Isu Terkini

PNS Zaman Hindia Belanda Hingga Orba Sama Saja

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Ilustrasi: Asumsi.co/Ibam

Bekerja sebagai pegawai negeri sipil, atau kini disebut aparatur sipil negara (ASN), sering kali merupakan cita-cita orang tua yang dibebankan kepada anak-anaknya. Sebabnya, ada jaring pengaman sosial kuat yang membuat hidup seorang ASN terjamin hingga pensiun.

ASN bukanlah produk Indonesia pascakemerdekaan. Pemerintah kolonial Belanda mempengaruhi, jika bukan mewariskan, sistem ini. Ada banyak ciri yang masih bertahan di dalamnya hingga masa Orde Baru.

Asal-usul ASN di Indonesia dapat ditelusuri hingga abad ke-16, ketika VOC memburu rempah-rempah di Nusantara. Untuk melancarkan urusan dagangnya, siasat awal VOC adalah menjalin relasi dengan Kesultanan Mataram yang sedang berkuasa di Jawa.

Heather Sutherland dalam Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi (1983) menyebutkan bahwa pemerintahan kolonial saat itu punya pendirian “memelihara struktur politik pribumi.” Motto mereka “suka sama suka” dan memerintah rakyat melalui “pemimpin-pemimpin sendiri”.

Sistem kerja ini lestari sekalipun VOC bangkrut dan kekuasaan berpindah ke pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Saat itu, birokrasi Hindia Belanda membagi pegawainya menjadi dua kategori, yaitu pegawai Eropa dan pribumi. Para pegawai Eropa ini disebut sebagai Binnenlandsch Bestuur (BB), sementara pribumi disebut sebagai Inlandsch Bestuur (IB) atau dalam bahasa Jawa disebut pangreh praja (penguasa kerajaan).

Jika BB yang terdiri dari gubernur, residen, asisten residen, dan kontrolir (controleur) lebih banyak berinteraksi dengan pemerintah pusat untuk menentukan kebijakan dan prioritas, pejabat-pejabat pribumi ada untuk menyuruh warga bekerja dan memproduksi barang-barang dagang kebutuhan Belanda.

Tanam Paksa, Korupsi, Nepotisme

Pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal J. van den Bosch (1830-1833), sistem tanam paksa membuat kehadiran para pangreh praja semakin penting. Posisi mereka diakui secara tertulis dalam Peraturan Pemerintah tahun 1854.

Pasal 67 beleid tersebut berbunyi, “Sejauh keadaan mengizinkan, penduduk pribumi hendaklah dibiarkan berada di bawah pengawasan pemimpin-pemimpin mereka sendiri, baik yang diangkat maupun yang diakui oleh pemerintah.”

Jabatan-jabatan pangreh praja setidak-tidaknya terdiri dari bupati, patih, wedana, dan asisten wedana. Fungsi bupati adalah sebagai perwujudan volkshoofden (pemimpin rakyat): nama baik dan karisma yang mereka warisi dari para leluhur menjamin kepatuhan rakyat, sementara teknis pemerintahan sehari-hari dapat diserahkan kepada patih atau wedana.

Meskipun pangkat bupati sepele belaka di mata pemerintahan Hindia Belanda, mereka sangat dihormati di kalangan pribumi. Para pangreh praja ini juga mendapatkan privilese: bagi hasil dari tanam paksa, kepemilikian tanah, dan dapat mewariskan jabatan ke keturunan mereka.

Pasal 69 peraturan 1854 berbunyi, “Bupati-bupati dipilih oleh gubernur jenderal dari kalangan pribumi. Dan sejauh itu dapat disesuaikan dengan kebutuhan akan adanya calon yang ‘cakap, rajin, jujur, dan setia’, seorang putra atau kerabat dekat dari bupati yang terakhir hendaknya yang dipilih.” Dengan adanya keistimewaan ini, muncullah kaum “ningrat” atau kalangan priayi yang merupakan keturunan dari keluarga bupati.

Semakin banyak tanaman atau rempah-rempah dihasilkan rakyat, semakin untung pula para bupati. Banyak pangreh praja yang akhirnya mengambil kesempatan untuk bertindak semena-mena terhadap rakyatnya.

Misalnya, karena lebih mudah untuk mengatur tanah yang dimiliki oleh petani secara komunal, sejumlah pejabat memaksa penduduk desa untuk melepaskan kepemilikan tanah mereka secara individual. Pada 1833, Bupati Gresik Utara memerintahkan agar semua surat tanda kepemilikan tanah dikumpulkan dan dibakar, sehingga berlaku kepemilikan tanah secara komunal yang jauh tidak menyusahkan.

Ada pula bupati di Purwokerto yang ketahuan menyalahgunakan dana masjid, berutang besar kepada warga Cina dan Arab, hingga memeras para priayi rendahan dengan memaksa mereka menukarkan kuda yang bagus-bagus dengan kuda milik bupati yang kakinya patah.

Tindakan semena-mena ini juga didasari oleh pandangan rendah priayi kepada desa dan penduduknya. Mereka dianggap sebagai tenaga kerja kasar yang tidak tahu apa-apa. Ini membikin hubungan antara pangreh praja dan warga pribumi tidak benar-benar harmonis. Para pejabat pribumi sering dilihat sebagai pemeras, agen majikan asing yang memaksakan cara-cara baru dalam bersawah-ladang atau membangun rumah.

Tak hanya memanfaatkan orang miskin untuk memperkaya diri sendiri, pangreh praja juga terkenal akan praktik nepotismenya. Pada 1872, ada rencana pendirian sekolah gaya Barat untuk melahirkan calon-calon pegawai bumiputra. Muncullah Hoofden scholen di Magelang, Bandung, dan Probolinggo—yang kemudian berganti nama menjadi Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) pada 1900.

