Budaya Pop

Rich Privilege di The World of the Married

Candra Aditya — Asumsi.co

featured image

Tidak ada yang memprediksi bahwa 2020 adalah tahun di mana saya ketagihan drama korea.

Saya memang pecinta film dan serial TV, dari mana pun asalnya dan tidak pandang bulu soal genre. Tapi terikat secara emosional dengan sebuah drama korea sepertinya sudah lama tidak saya rasakan. Mungkin terakhir kali saya merasakan perasaan seperti ini adalah ketika drama korea menggemaskan berjudul Full House masih wara-wiri di Indosiar pada tahun 2004. Tapi itu adalah waktu yang sungguh berbeda. Saya masih tidak peduli dengan politik, drama hidup saya mungkin hanya terbatas kenapa saya tidak punya teman di SMP dan tentu saja belum ada virus yang membuat semua orang kelabakan.

Selama karantina ini saya memang menghabiskan lebih banyak tontonan di rumah. Saya menonton ulang Sex and the City. Saya menonton lagi Friends. Dan saya mulai kembali lagi terjun ke lembah hitam bernama drama korea. There’s nothing wrong with k-dramas except they’re so highly addictive. Mereka mempunyai pesona yang tiada duanya, melebihi serial bule kebanyakan, yang akibatnya menjadi candu yang tidak terelakkan. Kalau saya sudah sudah terobsesi dengan kreator, penulis skrip, atau aktor drama korea yang menurut saya bagus, biasanya saya akan ketagihan untuk menonton karya mereka yang lain. Dan saya tidak akan berhenti sampai saya menonton semuanya. Itulah sebabnya saya sudah menonton semua drama korea-nya Song Hye-Kyo. Termasuk Encounter yang sangat slow-paced itu.

Crash Landing on You dan Itaewon Class memulai kegilaan drama korea saya tahun ini. Kalau Crash Landing on You gagal membuat saya menjadi maniak karena saya berhenti menonton setelah episode kedua, Itaewon Class mempunyai pesona yang terlalu keren untuk membuat saya berhenti di tengah jalan. Drama korea tersebut berhasil membuat saya cengar-cengir dan berteriak-teriak di depan televisi seperti ibu-ibu saat menonton sinetron. Tapi itu ternyata tidak apa-apanya dibandingkan dengan drama korea yang membuat seluruh tumpah darah Indonesia berbondong-bondong mem-bully salah satu pemainnya, The World of the Married.

The World of the Married mempunyai premis yang singkat tapi efektif. Seorang istri dan dokter ambisius yang berusaha menguak perselingkuhan suaminya. Sebagai bagian dari negara yang menjadikan lagu “Jablay” sebagai anthem dan sebutan “pelakor” sebagai kata makian yang fenomenal, tentu saja premis tersebut langsung menarik minat penonton Indonesia dengan cepat, termasuk saya.

Tapi ternyata drama korea yang satu ini mengungguli ekspektasi saya. Saya tidak menyangka bahwa ia se-emosional ini dan lebih well-made dari yang pernah saya lihat dalam drama-drama sejenisnya. Mungkin karena The World of the Married adalah antitesis dari semua drama korea yang pernah saya tonton. Kalau kebanyakan drama korea menjual kemanisan dan fantasi, The World of the Married menyajikan kenyataan yang menyeramkan dengan cara yang paling menghibur.

Premis bombastis tadi ternyata dibuat menjadi sebuah wahana roller-coaster yang ciamik oleh penulis Joo Hyun (mengadaptasi dari serial Inggris, Doctor Foster) dan sutradara Mo Wan-Il. Tidak ada cinta yang lovey-dovey dalam drama korea ini. Pengkhianatan, intrik, pergunjingan, dan konfrontasi terjadi hampir dalam setiap episodenya tanpa absen. Tidak ada satu pun momen membosankan dalam ke-16 episode drama korea ini. Setiap menitnya ada fungsi yang jelas. Saking efektifnya, kadang saya harus mem-pause tayangan selama 30 detik agar punya kesempatan untuk berteriak-teriak, memaki apa pun yang karakter-karakter fiksi ini lakukan. Make sense kalau ada yang menolak untuk menonton drama korea ini karena takut darah tinggi walaupun menurut saya orang-orang tersebut melewatkan masterpiece yang sungguh menghibur. Kapan lagi Anda menonton sebuah drama rumah tangga tapi treatment audio visualnya dibuat seolah-olah Anda sedang menonton sebuah film thriller pembunuhan, lengkap dengan musik jeng-jeng-jeng?

