General

Refleksi Pemilu 2019: Pemilu Untuk Siapa?

Ikhsan Yosarie — Asumsi.co

featured image

Pesta demokrasi berupa pemilu 2019 telah terselenggarakan dan dinikmati oleh segenap masyarakat Indonesia. Memang pada dasarnya terdapat irisan pemilu 2014, lantaran yang kembali bersaing adalah Joko Widodo sebagai incumbent dan Prabowo Subianto sebagai penantang. Bedanya, mereka kini menggandeng wakil yang berbeda ketimbang 2014 lalu. Joko Widodo bersama KH. Ma’ruf Amin dan Prabowo bersama Sandiaga Uno. Pun demikian dengan beberapa anggota masyarakat yang terafiliasi atau tergabung dengan salah satu partai politik peserta pemilu 2019 telah mendaftarkan diri ke KPU guna berpartisipasi aktif dalam politik sebagai calon wakil rakyat, baik daerah maupun pusat.

Pelbagai cara mulai dilakukan oleh para kandidat, mulai dari bekerja sama dengan sebuah lembaga survei politik untuk mengetahui masalah-masalah masyarakat dan kemauan masyarakat, hingga membentuk tim sukses dan struktur pemenangan. Ada juga yang mulai memasang spanduk-spanduk yang berisi foto dan slogan-slogan kampanye, menyebar papan-papan reklame dengan foto mereka untuk memberi ucapan selamat, dan banyak hal lainnya yang semata-mata untuk mulai memperkenalkan siapa mereka, program kerja dan visi-misi kepada masyarakat luas.

Para calon berlomba-lomba dalam berkampanye, menebar janji-janji politik, bahkan mulai turun kemasyarakat ditahun politik ini. Dengan demikian, narasi-narasi politik di ruang publik, terlepas ada isinya, tidak ada isinya, narasi baru, narasi lama, atau sekedar sindir-menyindir, akan kita lihat sampai beberapa waktu kedepan.

Namun, sebagai salah satu wujud kebebasan setelah lepas dari belenggu Orde Baru, sudah seharusnya pemilu patut kita nikmati bersama sebagai tanda dari pengakuan akan kedaulatan rakyat. Amanat bahwa demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dimana kedaulatan ada ditangan rakyat, dan kemudian rakyat memberi sedikit kewenangan mereka untuk kepala daerah, artinya legitimasi yang dimiliki para kepala daerah adalah kewenangan yang dipercayakan oleh masyarakat untuk kepala daerah, dapat kita laksanakan secara maksimal.

Bukan Pesta Elit

Nilai dasarnya adalah demokrasi bukan pesta elite politik, tapi rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sah atas suaranya. Kemudian, para pemimpin atau wakil rakyat yang terpilih merupakan refleksi dari masyarakat, bukan menjadi bidak-bidak dari para elite politik hitam, atau para Invisible Hand.

Pesta demokrasi ini tidak boleh dikendalikan oleh elite. Narasi-narasi dan opini publik pun juga tidak boleh, lantaran potensi sesuatu yang baik menurut elite tersebut, belum tentu baik secara universal, tetapi berpotensi baik hanya untuk kepentingan kelompok mereka. Sehingga, pertanyaan yang muncul, baik untuk siapa?

Penggalan puisi WS Rendra yang berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa, dapat menjadi gambaran keresahan ini, bahwa pesta demokrasi dimonopoli oleh elite politik. Dalam sajaknya, Rendra berkata : “Kita bertanya: Kenapa maksud baik tidak selalu berguna, kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga. Orang berkata: kami ada maksud baik. Dan kita bertanya: maksud baik untuk siapa?  Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina.  Ada yang bersenjata, ada yang terluka. Ada yang duduk, ada yang di duduki. Ada yang berlimpah, ada yang terkuras. Dan kita disini bertanya : “ Maksud baik saudara untuk siapa?” saudara berdiri dipihak yang mana? Kenapa maksud baik dilakukan, tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya ? Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota”.

Universalitas pesta demokrasi jangan sampai dijadikan arena pacuan oleh para elite politik untuk berlomba-lomba finish dan menang, kemudian sang pemenang menjadi kepala daerah yang bukan representasi rakyat. Pemilu yang seharusnya bisa menghasilkan para pemimpin pro rakyat, karena dipilih oleh rakyat, kini dijadikan tempat pemancingan bagi elit, ikan-ikannya adalah suara dari masyarakat yang digunakan oleh elit untuk perbekalan mereka memenangkan pemilu. Penyimpangan dari tujuan pemilu yang seperti ini akan menegaskan, pesta demokrasi ini untuk siapa?

Banyak masyarakat Indonesia yang menikmati pesta demokrasi secara pasif, serta berpartisipasi dalam pemilu yang menentukan 5 tahun kita kedepan, hanya sekedar beberapa menit di bilik suara, lalu selesai. Bisa dicoba, apakah banyak masyarakat mengetahui esensi pesta demokrasi? terutama mereka yang tinggal didaerah pedalaman dan jauh dari pusat pemerintahan daerah.

Kita justru akan menemukan, masyarakat yang jangankan siapa calon kepala daerah atau calon wakil mereka di parlemen, kepala daerah (Bupati dan Wakil Bupati, Gubernur dan Wakil Gubernur) mereka yang tengah menjabat saja tidak tau. Hal ini tentu wajar saja, wong politisi sering turun ke masyarakat umumnya menjelang pemilu dan pilkada.

Sadarkah?

Selama pemilu masih terselenggara, pada dasarnya hal tersebut menandakan demokrasi masih berlangsung. Dan memang melalui pemilu, suara-suara masyarakat dalam bentuk pilihan pemimpin terakomodasi di dalamnya, dan juga merupakan refleksi dari kedaulatan rakyat. Namun patut kita pertanyakan jalannya proses demokrasi pemilu, partisipasi rakyat, dan kualitas pemilu itu sendiri.

Maksud baik itu untuk siapa? Para elite politik yang menggelora menggiatkan pemilu itu berdiri dipihak yang mana? Bagaimana jika pemimpin yang terpilih nanti yang seharusnya prorakyat, namun nyatanya masih banyak masyarakat yang berada di garis kemiskinan, kesenjangan sosial kian tampak, harga BBM dan harga sembako naik, serta segala macam kebijakan yang tidak lagi pro terhadap rakyat?

Sehingga, pertanyaan W.S Rendra dalam penggalan puisinya harus kita jawab bersama, “maksud baik saudara untuk siapa?” saudara berdiri dipihak yang mana? Kenapa maksud baik dilakukan, tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya ? Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota, apakah ilmu itu untuk pembebasan, atau penindasan?“

Ikhsan Yosarie adalah seorang peneliti di SETARA, Institut untuk Demokrasi dan Perdamaian.

Share: Refleksi Pemilu 2019: Pemilu Untuk Siapa?