Isu Terkini

Perang Semasa COVID-19

MM Ridho — Asumsi.co

featured image

Di hadapan pandemi COVID-19 yang telah menjangkiti lebih dari 8 juta orang dan menyebabkan hampir 450 ribu kematian, manusia masih menyempatkan diri berperang dengan sesamanya.

“Lebih mudah memulai perang daripada mengakhirinya,” tulis Gabriel Garcia Marquez untuk mendeskripsikan perang yang menjadi bagian dari kehidupan Kolonel Aureliano Buendia, tokoh dalam novelnya, One Hundred Years of Solitude (1967). Tidak tanggung-tanggung, 32 perang dilakoni sang kolonel meski selalu berakhir dengan kekalahan.

Belum berakhir satu pertarungan melawan pandemi COVID-19, pasukan Cina mengotori keindahan bentang alam Himalaya dengan darah tentara India. 20 tentara India dilaporkan tewas dalam bentrokan yang terjadi di perbatasan sepanjang Lembah Galwan, di Ladakh pada Selasa (15/6).

Bentrokan itu terjadi berawal saat kedua belah pihak bertemu untuk membahas soal masalah perbatasan di wilayah Himalaya pada 6 Juni silam. Alih-alih mencapai kesepakatan, kedua negara malah terlibat ketegangan hingga berujung bentrok. Hal ini telah dikonfirmasi oleh masing-masing negara yang bersitegang tersebut.

Pihak India mengklaim perseteruan itu dimulai oleh pihak Cina.

“Pada sore dan malam tanggal 15 Juni 2020, sebuah pertempuran sengit terjadi sebagai hasil dari upaya Cina yang secara sepihak mengubah status quo di sana,” kata Anurag Srivastava, juru bicara Kementerian Luar Negeri India.

Sementara itu, Cina mengatakan sebaliknya. Mereka mengklaim pihak India telah melanggar aturan dengan melintasi perbatasan sebanyak dua kali pada hari Senin (15/6).

“[Tentara India] memprovokasi dan menyerang pasukan Cina, yang mengakibatkan konfrontasi fisik yang serius antara pasukan perbatasan di kedua sisi,” kata Zhao Lijian, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina.

Usut punya usut, ketegangan itu sudah terjadi sejak tahun 2017, di mana kedua negara bentrok di wilayah tersebut setelah Cina mencoba untuk memperpanjang jalan perbatasan melalui dataran tinggi yang disengketakan.

Ketegangan juga terjadi saat India melakukan pembangunan infrastruktur di tempat terpencil di sepanjang Line of Actual Control (LAC) di Ladakh, yakni garis yang memisahkan wilayah kekuasaan India dan daerah otonomi Tibet, Cina. Jalan itu dinilai bisa meningkatkan kemampuan India untuk menggerakkan SDM dan material dengan cepat jika terjadi konflik.

Keputusan India untuk meningkatkan infrastruktur di wilayah LAC itu lantas membuat marah Cina. Pasalnya, wilayah yang diperebutkan adalah wilayah penting karena kedua belah pihak melihat kawasan itu penting secara strategis, ekonomi, dan militer.

Di tempat lain yang masih satu benua dengan Ladakh, Korea Utara meledakkan kantor penghubung dengan Korea Selatan di perbatasan Kaesong, pada Selasa (16/6).

Aksi tersebut dilakukan setelah pemerintahan Kim Jong-Un mengancam untuk memutuskan hubungan dengan Korea Selatan pekan lalu. Pihak Korea Utara menganggap pihak Korea Selatan tidak becus dalam menangani kegiatan para pemberontak dan aktivis anti-Korut.

Para pemberontak dan aktivis itu mengirimkan selebaran yang berisi pesan-pesan kritis soal Kim Jong-Un dan hal-hal terkait pelanggaran hak asasi manusia ke area perbatasan dua negara Korea yang juga dikenal sebagai zona demiliterisasi Korea (DMZ).

Mereka juga kerap mengirimi makanan, uang kertas pecahan satu dolar AS, radio mini hingga flash disk USB yang berisi drakor menuju Korea Utara dari area tersebut. Benda-benda itu biasanya dikirim dengan balon udara agar bisa melewati perbatasan yang dijaga ketat atau dimasukkan ke dalam botol dan dialirkan melalui sungai.

Karena hal itu terus berlangsung, Kim Yo Jong, adik Kim Jong Un sekaligus pejabat senior Partai Buruh Korea Utara, memerintahkan militer untuk mengambil tindakan.

Peledakan gedung itu mencoreng deklarasi Panmunjom, yang ditandatangani pada bulan September 2018 oleh Kim Jong-un dan Moon Jae-in, di mana mereka bersepakat untuk menghentikan semua perseteruan di daerah tersebut.

Menurut pengamat kebijakan luar negeri Tobias Harris dan Victor Cha dari Teneo Intelligence, meski tampaknya mengobarkan perang kepada Korea Selatan, hal ini dilakukan Korea Utara untuk menggertak dan meningkatkan ketegangan kepada Amerika Serikat paska keduanya gagal bersepakat perihal denuklirisasi pada Februari 2020 silam.

“Ada kemungkinan bahwa Pyongyang mencoba untuk mendapatkan kembali perhatian Donald Trump,” kata mereka seperti dikutip The Guardian.

Share: Perang Semasa COVID-19