Isu Terkini

Rajin Baca Jadi Pintar, Malas Baca Jadi… Politisi?

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Belakangan, tak sedikit rancangan kebijakan pemerintah yang menuai gelombang penolakan dari publik. Omnibus Law, misalnya, dianggap menggembosi hak-hak pekerja dan melucuti otonomi daerah. Adapun RUU Ketahanan Keluarga disesaki pasal-pasal absurd yang kelewat jauh mengintervensi ranah privat.

Ketika pemerintah mencanangkan legislasi ekstrem semacam itu, tentu saja rakyat protes. Namun, bukan itu saja yang jadi soal bagi saya. Tanggapan beberapa elit politik terhadap kontroversi RUU menyadarkan saya akan satu hal. Rupanya, politisi kita punya problem literasi.

Ambil contoh hiruk pikuk terkait Omnibus Law. Belum lama ini, Pasal 170 dalam draft RUU Cipta Kerja dikritik sebab dinilai tak selaras dengan ilmu perundang-undangan. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) bisa membatalkan Undang-Undang, dan Presiden dapat mengeksekusi perintah tersebut hanya dengan berkonsultasi kepada Ketua DPR.

Bila disahkan, aturan ini dinilai melangkahi kewenangan DPR dan melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pernyataan ke publik (18/12), Menko Polhukam Mahfud MD ikut terperangah dengan gagasan tersebut. Ia menawarkan pledoi cemerlang untuk kesalahan fatal dalam Pasal 170: salah ketik. “Ya salah ketik sebenarnya. Artinya seharusnya keliru,” ucapnya seperti dikutip Kompas.com.

Tentu saja, ini alasan yang membingungkan. Bagaimana mungkin salah ketik, yang semestinya cuma mengacak-acak ejaan kata tertentu, mengubah substansi sebuah Pasal sampai sedemikian rupa? Itu salah ketik atau salah bikin pasal? Tak heran bila pihak seperti serikat buruh SINDIKASI menuding bahwa tanggapan Mahfud “jawaban template” yang mengada-ada.

Hasrat tepok jidat semakin menggelora ketika mendengar pernyataan Ketua DPR Puan Maharani (12/2) mengenai substansi isi Omnibus Law. Dalam sebuah acara jumpa pers, Puan mengaku pihaknya “belum membaca” draft RUU Cipta Kerja, salah satu dari dua RUU yang termaktub dalam Omnibus Law. Meski Surat Presiden dan naskah akademik sudah diserahkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto, isi RUU itu sendiri belum dibaca oleh DPR RI.

Termutakhir, fraksi Partai Golkar menyangkal bahwa anggota DPR-nya yang mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga bertindak atas kesepakatan fraksi. Menurut Anggota DPR RI Ace Hasan Syadzily (20/2), fraksinya tidak pernah mengusulkan RUU tersebut. Endang Maria, anggota DPR fraksi Partai Golkar yang terlibat dalam RUU Ketahanan Keluarga, bertindak atas dasar “perseorangan.” Ace mengungkapkan bahwa Endang sendiri “belum membaca secara keseluruhan RUU Ketahanan Keluarga.”

Padahal, andai saja mereka membaca lebih seksama, mereka akan mendapati bahwa banyak blunder yang berceceran dalam susunan naskah akademik hingga substansi UU kita. Naskah Akademik RUU Ketahanan Keluarga, misalnya, mengutip UU no. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri sebagai salah satu kebijakan terkait keluarga. Masalahnya, UU tersebut sudah tidak berlaku sejak lama. Pada Oktober 2017, Rapat Paripurna DPR menetapkan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang otomatis menggantikan peran UU no. 39 tahun 2004.

Naskah Akademik yang sama juga menjabarkan analisis panjang lebar terhadap UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (P-KDRT), sekaligus menyebut tingginya angka KDRT sebagai alasan RUU Ketahanan Keluarga jadi genting untuk disahkan. Yang jadi masalah, pada draft RUU Ketahanan Keluarga yang dapat diakses publik, tidak ada satu pun Pasal yang secara khusus membahas KDRT. Jadi, dikemanakan semua analisis itu?

Sisihkan waktu juga untuk RUU Pesantren. Pada Pasal 1 ayat 2 RUU Pesantren, pesantren dimaknai sebagai pendidikan yang “mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan mualimin.” Secara tersirat, melalui pasal tersebut negara menganggap bahwa lulusan pesantren tidak menerapkan kurikulum umum yang sama atau setara dengan sekolah formal lainnya.