Meskipun jenjang karier untuk menjadi pangreh praja semakin jelas dengan adanya sekolah ini, tidak semua lulusannya direkrut begitu saja. Sutherland mencatat bahwa para priayi muda mesti pintar-pintar cari muka. Mereka berlomba-lomba untuk magang (kerja tanpa dibayar) untuk dapat memenangkan hati pejabat setempat.

Sialnya, tidak ada batas waktu yang jelas berapa lama seseorang dapat magang, hingga terdapat kasus seseorang magang hingga 14 tahun lamanya sebelum diangkat menjadi juru tulis. Ada pula yang magang hingga 20 tahun, tetapi tak pernah diangkat sama sekali.

Sistem ini akhirnya menguntungkan priayi kaya raya, sementara mereka yang hidup pas-pasan berakhir mesti menunggak utang dan terus-terusan bergantung kepada keluarga.

“Banyak dari mereka mengeluh, tapi prestise jabatan pangreh praja begitu tinggi hingga mereka tetap menjalani kehidupan tersebut sampai bertahun-tahun,” tulis Sutherland.

Tanam Paksa Sirna, Korupsi dan Nepotisme Berlanjut

Setelah kedudukan Hindia Belanda diambil alih oleh Jepang, dan kemudian Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, sistem pangreh praja tidak pernah benar-benar terhapus.

Sutherland mencatat bahwa Jepang tetap bergantung pada pangreh praja—menjadikan mereka boneka untuk mengeksploitasi Hindia Belanda dengan sistem terpusat:

“Politik Belanda maupun politik Jepang ditentukan di tempat yang sangat jauh dari Jawa: Batavia sendiri mempunyai kekuasaan kecil untuk menyelesaikan masalah-masalah penting, dan keterlibatan para pejabat pribumi di dalam pengambilan keputusan adalah minimal. Begitu pula Den Haag dan Tokyo tidak mempunyai perhatian sungguh-sungguh pada pendapat umum di Indonesia—selama produksi berjalan terus, sikap-sikap rakyat tidaklah masuk hitungan.”

Pascakemerdekaan, mulanya pangreh praja tidak dipercaya oleh pemimpin-pemimpin nasionalis. Mereka dicurigai pro-Belanda atau telah menjadi “Oranjeis”. Reputasi mereka yang gagal melindungi rakyat dan kerap menyalahgunakan kedudukan dengan melakukan korupsi pun tidak membantu.

Meskipun begitu, pemerintah Indonesia tetap membutuhkan pejabat yang bisa melaksanakan instruksi, hingga akhirnya nama pangreh praja diubah menjadi pamong praja—berganti dari “penguasa kerajaan” menjadi “abdi kerajaan”. Fungsi pamong praja ini dikiaskan seperti orang tua: kewajiban mereka bukanlah untuk memerintah, melainkan “memimpin dan mempengaruhi dari belakang”.

Pergantian nama tidak serta-merta membuat sistem berjalan kondusif. Masih ada kebingungan dan perdebatan: apakah pejabat mesti bersikap netral? Atau aktif mempromosikan kesetiaan politik? Di mana loyalitas pejabat: ke negara, suatu aliran politik, atau ke partai?

Sistem yang masih tidak stabil di awal-awal era kemerdekaan ini akhirnya juga membuat nepotisme kembali berlanjut: jenjang karier tidak ditentukan dari prestasi pegawai, tetapi loyalitasnya kepada partai yang dianut pimpinan departemennya.

Meskipun ada upaya untuk menghilangkan praktik ini dan membuat pegawai negeri netral dari kekuasaan partai di masa Demokrasi Terpimpin, Sukarno keburu lengser dan Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto sengaja memanfaatkan para pegawai negeri ini sebagai alat politik.

Pada 1971, muncul Keppres RI tentang Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Dengan logo yang terdiri dari pohon, bangunan, dan tulisan “Abdi Negara”, organisasi yang menghimpun seluruh pegawai negeri ini ditetapkan sebagai “satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI”.

Pada masa itu, anggota-anggota Korpri hanya boleh mendukung satu partai: Golkar. Ketika pemilu, pegawai negeri yang tidak memilih Golkar “dihukum” dengan dimutasi ke daerah-daerah terpencil.

Sutherland menyorot bahwa para pegawai negeri di era Suharto ini begitu dikendalikan oleh pusat—punya fungsi untuk mempertahankan status quo—dan penuh penyelewengan kekuasaan, sehingga kentara sekali kemiripannya dengan sistem pangreh praja di masa kolonial Belanda.

Apabila di masa pemerintahan Hindia Belanda pegawai pribumi mencari muka ke seorang bupati atau BB, di masa Orde Baru sasarannya elite politik atau elite militer—menyuburkan kembali sistem patron-klien yang saat itu ada.

Ciri-ciri pegawai negeri untuk memanfaatkan pengaruh, campur tangan dalam urusan non-administratif, dan melalaikan urusan birokratis mendesak yang berdampak pada langgengnya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme ini pun menurutnya dapat ditarik kembali ke hubungan antara pangreh praja dan BB dahulu.

“Mengingat perubahan-perubahan besar selama beberapa dasawarsa terakhir di Jawa, sungguh mengherankan sekali betapa masih banyak kemiripan di antara pangreh praja dan pemerintahan zaman sekarang ini. Kembalilah para pejabat itu mengabdi kepada terpeliharanya kepatuhan politik rakyat; dewan-dewan kembali berada di bawah orang-orang yang diangkat oleh pusat—suatu Beambtenstaat,” kata Sutherland.

Share: PNS Zaman Hindia Belanda Hingga Orba Sama Saja