Isu Terkini

Pandemi COVID-19 Bahkan Bisa Mengubah Arsitektur

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

“Setiap zaman menuntut bentuknya sendiri,” tulis arsitek Hannes Meyer, direktur Bauhaus Dessau (1928-1930).

Jauh sebelum virus SARS-CoV-2 mewabah di seluruh dunia, orang-orang sebetulnya sudah sadar akan pentingnya merancang bangunan yang sehat. Seperti laporan The Guardian, Senin (13/4), wabah pes yang dimulai di Cina pada tahun 1855 ternyata tidak saja mengubah desain pipa saluran air, namun juga mengubah estetika ruangan. Desain ruangan berubah menjadi lebih terbuka terhadap cahaya matahari. Selain itu, lantai kamar mandi mulai menggunakan keramik dan cat warna putih mulai digunakan di mana-mana.

Pada tahun 1933, arsitek dan desainer Finlandia Hugo Alvar Henrik Aalto bersama dengan pasangannya Aino menyelesaikan pembangunan Paimio Sanatorium, sebuah fasilitas pengobatan penyakit tuberkulosis. Bangunan tersebut berbentuk geometris yang kaku, dengan dinding memanjang dipadu jendela lebar, kamar-kamarnya terang, dan berteras beratap lebar dengan pagar seperti yang ada di kapal pesiar.

Meski sudah dibangun sejak berpuluh tahun yang lalu, semua ciri khas yang ditampilkan bangunan Paimio Sanatorium menggambarkan arsitektur modernis seperti yang saat ini kita kenal. Misalnya, model bangunan yang muncul dari karya Bauhaus di Jerman dan Le Corbusier di Prancis.

Namun, pilihan material dan desain sanatorium ini tidak hanya memperhitungkan estetika. “Tujuan utama bangunan ini adalah berfungsi sebagai alat medis,” tulis Aalto seperti dikutip dari The New Yorker, Senin (22/6). “Desain kamar ditentukan oleh kekuatan pasien yang terkuras, berbaring di tempat tidurnya,” ujar Aalto. “Warna langit-langit dipilih untuk ketenangan, sumber cahaya berada di luar bidang penglihatan pasien, pemanasan berorientasi pada kaki pasien.”

Paparan cahaya siang yang luas dari jendela serta teras juga bagian dari perawatan. Sinar matahari terbukti efektif membunuh bakteri tuberkulosis.

Banyak bentuk arsitektur modern bisa dipahami sebagai sebuah konsekuensi dari ketakutan terhadap penyakit, keinginan untuk memberantas kamar gelap dan sudut-sudut berdebu tempat bakteri bersembunyi. Le Corbusier, misalnya, mengangkat rumahnya dari tanah yang lembab untuk menghindari kontaminasi.

Villa Muller yang didesain oleh arsitek bernama Adolf Loos di Praha, pada 1930, memiliki ruang terpisah untuk mengkarantina anak-anak yang sakit. Loos bekerja sama dengan dokter progresif untuk membangun sanatorium lain di seluruh Eropa.

“Tuberkulosis membantu membuat arsitektur modern menjadi modern,” tulis Profesor Beatriz Colomina dari Princeton University dalam “Arsitektur X-Ray”.

Bagaimana Perubahan Arsitektur Semasa Pandemi COVID-19?

Hari-hari ini, pandemi COVID-19 mengubah banyak hal. Tak hanya memaksa orang menjalankan pola hidup sehat, ia juga membuat orang-orang berpikir kembali tentang ruang. Pengalaman kolektif masyarakat yang harus tinggal di dalam rumah selama berbulan-bulan, misalnya, berpotensi menentukan masa depan arsitektur dalam waktu dekat.

“Selama karantina, kita diminta berada di dalam sel kecil masing-masing,” kata Profesor Beatriz Colomina. “Virus ada di jalan, di ruang publik, dalam angkutan massal, sehingga rumah mungkin menjadi ruang yang aman.”

Berbeda dari rancangan bangunan modern kebanyakan, ruang yang dibutuhkan untuk karantina lebih bersifat defensif, dengan tembok-tembok yang membatasi dan menciptakan zona-zona yang aman. Dalam konsep bangunan karantina ini, ruang terbuka lebar dihindari.

Karantina membuat sebagian besar pekerja lebih akrab dengan dinding rumah setiap hari. Terkadang yang jadi masalah saat karantina adalah soal minimnya akses cahaya matahari di sebuah kamar, lantai kotor di kamar lain, perlunya kamar mandi tambahan. Di situasi seperti ini, ruang harus benar-benar dipikirkan.

