Isu Terkini

Pro-Kontra Fasilitas Mewah Kamar Narapidana Korupsi: Pantaskah?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Bolehkan sebuah ruang tahanan di Lembaga Pemasyarakatan menggunakan fasilitas mewah? Jawabannya tentu tidak. Sesederhana kata tidak ketika ditanya apakah pantas berjalan kaki menyeberangi jalan tol yang kondisinya lengang. Mungkin bisa, tetapi tentu tidak pantas.

Jalan tol diperuntukkan untuk mobil agar dapat melaju kencang di atas 60 km/jam. Bayangkan jika kalian berjalan kaki menyeberangi jalan tol tanpa melalui Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) dengan di sekitarnya ada mobil yang melaju dengan kecepatan di atas 60 km/jam. Kalau kalian menghormati peraturan hukum dan masih ingin hidup, tentu tidak adalah jawabannya.

Namun ternyata, jawaban ini tidak sesederhana bagi para narapidana korupsi yang bertempat di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin. Hasil inspeksi mendadak (sidak) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), menemukan bahwa banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di Lapas Sukamiskin.

Dengan berbagai dalih, para narapidana tersebut diduga melakukan transaksi dengan kepala Lapas Sukamiskin untuk memberikan ‘fasilitas’ lebih di kamar penjaranya. Mulai dari alat masak hingga renovasi toilet, banyak dugaan-dugaan tentang renovasi untuk mendapatkan fasilitas mewah di Lapas tersebut.

Lalu, apakah fasilitas mewah yang ada di ruang lapas tersebut diperbolehkan? Tentu, sekali lagi jawabannya tidak, jika mengacu aturan hukum yang berlaku.

Aturan Hukum untuk Narapidana Korupsi Mengenai Fasilitas Lapas

Di awal tulisan ini memang jawabannya telah terpampang jelas, namun mari telaah lebih dalam. Pertama, bahas yang paling esensial: tentang peraturan mengenai hak yang didapatkan (dan yang tidak) oleh para narapidana korupsi.

Dalam pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan, terdapat berbagai macam hak asasi manusia yang wajib didapatkan oleh para narapidana. Namun di dalamnya, tentu tidak tertera kekhususan yang boleh didapatkan oleh narapidana tertentu. Terlebih, untuk narapidana korupsi yang memang telah didakwa menggelapkan uang negara, pengkhususan tersebut menjadi ironi. Di mata hukum, narapidana korupsi dan pelanggaran hukum lain seharusnya diperlakukan sama.

Kesenjangan yang Semakin Nyata dengan Narapidana Lain

Selain dari mata hukum, secara sosial juga pemisahan narapidana korupsi dengan narapidana yang lain ini memberikan gambaran kesenjangan yang jelas. Sampai saat ini, lapas bagi narapidana korupsi memang dikhususkan. Namun bukan berarti, narapidana korupsi ini berhak mendapatkan perlakuan yang khusus pula. Adanya fasilitas mewah yang mengakibatkan kesenjangan ini menjadi bukti bahwa pemisahan antara narapidana koruptor dan yang lain seharusnya tidak terjadi.

Untuk mengurangi kesenjangan tersebut, narapidana koruptor sudah seharusnya disatukan dalam satu sel yang sama dengan kejahatan yang lain. Baik itu dengan maling ayam ataupun pembunuhan, koruptor seharusnya tidak dipisahkan.

Selain memberikan efek jera yang lebih, narapidana koruptor pun juga dapat belajar dari kondisi tersebut bahwa masih banyak rakyat yang hidupnya jauh berbeda dari dirinya. Selain memberi efek jera, lapas pun dapat menjadi tempat pembelajaran mengenai realita kehidupan di berbagai kelas sosial di Indonesia.

Menciptakan Lapas yang Ramah Namun Tetap Memberikan Keadilan Bagi Seluruh Narapidana

Pada akhirnya, fungsi lapas memang seharusnya ‘memasyarakatkan’ kembali orang-orang yang pernah melakukan tindakan kriminal, bukan memberikannya kesengsaraan ataupun kemewahan. Berpayungkan hak asasi manusia namun hanya pada segelintir orang saja bukanlah esensi hak asasi manusia, melainkan pengkhususan yang mencoreng hak asasi manusia itu sendiri.

Harapannya, kinerja lapas dan evaluasinya dapat lebih baik lagi, untuk memastikan keadilan bagi seluruh narapidana. Adil bukan berarti harus sama-sama sengsara. Tetapi adil, berarti harus dapat ramah dan tegas pada semua.

Share: Pro-Kontra Fasilitas Mewah Kamar Narapidana Korupsi: Pantaskah?