalam memenangkan pertarungan dalam pemilihan umum adalah praktik transaksi politik uang antara partai politik dan pemodal. Dalam situasi ini, posisi masyarakat adat menjadi arena jual beli suara atau komoditi politik.

“Hal ini menjadi permasalahan kepentingan ketika perusahaan yang merampas tanah wilayah adat ternyata juga mendukung suatu partai politik. Apalagi, masyarakat adat tak memiliki keterwakilan untuk menghadapi persoalan itu dan tentu menjadi sebuah kerugian,” kata Rukka.

Demokrasi Masyarakat Adat

Lebih lanjut, mantan Sekjen dan Anggota Dewan AMAN Nasional (DAMANAS), Abdon Nababan yang juga menjadi pembicara dalam pembukaan itu menguraikan benang kusut partisipasi masyarakat adat dalam Pemilu.

Abdon menjelaskan bahwa politik uang sangat mengkhawatirkan, apalagi disertai politik identitas yang menyertainya karena berhubungan dengan wilayah adat.

Menurut Abdon, fakta yang terjadi saat ini adalah bahwa liberalisasi politik telah berhadapan dengan demokrasi yang ada pada masyarakat adat yakni musyawarah mufakat. Hal itu dianggap melahirkan kesenjangan antara demokrasi masyarakat adat dengan demokrasi ‘pasar bebas’ atau liberal.

“Jadi siapa yang membayar paling besar itu yang bisa bersuara. Kalau dia (calon) tidak punya uang, ataupun punya uang dan menginginkan biaya politiknya murah, dia akan memakai identitas, menggunakan isu-isu yang berbasis agama,” kata Abdon.

Dalam situasi semrawut tersebut, Rukka menjelaskan bahwa demokrasi yang hidup dalam masyarakat adat menjadi pertaruhan bagi masa depan masyarakat adat itu sendiri terutama wilayah adat yang kaya potensi sumber daya alam. Ia optimistis masyarakat adat akan bisa membangun iklim demokrasi yang baik.

“Demokrasi ala masyarakat adat yang masih hidup di wilayah nusantara ini merupakan solusi kesemrawutan di negara kita,” ujar Rukka.

Demokrasi ala masyarakat adat telah terbukti mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang berintegritas. Sejak Pemilu 2014 hingga Pilkada 2017, AMAN telah melahirkan dan memenangkan calonnya sebanyak 41 anggota dewan, bupati atau wakil bupati, di seluruh Indonesia.

Selain memperluas dan memperbanyak kader pemimpin, AMAN juga membangun integritas para pemimpin yang telah berhasil memenangkan pemilihan. AMAN terus mengawasi dan mengevalusi program-program yang dilaksanakan para pemimpin yang terpilih.

Share: Satu Juta Anggota Masyarakat Adat Terancam Hilang Hak Suara di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019