Presiden RI Joko Widodo akhirnya menerbitkan aturan tentang pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan. Itu artinya akan ada pencatatan administrasi pernikahan bagi masyarakat Indonesia yang bukan penganut agama-agama resmi di tanah air.
Aturan tersebut terdapat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pelaksana UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Salah satu poin dalam aturan itu mengakui dan mengatur tata cara pernikahan antar penghayat kepercayaan. Rincian lengkap peraturan itu sudah bisa diakses di laman jdih.setneg.go.id.
Aturan komprehensif soal pencatatan pernikahan penghayat kepercayaan sendiri terdapat dalam Bab VI yang mengatur “Tata Cara Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.”
“Perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” demikian bunyi Pasal 39 ayat 1.
Dalam hal ini, pemuka penghayat yang dimaksud ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi tersebut harus terdaftar di kementerian terkait. Lalu, Pasal 39 ayat (2) sampai ayat (4) menjelaskan soal pemuka penghayat kepercayaan dan tugasnya dalam pernikahan penghayat kepercayaan.
“Pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa,” bunyi Pasal 39 ayat (4).
Adapun Pasal 40 ayat (1) tertulis, “Pencatatan perkawinan dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota atau UPT Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota paling lambat 60 hari setelah dilakukan perkawinan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.”
Adapun sejumlah syarat administrasi yang harus dipenuhi para penghayat kepercayaan pasangan suami istri yang hendak menikah adalah:
1. Mengisi formulir pencatatan perkawinan dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) serta melampirkan dokumen, seperti surat perkawinan penghayat kepercayaan dengan menunjukkan aslinya,
2. Pasfoto suami dan istri,
3. Akta Kelahiran,
4. Dokumen perjalanan luar negeri suami dan/atau istri bagi orang asing.
Data yang tercantum dalam formulir pencatatan perkawinan dan dokumen yang dilampirkan akan diverifikasi. Apabila lengkap dan sesuai, pejabat terkait mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan. Lalu, kutipan akta perkawinan itu diberikan masing-masing kepada suami dan istri.
Aturan ini pun harus melalui perjalananan panjang sebelum benar-benar diterbitkan. Sebelum PP ini terbit, praktik pernikahan penghayat kepercayaan selalu terkendala urusan administrasi. Pasalnya, kolom agama pada KTP penghayat kepercayaan dikosongkan alias diberi tanda setrip (-).
Sebelum PP 40/2019 diterbitkan Presiden Jokowi, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan para penghayat kepercayaan yang menggugat aturan pengosongan kolom agama di e-KTP. MK akhirnya mengakui legitimasi Penghayat dengan memerintahkan mereka dicatat di kolom e-KTP.
“Hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, bukan pemberian negara. Dalam gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis, yang juga dianut oleh UUD 1945, negara hadir atau dibentuk justru untuk melindungi (yang di dalamnya juga berarti menghormati dan menjamin pemenuhan) hak-hak tersebut,” putus MK yang diketok oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Perlu diketahui, para penghayat kepercayaan di Indonesia harus melalui jalan berliku sebelum akhirnya diakui, hingga akhirnya terbit aturan soal pencatatan administrasi perkawinan penganut kepercayaan. Perjuangan penghayat kepercayaan ini bahkan sudah ada sejak era sebelum kemerdekaan.
Pada masa itu, para penghayat kepercayaan terlibat aktif dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk merumuskan kemerdekaan RI. Salah satunya KRMT Wongsonegoro.
Saat itu terjadi perdebatan mengenai bunyi Pasal 29 UUD, di mana ayat (1) diusulkan oleh kelompok Santri dengan menambahkan “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (yang kemudian dihapus).
Sedangkan ayat (2) khususnya frasa “kepercayaan” tersebut diusulkan oleh kelompok kepercayaan yang dimotori oleh KRMT Wongsonegoro, yang juga pernah menjadi Ketua Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia.
Pertentangan antara kelompok agama dan kelompok kepercayaan berlanjut dengan tidak diakuinya kepercayaan sebagai agama dengan terbitnya Peraturan Menteri Agama No. 9 Tahun 1952 (Permenag No.9/1952) yang mendefinisikan agama dengan sangat ekslusif yakni sistem kepercayaan yang monoteistik, mempunyai kitab suci yang diyakini sebagai wahyu dan mempunyai nabi dan pengakuan internasional.
