Isu Terkini

Mudik atau Tidak Mudik, Bukan Cuma Itu Persoalannya

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Selagi pandemi COVID-19 terus merajalela, kehidupan sehari-hari berubah 180 derajat, dan ketidakpastian bikin migrain berkepanjangan, satu pertanyaan bergelantungan di benak banyak orang: gimana kalau keadaan ini berlanjut sampai Lebaran?

Bila tak ada aral merintang, tahun ini Idulfitri akan jatuh pada tanggal 23 Mei 2020. Namun, bukan Lebaran yang jadi kekhawatiran banyak orang–termasuk pemerintah kita. Segala yang kita ketahui tentang virus COVID-19 bermuara pada satu hal: keluar rumah adalah gagasan buruk. Physical distancing wajib diamalkan agar diri sendiri–dan orang lain–tidak tertular virus.

Sudah tentu, hal ini nyaris mustahil dilakukan di tengah arus mudik. Tahun lalu, jumlah pemudik di Indonesia mencapai 23 juta orang. Wilayah Jabodetabek saja menyumbang 14,9 juta orang pemudik. Ketika wilayah-wilayah lain di dunia bergantian menerapkan lockdown dan membatasi ruang gerak warganya guna menghentikan laju penyebaran virus, kita justru dihadapkan pada skenario di mana puluhan juta orang akan bergerak, menyesaki kapal, jalan raya, pesawat terbang, dan kereta api untuk kembali dari kota seperti Jakarta–wilayah yang paling banyak kasus positif COVID-19–ke kampung halaman. Kampung yang belum tentu punya infrastruktur medis memadai, jumlah pekerja medis yang cukup, apalagi protokol penanganan pandemi yang tepat guna. Sederhananya: ini skenario kiamat.

Namun, pemerintah mengambil langkah tegas: mereka tidak akan melarang mudik. Dalam pernyataan pers kemarin (2/4), jubir kepresidenan Fadjroel Rachman membuat pernyataan bahwa masyarakat diperbolehkan mudik. Syaratnya, begitu tiba di kampung halaman, mereka harus mengisolasi diri selama 14 hari. Pernyataan ini diamini oleh presiden Joko Widodo, yang menyatakan bahwa pemudik–terutama dari Jabodetabek–harus ditetapkan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan wajib isolasi mandiri di kampung halaman.

Benar. Mudik, selama 14 hari, lalu harus isolasi. Tahan dulu, masih ada banyak info lain.

Fadjroel bikin pernyataan tersebut dalam sebuah konferensi pers pagi hari. Namun sore harinya, ia balik kanan. Dalam sebuah siaran pers, ia menyatakan bahwa pemerintah mengimbau agar masyarakat tidak mudik. Posisi anyar ini dikonfirmasi oleh Mensesneg Pratikno. “Pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik.”

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) sekaligus Menhub Ad Interim, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa pemerintah akan menyampaikan bahwa mudik punya konsekuensi mematikan. “Kalau dilarang pun, mau mudik saja. Jadi kami imbau kesadaran bahwa kalau Anda mudik, pasti bawa penyakit. Hampir pasti bawa penyakit. Dan kalau bawa penyakit, di daerah bisa meninggal. Bisa keluargamu,” tuturnya.

Masuk akal. Kalau kamu tinggal di daerah yang “zona merah”, lalu pulang kampung, kamu bisa diam-diam membawa penyakit dan menulari keluargamu. Lantas, kenapa tidak terang-terangan melarang orang mudik? Toh, bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja sudah mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya mudik dalam situasi wabah. Mengapa pemerintah sekadar mengeluarkan imbauan?

Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa pemerintah pusat ingin “ekonomi tidak mati sama sekali.” Menurut analisisnya, larangan mudik dan lockdown total bakal menghentikan aktivitas ekonomi dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat kelas bawah. “Kalau kita bisa disiplinkan masyarakat dan bantuan media berikan berita yang pas, dan jaga jarak, maka itu sangat membantu,” ucap Luhut.

Selain “mendisiplinkan masyarakat” dan memberikan imbauan keras, pemerintah juga berencana memberikan insentif supaya orang tidak mudik. Menurut Presiden, pemerintah sedang mempertimbangkan beberapa skenario. “Untuk mudik, dalam rangka menenangkan masyarakat. Mungkin alternatif mengganti hari libur nasional di lain hari untuk Hari Raya, ini mungkin bisa dibicarakan,” kata Jokowi. Rencananya, fasilitas arus mudik juga akan diberikan pada hari pengganti tersebut dan pemerintah akan menggratiskan tempat wisata.

Langkah ini tentu tak lekas menenangkan gejolak jiwa raga penduduk Indonesia. Jokowi sendiri mengakui bahwa sejak jauh-jauh hari sebelum arus mudik, tak sedikit orang yang pulang kampung duluan karena kondisi yang tak pasti. “Banyak pekerja informal di Jabodetabek terpaksa pulang kampung lantaran penghasilannya menurun,” katanya, Senin (30/3). Saat ini, tak sedikit orang menghadapi kondisi serupa. Pilih apes sendiri di perantauan, atau di rumah bersama keluarga dan orang-orang terkasih?

Saya mengajak ngobrol beberapa kawan yang berusaha bersiasat di tengah kondisi tak pasti sekarang soal rencana mudik mereka. Ada yang batal mudik dan pusing karena pemasukan mengering, ada yang bertahan di Jakarta dan bingung dengan tanggungjawab barunya, ada pula yang nekat pulang kampung. Cerita mereka seru, penuh haru, dan banyak lika-liku.

Siapa tahu, kekhawatiran mereka mirip dengan kekhawatiranmu.

****

Bagus. Tinggal di Jakarta. Seorang tukang cukur rambut. Batal pulang kampung ke Lampung.

