Budaya Pop

Kedai Kopi di Tengah Pandemi: Kita Cuma Bisa Jadi Survivor

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Berawal dari menjadi barista, kemudian mendirikan kedai kopi sendiri. Muhammad Aga telah berkecimpung di dunia kopi sejak tahun 2009. Pada 2018, Aga menjadi juara nasional Indonesia Barista Championship (IBC). Ia kemudian memutuskan untuk mendirikan kedai kopi Smith bersama beberapa kawan lain. “Biar kalau ada orang yang mau berkunjung, bisa diajak ke rumah sendiri. Sama seperti fotografer, misalnya, yang ujung-ujungnya punya cita-cita untuk mendirikan studionya sendiri,” kata Aga kepada Asumsi.co (31/3).

Sebelum ada kopinya, Smith Coffee muncul terlebih dahulu sebagai brand penjual pakaian bertema kopi. “Ketika brand-nya sudah dikembangkan, sudah established, barulah muncul kedai kopinya.” Aga juga berfokus pada membuat roastery atau dapur kopi sendiri yang dapat turut menyuplai kopi ke kedai-kedai kopi lain. “Ibaratkan kalau kita punya central kitchen, kita bisa suplai semua makanan kita ke restoran-restoran lain,” kata Aga.

Smith Coffee yang saat ini berganti nama jadi Shoot Me In The Head juga telah punya tiga cabang, yaitu dua di Jakarta Selatan dan satu di Bandung. Namun, walau telah merancang bisnis secara matang sejak bertahun-tahun lamanya, Aga mengaku pandemi COVID-19 telah menimpa usahanya dengan keras. Selama beberapa minggu terakhir ini, omsetnya turun drastis. Bersama dengan pemilik-pemilik kedai kopi lainnya, ia memikirkan cara untuk tetap dapat mempertahankan usahanya, termasuk karyawan-karyawannya.

Asumsi.co berbincang dengan Aga untuk mengetahui cara bertahan di tengah krisis.

Pandemi COVID-19 muncul secara tiba-tiba, baik di Indonesia maupun di dunia. Apakah Shoot Me In The Head sempat mengantisipasi ini?

Muhammad Aga: Secara business plan, jujur kami nggak pernah berpikir untuk mengatur strategi untuk musibah seperti ini. Kalau bicara soal bencana alam, kami sudah memikirkan cara antisipasinya. Tapi COVID-19 ini tidak terjadi di satu teritori saja, tapi di satu dunia. Impact-nya pun besar banget.

Memang sebelumnya nggak pernah kepikiran. Jadi sebenarnya bukannya telat, tapi tipikal orang Indonesia saja yang mungkin, kalau sudah terjadi, baru kita berpikir. Jujur kita lalai. Kita nggak pernah kepikiran sejauh itu.

Bagaimana situasi kedai kopi saat ini?

Sebenarnya saat ini kita cuma bisa menjadi survivor aja. Kami tidak lagi berpikir untuk mencari untung, cukup untuk menjaga cash flow supaya tetap hidup. Profit nanti mungkin bisa kita gain lagi setelah wabah slowing down.

Kalau bicara soal omset, memang turun cukup drastis. Saya bisa menyimpulkan bisa sampai 50-60%. Kami mulai berpikir untuk beradaptasi dengan situasi dengan membuat frozen food dan paket kopi, misalnya. Jadi semua orang bisa tetap menyoba makanan kami yang bisa disimpan lama juga di dalam kulkas atau freezer, supaya mereka bisa masak sendiri gitu.

Pokoknya semenjak ada campaign #DiRumahAja, kami mencoba membuat product yang bisa tahan lama di rumah, praktis, dan efisien. Mereka nggak perlu ribet pakai mesin kopi di rumah, tapi kami yang menyiapkan dan menyuplai. Dengan makanan bisa bertahan di kulkas selama 3-4 hari, jadi customer nggak perlu datang atau order setiap hari karena ongkos kirimnya mungkin mahal.

Selain itu, buat teman-teman yang sudah biasa ngopi, sudah punya alat di rumah masing-masing, kami menawarkan semacam paket aja ngopi di rumah—di mana isinya beda-beda kopi supaya mereka bisa experience sendiri. Yang baru kami buat ini tuh, surprisingly bagus. Banyak orang yang pesan, online delivery kita masih jalan terus, mulai dari pengiriman luar kota, via ojek online, atau kami kirim sendiri dalam radius 5 km. Walaupun traffic-nya nggak setinggi biasanya, setidaknya kami survive.

Apakah ada kekhawatiran tidak bisa menggaji karyawan, mesti melepas karyawan, atau bahkan tidak bisa membayar biaya sewa tempat?

Saat ini, teman-teman kopi atau semua cafe owner itu semacam bikin grup yang mendiskusikan bagaimana caranya supaya staf dari masing-masing kedai kopi itu bisa tetap bertahan.