Tentu saja, penyebab untuk legislasi tak bermutu ini bukan sekadar politisi dan tim ahli yang malas membaca. Persoalan prosedural dan buruknya koordinasi antarlini juga berperan. Omnibus Law disebut “cacat prosedur” oleh Ombudsman RI sebab ia dikerjakan secara terburu-buru dan tidak melakukan konsultasi mencukupi dengan masyarakat yang terdampak.

Pemerintah bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pun telah membentuk Satgas Omnibus Law yang diminta merahasiakan draft Omnibus Law. Ketika pihak Ombudsman maupun KontraS selaku lembaga mandiri meminta draft tersebut, permintaan keduanya ditolak. Jangankan Ombudsman RI–alasan mengapa Puan Maharani mengaku belum membaca draft Omnibus Law sebetulnya sederhana: pihak DPR RI pun belum dikasih lihat.

Dalam kasus RUU Ketahanan Keluarga, mengemuka persoalan koordinasi buruk dalam fraksi partai yang kabarnya mengajukan legislasi tersebut. Bukan hanya fraksi Partai Golkar yang mengaku kecolongan akibat salah seorang anggota DPR-nya mengajukan RUU atas inisiatifnya sendiri tanpa melalui kesepakatan bersama dalam fraksi.

Belakangan, fraksi Partai Gerindra juga mengumumkan bahwa mereka akan memanggil anggotanya, Sodik Mudjahid, untuk meminta klarifikasi terkait usulan RUU Ketahanan Keluarga. Pasalnya, meski Sodik sudah pasang badan dan beberapa kali membela RUU tersebut di hadapan media, sebetulnya sebagian besar anggota fraksi Gerindra mengaku tidak mendukung RUU tersebut.

Wajar saja bila kultur legislasi yang buruk ini berujung pada kebijakan yang tak bermutu. Menurut pantauan GovData360, rating kualitas kebijakan yang dikelola oleh World Bank, Indonesia konsisten berada pada posisi minus. Pada 2018, kualitas regulasi Indonesia berada di level -0,07 poin. Menariknya, skor negatif tersebut sudah diperoleh Indonesia sejak 1996, mencatatkan angka terburuk -0,8 pada tahun 2003. Sebagai catatan, Indonesia tak pernah sekalipun mendapatkan skor positif dalam kategori indeks ini.

Semakin parah lagi, produktivitas DPR dalam menuntaskan RUU pun amat buruk. Pada Juni 2019, Badan Legislasi (Baleg) DPR mengungkapkan bahwa DPR masa kerja 2014-2019 produktivitasnya mentok pada angka 18 persen. Padahal, target mereka sudah lebih rendah dari biasanya.

Menurut penelusuran Tirto.id, DPR angkatan 2014-2019 hanya ditargetkan menetapkan 189 RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan 31 RUU Prolegnas Kumulatif. Jumlah tersebut lebih sedikit ketimbang target 247 RUU yang dibebankan kepada DPR periode kerja 2009-2014.

Bahkan pada 2014, Ketua DPR Setya Novanto sempat menginstruksikan pemimpin komisi untuk hanya fokus mengesahkan tiga RUU setiap tahunnya, agar kualitasnya terjamin. Titah ini sepertinya ditaati oleh DPR. Hingga April 2019, DPR hanya mengesahkan rata-rata lima RUU per tahun, merosot dari kinerja DPR 2009-2014 yang menghasilkan rata-rata 10 RUU per tahun. Tiga UU juga berulang kali masuk daftar judicial review Mahkamah Konstitusi, pertanda paling jelas bahwa UU tersebut dinilai bermasalah. Pada periode 2014-2019, UU Pemilu, UU MD3, serta UU ITE digugat ke MK.

Kontroversi terkait kecacatan prosedural serta substansi Omnibus Law serta RUU Ketahanan Keluarga semestinya jadi lampu kuning untuk pemerintah. Kebijakan yang menentukan harkat hidup ratusan juta penduduk Indonesia semestinya tidak didasari oleh argumen tak runtut, salah ketik, apalagi inisiatif anggota DPR yang bergerak tanpa persetujuan fraksi.

Share: Rajin Baca Jadi Pintar, Malas Baca Jadi… Politisi?