Calon presiden (capres) nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) menjanjikan tiga kartu baru untu program teranyarnya. Hal itu ia ungkapkan saat melakukan pidato kebangsaan di agenda Konvensi Rakyat Optimis Indonesia Maju di Sentul International Convention Center, Bogor, pada Minggu, 24 Februari 2019 kemarin. Tiga kartu yang dimaksud Jokowi yaitu Kartu Sembako, Kartu Pra-Kerja, dan Kartu Indonesia Pinta (KIP) Kuliah. Tak hanya menyebut, ia juga memamerkan bentuk ketiga kartu barunya itu.
“Kartu Indonesia Pintar yang sekarang hanya sampai di SMA, akan kita jadikan sampai kuliah. Artinya, Kartu Indonesia Pintar Kuliah ini akan membantu biaya pendidikan. Membantu biaya pendidikan dari anak usia dini hingga kuliah dengan kartu ini,” kata Jokowi disambut riuh pendukungnya.
Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin pun memberikan penjelasan mengenai rencana kartu baru Jokowi. Juru bicara (jubir) TKN Ace Hasan Syadzily mengatakan bahwa kartu sembako akan diperuntukkan untuk rakyat yang berpenghasilan rendah. Dengan adanya kartu sembako tersebut, maka rakyat diharapkan bisa membeli dengan harga yang lebih murah.
“Kartu sembako merupakan program yang diperuntukkan bagi rakyat berpenghasilan rendah agar mereka memiliki keterjangkauan untuk membeli sembako dengan murah,” ujar Ace Hasan pada media, Senin, 25 Februari 2019.
Rencana Kartu Baru Jokowi Dikritik
Rencana Jokowi yang ingin menambah kartu dalam program pemerintahannya malahan kemudian dikritik oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Perlu diketahui, saat ini pemerintah pusat punya tiga kartu andalannya dalam membantu masalah sosial. Yaitu ada Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Menurut peneliti ICW Lais Abid, tiga kartu lama Jokowi tersebut masih memiliki sejumlah masalah. Oleh sebab itu, kata Lais, Jokowi mestinya lebih dulu memperbaiki tata kelola pelaksanaan program jaminan sosial yang telah berjalan. Sebab jika menambah kartu lagi, kata Lais, sama saja menambah permasalahan baru.
“Sepanjang implementasi program lama tidak efektif, tidak afdol pemerintah menambah program baru. Itu akan menimbulkan masalah baru karena program lama belum maksimal,” ujar Lais, pada Selasa, 16 Februari 2019.
Apalagi, dari kajian ICW di tahun 2018, masih ada 41,9 persen anak dari keluarga tidak mampu di Medan, Yogyakarta, Blitar, dan Kupang belum menerima KIP. Hal itu terjadi karena minimnya sosialisasi dan pemerintah disebut menggunakan data penduduk miskin yang tidak akurat. Bahkan kata Lais, di sejumlah daerah kartu ini tidak dipegang langsung oleh si penerima manfaat, tapi pihak ketiga, antara lain pengurus sekolah atau pejabat.
“Banyak capaian target yang sebenarnya tidak sesuai fakta di lapangan. Bukan hanya terjadi pada KIP, tapi juga kartu yang lain karena basis datanya sama. Keluarga miskin yang mendapatkan KIP kan seharusnya juga mendapatkan KIS,” ujar Lais.
Sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 silam, Jokowi memang terkenal dengan kartu-kartu saktinya. Adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Menjelang Pemilu 2014, Jokowi kerap mendengungkan program inisiatifnya agar menyasar langsung ke masyarakat kelas bawah dalam menghadapi kondisi ekonomi.
Di awal kepemimpinannya, Jokowi menargetkan pendistribusian KIS sebanyak 88,2 juta, KIP sebanyak 17,9 juta dan KKS 15,5 juta. Tiga kartu ini juga masuk dalam 9 Agenda Prioritas (Nawa Cita), di mana dalam poin ke-5 tertulis, ‘Kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia’. Tak heran, sejak akhir 2014 dan awal 2015 kementerian terkait telah menganggarkan dana dari APBN untuk bisa menjalankan fungsi masing-masing kartu sakti Jokowi.
Tak jarang juga media menyoroti Presiden Jokowi yang bahkan membagikan secara langsung kartu sakti itu ke sejumlah daerah. Mulai Jakarta, Sulawesi, Kalimantan, Jawa Timur dan Tengah, hingga Papua. Sebab pemerintah ingin memastikan bisa mencapai taget pendistribusian 3 kartu sakti tersebut.
