General

Pesta Demokrasi Pileg dan Pilpres 2019, Rakyat Dapat Apa?

Iman Herdiana — Asumsi.co

featured image

Tak lama lagi rakyat Indonesia akan mengikuti hajatan demokrasi Pemilu 2019. Sudah ada dua pasang calon presiden dan wakilnya, dan sudah banyak calon legislatif yang mengumbar janji di ruang-ruang publik. Semua hadir atas nama demokrasi. Apakah mereka paham esensi demokrasi?

Pertanyaan itu mencuat dalam laporan akhir tahun 2018 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung berjudul “Paradoks Demokrasi: Suburnya Pelanggaran HAM”. Judul ini diambil karena demokrasi di tahun politik ini dikanalisasi hanya sebatas prosudural (politik elektoral) tanpa menyentuh esensi demokrasi itu sendiri.

Lalu apa esensi dari demokrasi menurut Lembaga hukum probono itu? Direktur LBH Bandung, Willy Hanafi, menjawab, “Dalam negara demokratis, penghormatan dan perlindungan dan pemajuan Hak Asasi Manusia menjadi faktor penting yang tidak bisa dilepaspisahkan.”

Sehingga bicara demokrasi berarti berbicara soal komponen HAM seperti menjunjung hukum, bebas dari rasa takut, hak mendapatkan kehidupan layak, hak berkumpul dan berserikat, hak berekspresi dan berpendapat, hak beragama. Namun semua hak-hak itu dinilai luput dalam kontestasi hingar bingar Pilpres maupun Pileg jelang 2019 ini.

Hak-hak rakyat tersebut seakan tenggelam dalam perang opini antar kubu lalu hanyut terbungkus gimmick politik. Pertarungan politik yang terjadi saat ini dinilai sama sekali tidak menyentuh area politik yang terkait kepentingan kepentingan rakyat. Perdebatan politik di ruang publik sama sekali tak ada relevansinya dengan kehidupan rakyat.

Willy menuturkan, tahun 2017-2018 sejumlah daerah di Indonesia habis melaksanakan Pilkada serentak. Saat itu semua orang bicara demokrasi, semua orang diajak memilih. Semua orang diingatkan untuk memenuhi hak demokrasinya.

“Termasuk 2019 ini kita masuk ke Pilpres dan Pileg, semua orang di negara ini untuk terlibat dalam kontestasi yang dinamakan demokrasi. Apakah betul demokrasi yang mereka sampaikan demokrasi yang sesungguhnya?”

Willy menegaskan demokrasi yang sebatas elektoral tidak akan menyentuh esensi demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Sehingga pasca-demokrasi (pencoblosan), rakyat kembali ke dalam kehidupan dengan segemap permasalahannya, mulai dari menghadapi penggusuran, kehilangan ruang hidup, PHK, bahkan ancaman persekusi ketika mengemukakan pendapat yang kritis.

Itu menunjukkan bahwa demokratisasi tidak dimakanai dan dijalankan sebagaimana mestinya. Sebaliknya, banyak rakyat kehilangan hak-haknya seperti hak atas tanah, lingkungan sehat, upah layak, kebebasan beribadah, berpendapat dan kasus-kasus yang mengarah pada pelanggaran HAM lainnya.

“Tindakan-tindakan negara baik itu melalui regulasi, kebijakan bahkan aparaturs negara turut andil dalam memfasilitasi terjadinya pelanggaran atau memiskinkan rakyat secara struktural,” kata Willy.

Selama 2018, LBH Bandung menagani konsultasi sebanyak 167 Kasus. Sedangkan kasus yang berdimensi HAM total ada 75 kasus yang terdiri dari kekerasan fisik oleh aparat 1, kekerasan terhadap anak 3, kekerasan terhadap perempuan 10, lingkungan hidup 5, buruh 9, disabilitas 1, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) 15, kebebasan berkumpul 5, kelompok rentan 6, buruh migran dan trafficking 4, pembelaan kelompok LGBTQ dan Odha 16.

Seluruh data tersebut merupakan kasus-kasus yang ditangani oleh LBH Bandung di Jawa Barat, baik dalam bentuk asistensi dan pendampingan yang masih dalam proses penanganan atau yang sudah selesai sampai dengan putusan pengadilan yang inkracht.

Di antara kasus-kasus yang ditangani LBH Bandung, ada kasus yang terkait dengan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah, antara lain terkait pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indramayu dan Cirebon.

Lasma Natalia dari Divisi Tanah dan Lingkungan LBH Bandung mengatakan, kasus yang mencuat dari pembangunan PLTU II Indramayu adalah kriminalisasi terhadap petani sekaligus pejuang lingkungan.

Lasma menuturkan, kasus tersebut diawali pembangunan PLTU pada 2017. Warga yang terdampak pembangunan PLTU umumnya nelayan dan buruh tani. Pembangunan PLTU dilakukan di sekitar ruang bagi nelayan dan buruh tani menggantungkan hidup dari hasil alam, yakni bertani dan melaut.

Warga menolak pembangunan PLTU karena selain merusak mata pencaharian juga merusak lingkungan. Pembangunan pun dinilai cacat prosedur karena tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Hingga Desember 2017, warga kemudian mengajukan gugat izin lingkungan pembangunan PLTU ke pengadilan.

“Warga memenangkan gugatan, tapi efeknya dan dampak gugatan itu terjadi kriminalisasi,” katanya.

Ia menyebutkan, ada 3 buruh tani yang ditangkap dan dipenjarakan dengan alasan penodaan terhadap bendera. Mereka dituduh memasang bendera merah putih terbalik di saat melakukan perayaan kemenangan gugatan.

“Padahal mereka sudah masang bendera dengan benar. Kami melihat ada upaya pembungkaman organisasi sipil khususnya masyarakat di Indramayu atau petani dan nelayan,” kata Lasma.

Kasus tersebut saat ini dalam proses persidangan di pengadilan. Kasus ini merupakan satu dari 75 kasus yang berdimensi HAM. LBH Bandung mengingatkan agar pesta demokrasi tidak lepas dari esensi menjunjung tinggi HAM. Jika tidak, rakyat akan terus berjuang menuntut keadilan seperti yang dilakukan buruh tani Indramayu.

Share: Pesta Demokrasi Pileg dan Pilpres 2019, Rakyat Dapat Apa?