Yang pertama dilakukan adalah kami membuat petisi. Awal mulanya dari teman-teman di Tangerang, terus kemudian menyebar ke satu komunitas kami namanya Barista Guild of Indonesia. Isi petisi itu adalah permintaan ke pemerintah agar pemiliki kedai kopi dan restoran diberikan keringanan. Ada beberapa poin, tapi yang saya ingat adalah menghilangkan pajak PB1 10% selama pandemi ini berlangsung, memberikan insentif buat karyawan-karyawan yang dirumahkan, dan ada bantuan promosi dari pemerintah agar masyarakat dapat mendukung atau membeli dari brand lokal. Awalnya kami minta 1.000 tanda tangan di petisi, tapi sekarang sudah ada 6.000 orang yang tanda tangan. Jadi seharusnya pesannya sampai ya ke mereka yang seharusnya mendengar.

Kalau dari kami, ada beberapa barista part-timer yang tidak dipekerjakan dulu. Sementara untuk karyawan yang full time sedang coba kami kurangi jam kerjanya. Mereka tetap dapat pemasukan, tetapi tidak full. Biasanya yang 6 hari kerja dan 1 hari libur, misalnya, dikurangi jadi 3 hari kerja, sisanya libur.

Kami mengerti beberapa barista kami ada yang dari luar kota, mereka harus ngekos di Jakarta, dan dengan pemasukan yang dikurangi mereka tidak bisa bayar sewa kos. Untuk membantu mereka mendapatkan income yang sama, kami menjadikan mereka semacam sales kami. Mereka akan mendapatkan insentif untuk setiap produk yang dijual oleh mereka. Mereka bisa menawarkan ke tetangganya, ke teman-temannya, atau ke siapapun itu.

Karena memang yang kami pikirkan sekarang adalah cash flow, bagaimana caranya supaya kami punya cukup dana untuk bisa membayar pengeluaran bulanan, seperti gaji karyawan, sewa toko, dan lainnya.

Mas Aga bilang esensi kopi adalah connecting people. Misalnya pandemi ini berlangsung dalam waktu lama, dan kedai kopi mesti bergantung lebih kepada sistem delivery, apakah kedai kopi tetap bisa bertahan dengan maksimal?

Kalau menurut saya, nggak semua bisa bertahan. Ada bisnis kopi yang beban besarnya ada di operasional, ada juga mereka yang lebih banyak beroperasi di keramaian, kayak di mall. Saya nggak tahu kalau grup-grup besar, tapi di komunitas kecil mungkin dampak ke depannya akan parah banget. Mungkin yang stay akan beberapa saja yang kuat, yang punya inovasi. Beberapa yang tidak punya inovasi, atau pasrah dengan situasi, mungkin akan hilang. Dan ada yang kayak gitu.

Sama seperti di tahun 2015, di mana industri kopi sedang sangat happening hingga banyak orang yang melihat kopi ini sebagai opportunity untuk memulai bisnis. Tapi kalau melihat kondisi sekarang, mereka akan berpikir 2-3 kali untuk menjalankan ini. Jadi, menurut saya, mereka yang sudah punya business plan yang kuat dari awal, yang sudah punya karakter, dan sudah punya koneksi serta product yang berinovasi bagus yang akan bertahan.

Ada nggak sih kekhawatiran bahwa pandemi ini akan menggerus usaha-usaha makanan dan minuman berskala menengah ke bawah?

Menurut saya, mati sih enggak. Tapi berkurang iya. Karena itu tadi, ada beban-beban yang nggak pernah mereka pikirkan sebelumnya, dan itu berat banget di sekarang ini. Kayak di Senopati, misalnya, saya pikir Senopati akan berganti banyak tenant karena akan ada turn-over. Harga sewa di Senopati itu sekitar 800 juta per tahun. Dengan keadaan kayak gini, bagaimana caranya bisa bayar sewa tahun depan?

Sebenarnya, kalau saya pribadi, saya berpikir profit itu bisa dipikirkan nanti. Tapi yang penting saya menjaga aset saya. Bagi saya, aset saya adalah staf saya. Jadi, jangan sampai staf saya meninggalkan saya di saat seperti ini. Bagaimana caranya supaya saya bisa bekerja sama dengan mereka, dan mereka bisa mengerti keadaannya. Mereka juga bisa mendapatkan pemasukan dari project lain yang kami buat, seperti tadi ada insentif dan segala macam. Jadi, kalau nanti udah mulai sembuh keadaannya, kami nggak kehilangan staf dan nggak pusing lagi mencari profit yang memang hilang di beberapa bulan lalu.

Ada pesan-pesan terakhir?

Kalau saya sih, berpikirnya gini. Esensi sebuah kopi adalah koneksi. Saya tidak mau kehilangan koneksi itu. Jadi, saya berpikir bagaimana caranya saya bisa membuat brand saya tetap ada bagi penikmat-penikmat kopi di luar sana. Saya tidak mau orang berpikir kalau kami ini akan bangkrut. Kami harus lebih meyakinkan mereka agar mereka percaya bahwa kami bisa bertahan.

Saya juga bikin program baru, semacam sharing session gitu. Kami mengundang pelanggan-pelanggan kami untuk berinteraksi. Kami menanyakan apa yang mereka rasa hilang di keseharian mereka dengan tidak pergi ke coffee shop dan tidak berinteraksi dengan para barista atau teman-teman. Jadi kami semacam bikin virtual coffee shop untuk membuat brand kami tetap eksis. Untuk mempertahankan eksistensi, kami percaya setiap kedai kopi harus menjaga konsumennya.

Share: Kedai Kopi di Tengah Pandemi: Kita Cuma Bisa Jadi Survivor