The World of the Married bisa saja jatuh ke teritori sinetron kalau saja penulis skrip dan sutradaranya bermalas-malasan. Tapi untungnya hal tersebut tidak terjadi. Hampir setiap karakter ditulis dengan baik. Tindak-tanduk karakternya mempunyai konsekuensi. Setiap aksi dilandasi motivasi yang jelas. Tidak ada yang membingungkan. Semua ini kemudian dilengkapi dengan presentasi teknis yang ciamik. Menggunakan voyeurism untuk membuat penonton merasa mengintip rumah tangga orang lain yang harusnya rahasia? Brilian.

Setelah menamatkan drama korea ini, ada satu hal yang menurut saya patut untuk dibahas. Sebelum saya membahasnya mungkin kita perlu menjelaskan sedikit tentang plot utama The World of the Married. Plotnya sebenarnya sangat sederhana. Ji Sun-Woo (Kim Hee-Ae) adalah seorang istri, dokter, dan ibu yang berbakti. Dia melakukan pekerjaannya dengan baik, men-support suaminya, emotionally dan financially, tanpa pamrih. Dan apa pun yang diminta anaknya, ia berikan. Suami Sun-Woo, Lee Tae-Oh (Park Hae-Joon), adalah seorang filmmaker indie yang sejauh ini belum menghasilkan apa-apa. And she’s fine with it. Sampai akhirnya ketahuan bahwa Tae-Oh selingkuh dengan perempuan lain bernama Da-Kyung (Han So-Hee).

Dalam konklusinya yang disiarkan minggu lalu, penonton akhirnya melihat apa yang terjadi dengan nasib karakter-karakter yang ada di dalamnya. Banyak orang kecewa karena ternyata ending The World of the Married tidak semenggelegar yang mereka bayangkan. Alih-alih memberikan drama yang spektakuler seperti 15 episode sebelumnya, episode terakhir The World of the Married malah didedikasikan untuk memberi karma setiap karakternya.

[SPOILER ALERT]

Sun-Woo harus kehilangan anak kesayangannya, Joon-Young (Jeon Jin-Seo), karena dalam rumah tangga yang berantakan memang anak yang selalu menjadi korban pertama. Tae-Oh yang selama ini bisa petentang-petenteng bak preman karena dia selalu disokong secara finansial baik oleh Sun-Woo maupun keluarga Da-Kyung terpaksa harus merasakan betapa tidak enaknya menjadi filmmaker miskin. Bukan hanya dia tidak diterima lagi oleh kedua anak dari dua istri yang berbeda, tapi untuk pertama kalinya Tae-Oh benar-benar sendirian. Dan Da-Kyung akhirnya memilih untuk fokus dengan cita-citanya instead of finding love.

“Lho, Can, kata lo karma. Kok si pelakor enak-enak aja nggak kena karma?”

Itu karena penulis skrip The World of the Married jenius dan dia tahu bahwa rich privilege is real af.

Di episode pertama drama korea ini penonton diberi tahu bahwa Sun-Woo mencurigai bahwa ada kemungkinan Tae-Oh selingkuh dengan Hyo-Jung (Kim Sun-Kyung), istri konglomerat kaya raya bernama Byeong-Kyu (Lee Kyoung-Young). Dugaan Sun-Woo meleset, ternyata Tae-Oh selingkuh dengan anak sang konglomerat. Fakta bahwa penulis skrip mengelaborasi seberapa kaya dan powerful keluarga Da-Kyung ini bukan sekedar tempelan atau kebetulan. Ini semua penting dan krusial untuk cerita. Materi yang tidak terbatas mempengaruhi cara Da-Kyung bertindak. Ini belum termasuk kelakuan kedua orang tuanya yang memang menyebalkan. Namun, dibesarkan dengan materi yang tidak terbatas memang sedikit banyak mempengaruhi sikap Da-Kyung, termasuk buat dengan santainya merebut suami orang tanpa peduli dengan efeknya. Mungkin itu sebabnya Da-Kyung begitu marah dengan Sun-Woo ketika Sun-Woo dengan kasualnya memberi tahu kedua orang tuanya kalau dia selingkuh dan hamil. Belum pernah ada orang seberani Sun-Woo dalam hidupnya. Sejauh ini Da-Kyung sepertinya hidup dengan proteksi yang lumayan ketat.