Definisi ini menjadi penentu siapa yang dilayani (penganut agama “resmi”) dan siapa yang tak dilayani (penganut kepercayaan). lalu, pada tahun 1951 Wongsonegoro berperan aktif dalam memobilisasi warga kebatinan dalam Panitia Penyelenggara Pertemuan Filsafat dan Kebatinan melalui partai politik yang didirikannya yakni Partai Indonesia Raya (PIR).
Pada 1953, pemerintah Orde Lama membentuk Pengawas Aliran Kepercayaan (Pakem). Departemen Agama melaporkan telah ada 360 organisasi kebatinan/kepercayaan yang berada di bawah naungan Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI)
Himpunan organisasi kebatinan itu akhirnya ikut dalam BKKI di Semarang yang dipimpin oleh Mr.Wongsonegoro, 21 Agustus 1955. Dalam Kongres BKKI di Solo, l956 ditegaskan kebatinan bukan agama baru, melainkan usaha ikhtiar meningkatkan mutu semua agama dan kebatinan sebagai sumber dan asas sila Ketuhanan yang Maha Esa.
Tahun 1957, diselenggarakan Dewan Musyawarah BKKI di Yogyakarta yang mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menyamakan BKKI dengan agama-agama yang lain. Kongres BKKI III di Jakarta, tanggal 17-20 Juli 1958.
Kemudian pada 1965, muncul Penetapan Presiden (yang nantinya menjadi UU PNPS 1/1965 tentang Penodaan Agama) yang ingin melindungi agama dari penodaan oleh aliran kepercayaan. Mirisnya, pasca Peristiwa Gerakan 30 September 1965, aliran kepercayaan mendapat tekanan besar: mereka dicurigai sebagai bagian dari komunisme.
Namun, nasib penghayat kepercayaan sempat membaik ketika Golkar membentuk Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan (SKK) pada 1970. Pada prosesnya, BKKI bertransformasi menjadi Badan Kongres Kepercayaan Kejiwaan Kerohanian Kebatinan Indonesia (BK5I).
Pada 1973, lahirlah TAP MPR tentang GBHN yang menyatakan agama dan kepercayaan adalah ekspresi kepercayaan terhadap Tuhan YME yang sama-sama “sah”, dan keduanya “setara.” Kemudian, berlanjut pada kelahiran TAP MPR Nomor 4/1978 yang menyatakan bahwa kepercayaan bukanlah agama, melainkan kebudayaan.
Perlu diketahui, TAP ini juga mengharuskan adanya kolom agama (yang wajib diisi dengan satu di antara 5 agama) dalam formulir pencatatan sipil. Sejak saat itu, diskriminasi mulai dirasakan para penghayat kepercayaan di tanah air.
Setelah mendapatkan perlakuan diskriminasi yang cukup lama, para penganut kepercayaan di Indonesia kembali mendapat pengakuan. Hal itu berkat masuknya klausul-klausul HAM dalam instrumen legal negara. Melalui instrumen HAM, para penganut kepercayaan terlindungi dari pemaksaan untuk pindah ke agama “resmi.”
Pada 2006, UU Administrasi Kependudukan akhirnya direvisi. Namun sayangnya, revisi tersebut tetap saja punya kecenderungan mendiskriminasikan penghayat kepercayaan. Terutama pada Pasal 61 UU Adminduk 2006: identitas kepercayaan tidak dicatatkan dalam kolom agama.
Puncaknya, empat penghayat kepercayaan yakni Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim, menggugat Pasal 61 ayat 1 dan 2 UU Administrasi Kependudukan ke MK pada 2016 lalu.
Adapun pasal tersebut berbunyi: “Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.”
MK pun mengabulkan permohonan para penghayat pada 3 Mei 2017 lalu. Salah satu pertimbangannya yakni hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, bukan pemberian negara.
Dalam gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis, negara hadir justru untuk melindungi hak-hak tersebut. Hak dasar untuk menganut agama, yang di dalamnya mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik.
Pengakuan terhadap panghayat kepercayaan diikuti langkah Presiden Jokowi menerbitkan PP Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pelaksana UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Sebagaimana Telah Diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.