Arsitek bernama Koray Duman tinggal bersama pasangannya dan anak mereka yang berumur 16 bulan di sebuah apartemen yang dirancangnya di Lower East Side, New York. Karantina membuat mereka jengah dengan barang-barang yang mereka simpan. “Anda pasti melihat setiap detail barang, dan benda-benda itu membatasi ruang gerak Anda. Jika Anda memiliki sedikit barang, tentu saja Anda merasa lebih bebas,” kata Duman.

Pasangan Florian Idenburg dan Jing Liu, yang juga kepala perusahaan SO-IL, perancang museum seni, perumahan, dan lain-lain, menyatakan bahwa karantina membuat mereka harus berpikir ulang tentang perancangan.

Selama karantina, SO-IL merancang proyek perumahan di Brooklyn dengan 30 unit di gedung 12 lantai. Menariknya, mereka memperbarui skema apartemen sesuai dengan situasi pandemi. Misalnya saja dapur, ruang makan, dan ruang tamu semuanya dibuat terpisah. Kamar tidur terpisah, ruangan akustik bisa dipakai sebagai ruang kerja. Mereka juga menyediakan lebih banyak meja persegi panjang untuk menciptakan jarak.

Konsep Ruangan Kantor untuk Bekerja

Bagaimana dengan konsep ruangan kerja di kantor? Para pekerja yang terpaksa bekerja di tengah pandemi tentu harus tetap berjarak dan terpisah dengan rekan-rekannya yang lain saat berada di kantor. Pedoman yang jelas selama di kantor perlu diterapkan jika ingin mengubah kebiasaan selama bekerja.

Arsitek Inggris Arjun Kaicker mengatakan bahwa koridor ruang kantor akan didesain lebih luas. Perubahan tak hanya terjadi pada desain ruangan namun juga mebel. Menurut Kaicker, jarak antarmeja kantor saat ini telah menyusut dari 1,8 meter menjadi 1,6 meter dan sekarang 1,4 meter. bahkan kurang dari itu. “Tapi sekarang saya pikir kita akan melihat kebalikannya, karena orang tidak akan mau duduk berdekatan,” kata Kaicker yang saat ini bekerja di Zaha Hadid Architects.

Kaicker bahkan membayangkan akan ada aturan tertulis mengenai batas maksimum orang dalam satu ruangan serta penggunaan lift dan lobi untuk mengurangi kepadatan. Lift juga dapat didesain untuk dikendalikan melalui smartphone, tanpa menyentuh tombol. Pintu kantor dapat dibuat terbuka otomatis menggunakan sensor gerak dan pengenalan wajah. Desain ini, menurutnya, mungkin bisa diterapkan untuk perkantoran pasca-pandemi. Selain itu akan ada banyak partisi yang dibangun untuk membatasi ruangan antardepartemen serta akan ada lebih banyak tangga

Jeroen Lokerse, Direktur Pelaksana untuk konglomerat real estat internasional Cushman & Wakefield di Belanda, mengatakan visualisasi adalah kunci untuk memastikan orang-orang merasa aman. Pada 25 Maret, Lokerse mulai memikirkan bagaimana caranya memanfaatkan ruang kantornya yang saat ini kosong agar tetap aman bagi pegawainya.

Hasilnya adalah “the 6 Feet Office”, di mana ubin karpet membatasi lingkaran hitam enam kaki di sekitar setiap meja di denah terbuka. Kursi tambahan, diposisikan di luar lingkaran, yang berfungsi memfasilitasi percakapan di antara rekan kerja. Kursi ruang konferensi dikurangi, dan ruang tertutup harus keluar searah jarum jam, bersamaan, sehingga rekan kerja tidak saling bertabrakan.

Hotdesking atau pembagian satu meja untuk banyak pekerja, harus memakai bantalan meja kertas sekali pakai, di mana seorang pekerja bisa mengatur laptop atau keyboard dan mouse-nya ketika tiba di kantor.

Cushman & Wakefield secara perlahan menguji desain “the 6 Feet Office” di kantornya di Amsterdam, yang dulunya bisa menampung 275 orang, namun kini hanya bisa diisi 75 orang pada waktu bersamaan. Saat lockdown diperluas dan meningkat, Lokerse berharap untuk mulai bekerja dengan 25 persen karyawan saja di kantor.

Share: Pandemi COVID-19 Bahkan Bisa Mengubah Arsitektur