Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/Atau Musik yang mengatur pungutan royalti dari memutar lagu di tempat usaha, hingga kini masih menjadi perbincangan publik.
Kini yang menjadi perbincangan adalah soal Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) disebut bakal menjadi lembaga pemungut royalti yang akan dibayarkan kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait.
Mengapa lembaga ini yang dipercaya negara untuk mengurus pungutan royalti hak cipta musik?
LMKN Sudah Susun Skema Penarikan Royalti
Kepala Kelompok Apresiasi dan Literasi Musik Direktorat Perfilman Musik dan Media Baru (PMBB) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Edi Irawan menjelaskan, dalam menjalankan tugasnya, lembaga ini akan berkoordinasi dengan pihaknya dan Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
“LKMN ini ada bukan cuma mengurusi royalti musik, tapi juga persoalan hak kekayaann intelektual yang selama ini banyak problem. Pasti ada kementerian lainnya yang terlibat selain kami, pertama Kemekum HAM lalu ada juga asosiasi seperti asosiasi seperti Karya Cipta Indonesia yang juga sekarang kan bagian LMKN,” kata Edi kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Kamis (8/4/21).
Ia menambahkan, LMKN sudah menyusun skema penarikan royalti, sesuai dengan tarif yang ditetapkan dan disahkan dalam putusan menteri dan mendistribusikannya kepada para pemilik hak cipta, serta pemegang hak terkait.
“Pasti sudah ada skemanya. Kalau menurut kami, melalui PP56/2021 dan lembaga ini, ada penegasan hak cipta. Jadi, mulai sekarang harus ditegaskan lagi penarikan royalti kayak di tempat karaoke itu susah banget (ditarik royaltinya),” terangnya.
Soal penarikan royalti di tempat karaoke, hal ini sudah diatur oleh LMKN. Dikutip dari situs lmkn.id, tempat karaoke tanpa kamar (aula) akan dikenakan royalti sebesar Rp20.000 per ruangan per harinya.
Sementara itu, tempat karaoke keluarga besaran penarikan royaltinya sebesar Rp12.000 per ruangan per hari dan Rp50.000 untuk tempat karaoke eksekutif per ruangan per harinya. Nantinya, setiap nilai royalti dibagi masing-masing 50 persen untuk hak pencipta dan hak terkait.
Sedangkan, untuk tempat karaoke berbentuk kubus atau booth akan ditarik royalti sebesar Rp300.000 per kubus per tahunnya masing-masing untuk hak pencipta dan hak terkait.
Bagaimana Transparansi Penarikan Royaltinya?
Edi memastikan, LMKN bakal menyampaikan laporan mengenai penarikan hak cipta yang sudah dilakukan terhadap suatu karya kepada pihak-pihak terkait. Laporan ini juga akan disampaikan ke Kemendikbud.
“Kami pernah ada pertemuan dan mereka menyampaikan akan ada transparansi, kami mewajibkan untuk memberikan laporan setiap minggu. Jadi, nanti ada laporan lagu apa saja dan siapa saja pencipta yang sudah ditarik royaltinya. Kemudian juga dijelaskan berapa skema pembagiannya, mulai dari pencipta, penyanyi sampai labelnya,” katanya.
Selain itu, laporan ini juga akan merinci sejauh mana kinerja LMKN dalam menjalankan tugasnya untuk mempermudah pengawasannya oleh kementerian-kementerian yang terlibat di dalamnya.
“Tugas pengawasan bagian kami. Kemudian yang juga ingin kami sampaikan, LMKN ini bukan lembaga pemerintahan, tapi lembaga asosiasi. Makanya, kami mensyaratkan adanya tranparansi,” tutur Edi.
Laporan tersebut, lanjutnya bakal dirilis di laman website LMKN sebagai bentuk transparansi publik. “Nantinya akan ada pusat data terpadu di website mereka. Jadi, kayak sebuah karya lagu sudah dinyanyikan berapa kali. Kalau yang masuk internet kan, sudah terhitung. Presiden juga pastinya mau menggunakan teknologi terkini untuk urusan ini,” jelas dia.
Bakal Libatkan Aparat Hukum
Saat ini, Edi mengatakan ekosistem dari LMKN memang masih dimatangkan. Namun, ketika tugas dan fungsinya mulai berjalan efektif, LMKN akan melibatkan aparat penegak hukum di dalam kelembagaannya.
“Saat ini, LMKN memang masih belum berjalan eksosistemnya. Begitu berjalan, akan ada aparat penegak hukum, mulai dari kejaksaan dan kepolisian akan duduk bersama Kemudian akan dilihat daerah mana saja yang prioritas (penarikan royalti) dan di provinsi, maka ada keterlibatan Satpol PP juga. Ini memang tidak secepat yang diperkirakan prosesnya,” ungkapnya.
Hal yang paling penting saat ini, kata dia, adalah keberadaan PP 56/2021 sebagai payung hukum perlindungan hak cipta, khususnya untuk karya seni musik. Ia mengharapkan melalui aturan ini, hak-hak seniman atas karyanya mendapatkan perhatian khusus.
“Intinya dari kami ada perlindungan hak cipta. Seperti saya mendengarkan lagu “Terpesona” yang viral di TikTok tapi 25 tahun penciptanya tidak dapat royalti apa-apa. LKMN ini sebenarnya amanat Undang-undang untuk melakukan penarikan collecting terkait hak cipta,” terang Edi.
Lebih lanjut, ia mengharapkan dengan adanya payung hukum serta lembaga pengumpul royalti, masyarakat di Indonesia dapat lebih menghargai suatu karya musik yang diciptakan oleh orang lain. Terlebih, jika karya tersebut digunakan untuk kepentingan komersial.
“Malu dong sama negara lain kayak Jepang yang menghargai lagunya Gesang, Bengawan Solo yang sampai hari ini royalti lagunya terus mengalir, sepanjang mereka gunakan untuk kepentingan komersial,” tandasnya.