“Kita rapat soal pendistribusian KIS, KIP, KKS. Karena dalam kondisi perlambatan ekonomi global dan nasional, pemerintah perlu memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat terutama yang rentan terhadap perlambatan ekonomi,” kata Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Rabu, 7 Oktober 2015 silam.
KIP pada awal pencanangannya secara konkret ditujukan bagi siswa SD dengan nilai Rp 225 ribu/siswa/semester, SMP sebesar Rp 375 ribu/siswa/semester, dan SMA/SMK sebesar Rp 500 ribu/siswa/semester. Kartu Indonesia Pintar (KIP) memakai anggaran APBN tahun 2014 dari dua kementerian yaitu Kemdikbud dan Kementerian Agama dengan total anggaran Rp 6,2 triliun.
KIS berfungsi sebagai kartu jaminan kesehatan untuk mendapatkan layanan kesehatan gratis di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan. KIS berbeda dengan BPJS. KIS adalah Program Jaminan Kesehatan SJSN (JKN) bagi penduduk Indonesia, khususnya fakir miskin dan tidak mampu serta iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Sementara BPJS Kesehatan adalah Badan Hukum Publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan SJSN (JKN).
Sedangkan KKS adalah pergantian dari Kartu Perlindungan Sosial yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. KKS menggunakan anggaran sebesar Rp 6,2 triliun dan setiap keluarga akan mendapatkan Rp 200 ribu per bulan. Kartu ini akan diisi setiap 2 bulan.
Berdasarkan Laporan 4 Tahun Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, hingga 2018 jumlah penerima KIS dan KKS telah mencapai lebih dari 98% dari target yang diinginkan pemerintah. Di mana KIS telah diterima 92,2 juta orang dari target 92,4 juta, sementara KKS sebanyak 9,8 juta keluarga dari 10 juta keluarga. Sedangkan untuk penerima KIP sendiri, baru mencapai hampir 70%. Di mana yang telah menerima sebanyak 13,2 juta dari targetnya sebanyak 18,9 juta siswa.
Lalu bagimana hasil dari penerapan tiga kartu sakti Jokowi dalam memberantas kemiskinan?
Pertama, kajian yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal (2016) menunjukkan bahwa program bantuan sosial lebih efektif dalam menurunkan kemiskinan. Sebab subsidi seperti LPG, listrik, bahan bakar minyak lebih sering dinikmati oleh kelompok rumah tangga menengah ke atas. Sedangkan, jenis bantuan sosial dari Jokowi berupa Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Indonesia Pinta (PIP) lebih efektif memberikan kontribusi terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Di mana setiap satu triliun rupiah yang dialokasikan untuk PKH akan berdampak pada penurunan kemiskinan sebesar 0,150%, disusul PIP sebesar 0,079%.
Kedua, The Smeru Research Institute (2017) yang menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2015 juga menunjukkan bahwa program bantuan sosial efektif dalam menurunkan kemiskinan. Jenis bantuan sosial Beras Sejahtera (Rastra) menempati urutan pertama dalam menekan angka kemiskinan yaitu sebesar 6,1%. Kemudian disusul dengan program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat sebesar 3,3%, PIP sebesar 2,2% dan PKH sebesar 0,3%.
Selanjutnya, ada juga laporan Bank Dunia (2017) yang berjudul Menuju Sistem Bantuan Sosial yang Menyeluruh, Terintegrasi, dan Efektif di Indonesia. Dalam kajian ini disebutkan bahwa bantuan sosial memiliki dampak terhadap kemiskinan meskipun belum signifikan. Namun, jika dilihat berdasarkan komponen dalam hal kesehatan, dana bantuan sosial mampu menjangkau 92 juta orang pada 2016, meningkat dari 76 juta di 2012.
Jumlah penerima manfaat untuk siswa miskin dan rentan juga meningkat sekitar 10 juta siswa pada periode yang sama. Bank dunia juga mengapresiasi upaya Indonesia dalam mengintensifkan reformasi bantuan sosial melalui penyaluran non tunai. Hal ini diharapkan bisa membantu akselerasi jalur pengurangan kemiskinan dan ketimpangan.
Terakhir, rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2018, mengungkapkan bahwa Indonesia berhasil menyentuh angka kemiskinan level terendah sepanjang sejarah, yaitu berada pada 9,82%. Sumbangan terbesar pada garis kemiskinan periode ini adalah komoditi makanan sebesar 73,48%. Menambah bukti bahwa bantuan sosial lebih berpengaruh untuk menurunkan tingkat kemiskinan.
Dari berbagai data itu bisa disimpulkan bahwa bantuan pemerintah memang belum mencapai target, namun bukan berarti tidak ada perubahan sama sekali. Lalu, bagaimana dengan rencana Jokowi yang ingin menerbitkan tiga kartu baru?