Proteksi yang lumayan ketat ini tidak hanya hadir dalam hidup Da-Kyung pre-Tae-Oh. Proteksi ini tetap hadir ketika Da-Kyung sudah menikah. Da-Kyung agaknya sudah mencurigai bahwa suaminya adalah orang berengsek yang tidak bisa dipercaya. Itulah sebabnya dia mempunyai mata-mata di kantor untuk mengawasi setiap gerak-gerik suaminya. Setiap hari Da-Kyung bisa mendapatkan informasi tentang apa yang dilakukan suaminya dari mata-mata tanpa harus berusaha. Bayangkan jika Anda menjadi Da-Kyung dan sedang curigaan dengan pasangan Anda. Mungkin Anda harus lebih sering stalk di sosial media dan menggerakkan teman-teman Anda untuk mengintai pasangan Anda. Intinya: effort-nya jauh lebih gede untuk memastikan pasangan Anda setia atau tidak kalau Anda miskin.

Tapi pertunjukan bahwa materi dan kedudukan sangat berpengaruh adalah ketika terjadi sebuah insiden yang melibatkan Tae-Oh. Dalam suatu episode, ada satu karakter yang meninggal dunia di stasiun. Mungkin bunuh diri karena dia patah hati atau dia dibunuh. Sebenarnya Da-Kyung sama sekali tidak terlibat dalam drama ini. Tapi karena suaminya ada di lokasi kejadian dan punya hubungan dekat dengan karakter ini, keluarga Da-Kyung dengan segala kekuatan, koneksi, dan materinya bisa membuat investigasi polisi buntu. Secara misterius semua rekaman CCTV di stasiun tersebut menghilang.

Keren sekali, bukan? Mengantisipasi berita buruk yang akan menyeret nama mereka, Byeong-Kyu dengan kasual langsung memerintahkan anak buahnya untuk mengambil hardisk yang berisi rekaman CCTV tersebut dan membuangnya. Segampang itu. Dan Byeong-Kyu cuma berpengaruh di Gosan. Bayangkan apa yang bisa dilakukan oleh *sila letakkan nama politikus/orang kaya Indonesia yang uangnya tidak habis-habis/politikus berpengaruh* saat menghadapi masalah? Tidak heran Ravio Patra bisa tiba-tiba digelandang ke kantor polisi.

Saya tahu bahwa banyak sekali penonton The World of the Married mengharapkan karma yang lebih besar untuk Da-Kyung di akhir episode. Saya curiga bahwa banyak sekali penonton Indonesia berharap Da-Kyung akan menerima azab pedih layaknya dalam sinetron Hidayah. Mungkin tiba-tiba wajahnya jerawatan atau dia kena COVID-19. Tapi hal tersebut tidak terjadi dalam The World of the Married.

Bagian terbaik dari konklusi Da-Kyung adalah penulisnya memberikan masa depan yang realistis bagi anak orang kaya seperti dia. Satu kota membicarakanmu karena kamu telah mencuri suami orang, hamil di luar nikah, kemudian setelah menikah pun tetap ada drama dengan mantan istrinya? Pindah saja. Tanpa perlu mikir banyak-banyak, tanpa perlu menggerakkan jari telunjuk. Pindah saja. Lihat betapa enaknya jadi orang kaya.

Kamu hamil di luar nikah dan ditinggal suami dan punya mimpi ambisius untuk membuka galeri seni? Ya sudah, belajar sana, nanti bapakmu bakal membuatkan galeri. Sungguh tidak adil bukan bagaimana kelakuan Da-Kyung yang menyebalkan selama 16 episode justru diganjar dengan sebuah aktualisasi diri. Semuanya karena Da-Kyung lahir dengan privilese orang kaya. And that’s *chef’s kiss*

*Candra Aditya adalah seorang penulis dan pembuat film lulusan Binus International. Saat ini dia sedang sibuk menjadi bapak untuk anaknya, Rico si kochenk oren. Novelnya yang berjudul When Everything Feels Like Romcoms bisa didapatkan di Gramedia.com.

Share: Rich Privilege di The World of the Married