Menyikapi tren jualan yang saat ini banyak dilakukan secara digital bikin Norwegia bakal memberlakukan aturan bagi selebgram atau influencer. Mereka yang mengedit foto dengan mengubah sebagian atau seluruh tubuhnya untuk tujuan komersial akan diancam hukuman pidana. Duh, perlu enggak sih?
Menghindari Dampak Negatif Kesehatan Mental
Melansir New York Post, aturan baru ini diberlakukan Norwegia melalui undang-undang baru di negara tersebut. Di dalam aturan yang dirancang oleh Kementerian Anak dan Urusan Keluarga Norwegia ini, disebutkan selebgram atau influencer yang mengiklankan sebuah produk lewat unggahan yang di dalamnya ada editan sebagian atau keseluruhan pada bagian fisiknya, bisa didenda dan dipenjara.
“Influencer yang dibayar untuk menerima endorsement harus memberi label dengan jelas pada unggahan Instagram jika foto mereka telah melalui editan. Selebgram yang mengedit bibir, dada lebih besar, atau memberikan ilusi otot dan area tubuh lebih ramping harus dijelaskan lewat keterangan foto. Jika melanggar atau diam-diam melakukan editan di tubuh, namun tidak dijelaskan di keterangan foto, maka hukuam penjara akan menanti,” demikian bunyi aturannya.
Undang-undang tersebut, berdasarkan sumber yang sama juga diberlakukan untuk unggahan bernilai komersial di platform media sosial lain seperti Facebook, TikTok, Twitter, dan Snapchat.
Raja Norwegia Raja Harald V akan segera memutuskan diberlakukannya Undang-undang tersebut. Oleh sebab itu, sampai saat ini belum diberi tahu jumlah denda dan ancaman hukuman penjara yang bakal diterapkan sebagai sanksinya. Namun, secara tegas seluruh influencer dan selebgram negara setempat diminta mematuhi aturannya bila tidak mau tersangkut kasus hukum.
Adapun kebijakan aturan ini diambil Norwegia karena platform media sosial dinilai seringkali berdampak negatif bagi kesehatan mental. Sebab, banyak orang yang merasa kehilangan rasa percaya diri, bahkan terintimidasi karena melihat unggahan orang lain yang menampilkan kesan citra fisik yang sempurna.
Baca juga: Akun Bisnis Instagram, Ini Kata “Influencer” Soal Manfaatnya | Asumsi
Di tahun 2017, laporan yang dirilis Royal Society for Public Health Inggris menyebut Instagram sebagai platform media sosial dengan efek terburuk pada kesehatan mental anak muda. Salah satu respons Instagram terhadap hal ini, dilakukan dengan merilis fitur opsi menyembunyikan jumlah tanda suka di unggahan supaya orang lain tidak merasa minder dengan jumlah tanda suka yang diterimanya lebih sedikit.
Dinilai Berlebihan
Beauty Influencer dan selebgram Indonesia Affi Assegaf mengaku terkejut terkait rencana Norwegia tersebut. Meski demikian, ia menyatakan influencer yang seperti ini memang tidak etis karena membohongi publik.
“Kalau yang dilakukan influencers untuk tujuan komersial, misalnya mengiklankan suatu produk tapi foto yang di-upload hasilnya editan itu memang enggak etis sih. Kayak obat pelangsing, tapi badannya jadi kelihatan kurus di foto karena hasil editan. Merekomendasikan skincare karena dibayar brand-nya tapi fotonya muka editan hitungannya sudah menipu followers sih. Cuma kalau sampai dipidana kayaknya cukup ekstrem dan berlebihan. But, I don’t know mungkin kebijakan ini dianggap perlu karena penipuan juga pelanggaran hukum,” jelas Affi kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Rabu (7/7/21).
Ia mengaku tak khawatir jika aturan ini diberlakukan secara global, termasuk Indonesia, sehubungan negeri ini sudah punya polisi siber yang bakal melakukan penindakan bagi pelanggar hukum di dunia maya.
Ia melihat sudah banyak selebgram termasuk dirinya yang sudah sadar saat mengunggah foto editan perlu diberikan keterangan supaya tidak terkesan menipu orang lain.
Namun, influencer dengan pengikut 82.000 orang ini tetap mengingatkan selebgram lain supaya tak pernah lupa melakukan ini sebagai bentuk transparansi kepada para pengikutnya, apalagi jika unggahan tersebut bernilai jual atau kerja sama komersial dengan pihak lain.
