Isu Terkini

Mungkin Betul Tidak Anti-Kritik, Tapi Apa yang DPR Maksud dengan Merendahkan?

Pangeran Siahaan — Asumsi.co

featured image

Momentum dan distraksi. Dua hal yang dengan piawai diutilisasi oleh para politisi handal. Saya masih ingat betul, beberapa waktu lalu kita masih sibuk menuntut DPR untuk membatalkan Revisi KUHP yang dinilai sebagai infiltrasi negara ke dalam ruang privat. Beberapa LSM dengan keras menyuarakan resistensi. Bahkan sampai menggelar aksi protes di depan gedung DPR. Namun ketika perhatian sedang terfokus pada RKUHP, dengan cerdiknya (atau licik, tergantung perspektif) DPR menggolkan UU MD3. Langkah klasik. Straight out of politician’s handbook.

UU MD3 memang mengandung beberapa poin yang memicu perdebatan publik. Yang paling sering dibicarakan tentu saja Pasal 122k yang dianggap membuat DPR menjadi lembaga anti-kritik yang tak bisa diminta pertanggungjawabannya oleh rakyat. Pasal tersebut menyatakan bahwa barangsiapa yang merendahkan martabat DPR, baik secara lembaga ataupun individu, bisa dituntut secara hukum.

Sebagai lembaga negara yang citranya terbenam di lantai dasar, publik menganggap bahwa pasal ini adalah langkah DPR untuk mengenakan rompi anti peluru dari berbagai tembakan masyarakat soal kinerja mereka. Udah gak kerja, gak boleh dikritik pula. Begitu kira-kira argumen publik.

Tentu saja DPR punya sanggahan tersendiri soal argumen kontrak UU MD3 ini. Beberapa pimpinan DPR yang saya temui langsung dengan tegas mengatakan bahwa mereka tidak anti kritik. Bahkan mereka menyuruh menunjukkan di sebelah mananya UU MD3 membuat DPR anti kritik. Ketika ditunjukkan soal pasal mengenai “merendahkan martabat DPR” tersebut, mereka berkilah bahwa mengkritik dan merendahkan adalah 2 hal yang berbeda. Kritik tidak serta merta merendahkan.

Bahkan saya dihadapkan pada penjelasan pro UU MD3 dari pihak DPR yang sebelumnya tidak pernah saya dengar. Ini adalah soal Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Jadi jika ada pihak yang dianggap merendahkan DPR, maka hal ini akan dilaporkan ke MKD untuk dipertimbangkan apakah benar telah terjadi perendahan martabat. MKD yang menentukan apakah kejadian tersebut layak untuk diproses lebih lanjut.

Seorang anggota Baleg (Badan Legislasi) DPR beberapa waktu lalu mengatakan kepada saya bahwa hal ini justru melindungi warga masyarakat untuk terlibat langsung head-to-head dengan anggota parlemen seandainya terjadi kasus yang berhubungan dengan perendahan martabat. Ia mengatakan bahwa justru warga terlindungi karena seandainya tidak ada MKD, maka anggota DPR bisa langsung menuntut warga tersebut dengan pasal pidana seperti UU ITE, misalnya. Dengan adanya MKD, maka kontak hukum langsung antara anggota DPR dan anggota masyarakat terhindarkan.

Ketika saya mengajukan kontra-argumen bahwa jika terjadi kasus hipotetis seperti itu, MKD tetaplah lembaga yang isinya juga para anggota DPR yang mana adalah kolega dari wakil rakyat yang terlibat perseteruan tersebut. Seperti semacam, masa MKD gak akan ngebelain temennya sendiri?

Anggota Baleg DPR yang sama menegaskan bahwa hal seperti itu tidak akan terjadi. MKD akan punya kebijaksanaan tersendiri yang tidak akan main asal proses.

Ia kembali menegaskan bahwa selama ini rakyat bebas mengkritik DPR dan akan terus demikian.

“Selama ini juga ada yang datang (mengkritik) ke DPR membawa gerobak sampah, kami biarkan. Kami tidak anti kritik. Kalau mau kritik, silakan”, ujarnya.

Pimpinan DPR yang lain bahkan mengatakan tidak akan ada warga masyarakat yang diproses karena mengkritik DPR.

Kuatnya dan gencarnya keyakinan para pimpinan DPR dan anggotanya bahwa UU MD3 tidak akan membuat mereka tidak bisa dikritik membuat saya berpikir akan beberapa hal.

Yang pertama soal kontra-argumen dari pihak DPR bahwa UU MD3 sejatinya malah untuk melindungi warga negara. Ini terdengar menggelikan memang, namun menghindarkan warga dari kontak hukum langsung dengan anggota DPR ada benarnya. Karena jika terjadi kontak hukum dan yang maju adalah MKD versus warga negara, maka yang terjadi adalah bentrok antara institusi versus individu. Ini akan jadi pemandangan yang tak elok. Lembaga wakil rakyat melawan rakyat secara perorangan. Dari kacamata politik, bahkan rasanya DPR kita dengan segala reputasi uniknya pun tak akan menempuh jalan tersebut.

Yang kedua adalah soal semantik. DPR bersikukuh bahwa kritik dan merendahkan adalah 2 hal berbeda. Yang tertulis di UU MD3 adalah “merendahkan”. Tak ada soal kritik. DPR bilang bahwa mereka tidak anti kritik dan ngotot bahwa tidak akan ada warga yang diproses karena kritik. Yang jadi masalah adalah tidak ada definisi dan batasan yang jelas soal apa yang dimaksud dengan “merendahkan”. Karena tidak jelasnya batasan, maka ini potensial jadi problem karena berarti apa yang dimaksud dengan merendahkan tergantung pada interpretasi DPR.

Jadi, jika selama ini berteriak bahwa DPR membuat dirinya jadi imun terhadap kritik, maka DPR akan nyaman untuk menyanggah bahwa DPR tidak anti kritik karena memang UU MD3 tidak membahas mengenai kritik. Yang ada adalah soal merendahkan.

Maka jangan-jangan selama ini kita terdistraksi dan salah dalam merangkai narasi dan menentukan sasaran tembak. Alih-alih menuntut DPR untuk tidak anti kritik (yang akan dengan mudah ditepis), mungkin seharusnya kita lakukan adalah menuntut DPR untuk melakukan elaborasi yang jelas soal apa yang dimaksud dengan merendahkan.

Rasanya sekarang kita mempunyai momentum yang tepat untuk menanyakan hal tersebut kepada DPR. Tinggal sekarang masalahnya kita terdistraksi atau tidak.

Pangeran Siahaan adalah co-founder dan Editor-in-Chief Asumsi

Share: Mungkin Betul Tidak Anti-Kritik, Tapi Apa yang DPR Maksud dengan Merendahkan?