General

Pemilu Usai, Kritik terhadap SBY Jalan Terus

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Partai Demokrat tak henti-hentinya dibicarakan selepas Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Beberapa waktu lalu, beredar kabar bahwa kader-kader senior Demokrat yang tergabung dalam Gerakan Moral Penyelamatan Partai Demokrat (GMPPD) hendak menggelar Kongres Luar Biasa (KLB). Terbaru, orang nomor satu partai, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), didesak agar mundur dari jabatan ketua umum.

Desakan itu datang dari para anggota Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator (FKPD) Partai Demokrat, di antaranya Hengky Luntungan dan Sahat Saragih. Keduanya menilai SBY gagal menjalankan tugasnya sebagai nahkoda partai. “SBY gagal sebagai ketua umum dalam dua periode pemilu, 2014 dan 2019,” kata Hengky Luntungan di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Selasa (02/07).

Pada Pemilu 2009, Demokrat meraih 20,40 % suara nasional, namun merosot jadi 10,19% pada 2014. Pada 2019, Demokrat pun tak dapat bicara banyak. Perolehan suaranya terjun bebas menjadi 7,77%, peringkat ketujuh. Berdasarkan catatan itulah SBY dianggap gagal sebagai nahkoda. Padahal, sebetulnya, Demokrat sudah memasang ancang-ancang untuk melakukan suksesi kepemimpinan dengan menaruh AHY di panggung politik berskala besar, dengan maksud menarik perhatian lagi seperti di masa kejayaan SBY.

Upaya itu terlihat saat AHY langsung didaulat sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017. Meski kalah di putaran pertama, AHY kemudian diangkat menjadi ketua Komando Tugas Bersama (Kogasma) untuk menjalin komunikasi politik dengan partai-partai lain menjelang Pemilu 2019.

Sayangnya, upaya-upaya itu belum berbuah. Demokrat tetap kepayahan menjaring suara. Terlebih situasinya saat ini sudah jauh berbeda. SBY bukan lagi seorang presiden dan pengaruh nama besarnya semakin pudar. Maka Hengky dan rekan-rekannya berteriak. Hengky bahkan menyebut SBY sebagai ketua umum yang ketinggalan kelas hingga dua kali, karena turut andil menghilangkan lebih dari setengah suara pendukung partai dalam dua periode pemilu.

SBY dan Partai Dinasti

Lebih jauh, Hengky menyebut SBY juga telah merusak tatanan partai dengan melanggar sejumlah AD/ART. “SBY menganut sistem partai dinasti dan sering menyingkirkan para pejuang partai yang telah berjasa kepadanya.”

Hal itu, katanya, terlihat dari penunjukan AHY sebagai Ketua Kogasma. Menurut Wakil Ketum DPP FKPD Partai Demokrat, Subur Sembiring, Kogasma pimpinan AHY merupakan lembaga ilegal di Partai Demokrat. “Kogasma itu tidak ada dalam AD/ART kepengurusan, saya kasih tahu. Ini blak-blakan saya sampaikan,” kata Subur.

Subur juga membantah narasi bahwa AHY dan Kogasma telah menaikkan jumlah pemilih dan pendukung partai. “Itu dibilang AHY kerja keras Kogasma, Kogasma itu ilegal,” katanya mengulangi. “Membuat badan organisasi Kogasma untuk alat pemenangan pilpres dan pileg, ternyata gagal dan tidak bermanfaat seperti saksi-saksi pileg yang amburadul.”

Menurut Subur, SBY memaksakan kehendaknya secara sepihak untuk memajukan AHY dalam Pilkada DKI Jakarta. Padahal, katanya, saat itu AHY bahkan belum menjadi kader Partai Demokrat.

Menanggapi FKPD Partai Demokrat, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan akhirnya buka suara. Ia menepis tudingan bahwa Kogasma ilegal. Selain sesuai dengan AD/ART partai, kata Hinca, pembentukan Kogasma juga tertuang dalam Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat No.92/SK/DPP.PD/II/2018.

“Jadi kalau ada yang bilang Kogasma ilegal, itu sama sekali salah. Yang benar adalah ini bagian strategi kami untuk memenangkan pemilu. Faktanya kami dipercaya 7,7% masyarakat. Kogasma sah dan menurut aturan itu baik,” ujarnya.

Share: Pemilu Usai, Kritik terhadap SBY Jalan Terus