Baca juga: Geger Seleb TikTok Sukses Endorse Bank Digital Hingga 1,5 Juta Akun | Asumsi
“Hal ini yang harus digalakan, transparansi. Kalau di negara lain kayak Eropa dan Amerika Serikat kan, harus ada disclaimer kalau kita mengiklankan sebuah produk kayak misalnya itu bentuknya unggahan biasa lalu ada disponsori pihak tertentu, secara hukum mesti dicantumkan. Bahkan dari platform-nya sudah menghadirkan fiturnya. Di Indonesia memang belum ada. Jadi kita enggak tahu mana yang review berbayar dan tidak berbayar misalnya. Cuma saya lihat sudah banyak kok selebgram kita yang menginfokan di unggahannya kalau ini hasil editan lho,” tuturnya.
Kode Etik Influencer Dinilai Perlu
Terkait dampak kesehatan mental, Affi menilai perlu ada kode etik bagi influencer saat menjalankan tugasnya memengaruhi warganet lewat kampanye atau promo yang digaungkan di media sosial.
“Kita enggak bisa memungkiri influencer saat ini adalah profesi baru, apalagi di masa pandemi yang kerjanya serba vitual. Kode etik ini perlu ada supaya influencer, khususnya mereka yang bisa memengaruhi jumlah orang dalam skala besar dan audiensnya yang lebih mudah terpengaruh, kayak remaja dan anak ada pakemnya. Ini kan, perlu lebih sensitif dalam membuat dan mengunggah kontennya supaya mereka teinspirasi, mau beli atau mau coba produk tertentu, tanpa merasa insecure. Perlu banget sih untuk ada kode etik bagaimana seorang influencer yang ideal dalam menjalankan pekerjaan kayak gimana,” jelas dia.
Sementara itu, influencer lainnya Tirta Mandira Hudhi mengapresiasi kebijakan hukum yang tengah direncakanan Norwegia bagi para influencer dan selebgram di negara tersebut. Menurutnya langkah ini penting untuk membentuk kepekaan mereka bahwa tampil apa adanya di dunia maya merupakan sesuatu yang tak perlu dikhawatirkan.
“Justru dengan kita tampil apa adanya, enggak usah pakai editan itu saya percaya bikin aura semakin keluar. Coba lihat di postingan Instagram aku, enggak ada itu yang editan. Aku lagi jerawatan ya, enggak apa-apa. Badanku enggak tegap berotot kayak cowok-cowok yang dianggap ideal oleh banyak orang ya pede saja. Aura kita lebih keluar kok, asal enggak kucel dan kalau cewek dandan seperlunya saja,” jelas pria pemilik akun Instagram @dr.tirta ini saat dihubungi terpisah.
Ia menilai aturan yang bakal diberlakukan di Norwegia ini bukan untuk mengekang kebebasan berekspresi warganya di dunia maya. Sebab, disampaikan tindakan hukum bakal diambil jika influencer mengedit foto untuk kepentingan komersial.
Baca juga: Modus Penipuan Online, Apa Saja Bentuknya dan Bagaimana Menghindarinya? | Asumsi
“Ya mesti ditindak hukum dong kan, arahnya ini kasus penipuan. Kayak kalau kita ketemu orang di aplikasi kencan terus kenalan misalnya. Di foto mukanya cantik pas ketemu kok, editan banget ternyata, jauh sama aslinya. Begini saja kita kesal kan, merasa tertipu penampilan luarnya. Apalagi kalau buat promosi atau endorse produk yang pakai foto menipu lewat editan foto, pihak brand juga bisa menuntut secara hukum sebenarnya,” terangnya.
Memungkinkan Diterapkan di Indonesia
Hal senada juga disampaikan Sekretaris Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Satriyo Wibowo. Ia menyebut rencana aturan ini digagas Norwegia supaya warga negaranya tidak ada yang terkena kasus penipuan.
Menurutnya keberadaan influencer justru dibutuhkan banyak merek ternama supaya produk mereka bisa terpublikasikan dengan baik dan sejujur-jujurnya lewat ulasan yang diunggah di medsos.
“Influencer ini kan, menjual persona supaya orang percaya kalau yang disampaikan dan direkomendasikan sama dia itu benar-benar bagus. Ya, mesti sesuai dong, jangan bilang bagus atau pakai editan yang menunjukkan sebuah produk obat muka itu bagus karena dia sudah dibayar mahal. Kalau bohong ya, penipuan,” ujarnya lewat sambungan telepon.
Aturan ini, lanjut dia, sangat memungkinkan diterapkan di Indonesia. Selain sudah ada polisi siber, Indonesia juga sudah memiliki aturan hukum yang melindungi konsumen dari penipuan iklan produk atau jasa.
“Negara kita juga sebetulnya ada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di situ juga disebutkan barang yang dijual harus sesuai dengan yang diiklankan. Kalau ada dramatisasi, mesti disebutkan hanya untuk kebutuhan visual misalnya. Nah ini, kenapa bakal diterapkan di Norwegia? Menrutut saya kemungkinan besar sudah banyak kasus orang yang menjual personanya, mengaku jadi influencer untuk menipu demi dapat banyak uang,” kata dia.