Meski telah menetapkan Wisma Atlet sebagai RS darurat dan menyediakan 360 rumah sakit rujukan, pemerintah Indonesia masih belum punya kerangka yang jelas dalam menghadapi COVID-19. Sementara itu, hampir 70% rumah sakit di Indonesia dikelola swasta. Hal ini, seperti yang diakui Susi Setiawaty, ketua Asosiasi RS Swasta Indonesia (ARSSI), “masih kurang” untuk mengatasi pandemi.
Kondisi serupa terjadi pula di luar negeri. Ini adalah krisis global. Rumah sakit di negara maju sekalipun mengalami kesulitan. Menghadapi hal ini, Spanyol menasionalisasi beberapa rumah sakit swasta. Kebijakan serupa juga ditempuh pemerintah Irlandia sejak akhir Maret 2020. Setidaknya sebanyak 19 rumah sakit swasta dikelola sebagai milik publik untuk sementara waktu, selama 3 bulan.
Kelompok progresif Amerika Serikat juga menyuarakan nasionalisasi rumah sakit sebagai satu bentuk intervensi darurat saat krisis, juga demi memutus ekspansi komersialisasi sektor kesehatan lebih jauh.
Apakah pemerintahan Indonesia siap mengambil kebijakan demikian?
Nasionalisasi rumah sakit swasta merupakan kebijakan populis yang bisa mengurangi beban rumah sakit umum serta menambah ketersediaan fasilitas perawatan. Namun, di sisi lain, kelas pemodal akan merasa terancam dan menutup pintu-pintu rumah sakit swasta. Bagi mereka, fasilitas perawatan hanya tersedia bagi orang-orang yang bersedia membayar. Terlebih, selama 20 tahun terakhir (sejak 1998), sektor kesehatan di Indonesia telah mengalami liberalisasi besar-besaran. Malah, liberalisasi sektor kesehatan dianggap sebagai keniscayaan dan kunci bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Indonesia sesungguhnya punya riwayat nasionalisasi besar-besaran pada 1957-1964. Serikat buruh pada masa itu berhasil mengambil alih sejumlah perusahaan asing (terutama milik modal Belanda). Sayangnya, perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi itu tidak dikelola oleh serikat buruh, melainkan jatuh ke tangan Angkatan Darat. Catatan sejarah ini menggambarkan betapa perlunya mengamankan aset-aset penting di saat genting.
Pengalaman di beberapa negara berkembang lain juga tidak memberikan harapan cerah perihal nasionalisasi. Nasionalisasi perusahaan asing di Venezuela malah menyebabkan krisis ekonomi karena investor asing enggan menanamkan modal. Hal ini tentu bikin cemas pemerintah Indonesia yang sedang giat-giatnya memikat investor asing guna mengejar proyek-proyek pembangunan.
Terlepas dari apakah pemerintah Indonesia akan melakukan nasionalisasi rumah sakit swasta, ada satu hal penting yang tak boleh luput dari perhatian: serikat buruh yang kuat di kalangan perawat dan tenaga kesehatan kita.
Para perawat dan tenaga kesehatan lain yang bekerja di rumah sakit, pada hakikatnya, adalah buruh. Mereka berhak mendirikan serikat buruh guna melindungi hak dan kepentingan mereka di tempat kerja.
Di bawah mantra “demi pelayanan umum,” para perawat dan tenaga kesehatan di Indonesia kelewat sering dipaksa menerima penindasan di tempat kerja: gaji di bawah UMR, waktu kerja yang panjang dan tidak reguler, dan masifnya sistem kerja kontrak. Selama 20 tahun terakhir pula, tidak ada serikat buruh yang tumbuh kuat di kalangan perawat dan tenaga kesehatan kita. Seiring derasnya liberalisasi sektor kesehatan di tanah air, ketimpangan dalam sistem pelayanan rumah sakit kita semakin parah.
Nasionalisasi rumah sakit swasta di Spanyol dan Irlandia bisa berlangsung karena adanya serikat perawat dan tenaga kesehatan sebagai aktor penyeimbang kepentingan modal di sektor kesehatan. Karena itu pula, Indonesia perlu membangun serikat buruh yang kuat di kalangan perawat dan tenaga kesehatan sebagai syarat utama keberlangsungan sistem kesehatan publik yang mumpuni.
Slogan perawat sebagai “pejuang garda terdepan” jangan sampai mengaburkan ketimpangan yang selama ini terjadi di rumah sakit kita akibat liberalisasi.
Jafar Suryomenggolo, penerima LITRI Translation Grant 2018 untuk terjemahan sejumlah cerpen karya buruh migran dalam kumcer At A Moment’s Notice (NIAS Press, 2019).