Bung, kenapa kamu dan kawanmu di barbershop memutuskan batal mudik?

Saya nggak mau nyebarin COVID-19 saja, Mas. Kita tahu itu gampang menular, tapi kita nggak tahu kita carrier atau bukan karena sampai sekarang belum ada pemeriksaan. Jadi kalau mau aman, kita mutusin buat nggak mudik.

Apalagi orang tua manula, dan anak kecil gampang tertular. Selama kita nggak yakin kita carrier atau bukan, kita memutuskan untuk tetap di Jakarta dulu.

Ada pernyataan dari Jokowi bahwa banyak orang yang nekat mudik sejak sekarang itu pekerja informal yang pemasukannya habis di perantauan. Kamu sepakat?

Menurut saya benar. Pekerjaan kayak kita pendapatannya sudah jauh banget dari bulan-bulan biasanya, di bawah 50 persen bahkan. Kita bingung juga karena penghasilan di sini turun banget. Tapi pada saat bersamaan, kami juga khawatir sama kesehatan orang-orang di kampung.

Tapi begini, mas. Pilihannya antara kesehatan atau duit. Kebetulan saya dan teman saya masih ada simpanan dan kami bisa bertahan 1-2 bulan ke depan. Cuma kalau pemerintah geraknya nggak cepat, sebenarnya kami juga waswas. Sampai kapan kami bisa bertahan dengan kondisi ekonomi kayak begini?

Ketika kamu bilang tidak jadi mudik, bagaimana tanggapan keluargamu?

Mereka paham kenapa kami nggak bisa mudik. Kebetulan komunikasi kami sama keluarga di kampung termasuk lancar. Mereka tahu bahayanya kami pulang kampung tanpa tahu kami bawa penyakit atau tidak. Lagipula, kumpul keluarga nggak harus Lebaran. Kalau Lebaran tahun ini belum memungkinkan, bisa hari lain.

Toh sudah ada teknologi yang memudahkan. Bisa video call, chatting, jadi tetap bisa silaturahmi walaupun nggak ketemu langsung.

Apa tanggapanmu soal posisi pemerintah yang mengimbau, tapi tidak melarang?

Menurut saya pemerintah membingungkan. Kalau pemerintah cuma bikin imbauan, menurutku percuma. Ujung-ujungnya kebanyakan orang pasti tetap mau pulang kampung, kumpul-kumpul, silaturahmi. Namanya juga mudik, mas. Mau bagaimana lagi?

Terus kalau mereka disuruh isolasi mandiri, harus bagaimana? Keluarga di kampung saya cerita, isolasi mandiri buat orang-orang yang pulang duluan itu nggak berjalan karena pengawasannya nggak ketat. Adanya insentif buat ganti hari libur itu baik, tapi cara implementasinya gimana? Takutnya nanti nggak tepat sasaran atau disalahgunakan.

Seharusnya pemerintah fokus mengontrol penyebaran COVID-19 ini dulu saja. Baru mikir ekonomi balik lagi. Sekarang banyak banget miskomunikasi antara Pemda dan Kementerian. Indonesia ini maunya gimana? Kok nggak jelas? Kita mau karantina wilayah, mau tes, tiba-tiba dianulir sama pusat. Katanya transportasi mau dikurangi layanannya, tapi Menkes bilang belum ada rekomendasi.

Saya penginnya pemerintah tegas. Minta saran dari pakar ekonomi, dari ilmuwan, orang yang memang paham. Jangan ada kepentingan politiklah.

****

Zara. Tinggal di Jakarta. Seorang pekerja kreatif. Batal pulang kampung ke Surabaya.

Kenapa kamu memutuskan batal mudik?

Tadinya, aku dan orang tuaku berencana kumpul di Yogyakarta. Sebenarnya aku sudah dapat tiket Lebaran sejak akhir Februari, tapi sekarang tiba-tiba ada pandemi global. Kereta itu transportasi publik. Kamu nggak tahu berapa banyak orang yang bakal kamu temui dan berapa banyak orang yang terpapar virus.

Akhirnya, orang tuaku juga memutuskan batal mudik. Perjalanan dari Surabaya ke Yogyakarta lumayan berat, dan berisiko juga karena ibuku penyandang disabilitas. Mereka nggak berani saat situasinya lagi kayak begini. Terus, ngapain aku mudik kalau keluargaku juga nggak mudik?

Memang, ini masa yang aneh dan penuh ketidakpastian. Cuma aku mikirnya begini–kalau mudik, nggak akan lebih baik juga secara finansial atau sosial. Walaupun di Jakarta juga nggak jelas, mending aku sekalian bertahan saja. Tapi, aku paham banget kalau ada yang memutuskan untuk balik ke keluarganya di situasi kayak begini.

Pemerintah memutuskan tidak melarang mudik, sekadar menghimbau supaya tidak mudik. Tapi kalau mudik, harus isolasi selama 14 hari. Gimana menurutmu?

Ini kayak permainan pilih petualanganmu sendiri. Karena bilangnya diimbau, jadi ada pilihannya kalau kamu mau. Kayak buku Goosebumps zaman dulu: kalau kamu memilih untuk mudik, buka halaman 30! Eh, kamu harus isolasi 14 hari! Tapi ada konsekuensinya di kehidupan nyata. Padahal, nggak ada yang memastikan orang itu beneran “dikunci” di kamar selama 14 hari. Haduh, menyenangkan sekali.

Gimana perasaanmu pas dengar kabar itu?

Wow, mereka percaya banget ya sama kita. Kita dikasih kepercayaan buat menentukan nasib kita sendiri. Itu gede banget, lho. Misalnya begini–aku tahu kamu sudah swakarantina selama 14 hari dan kamu nggak kenapa-napa, tapi apakah aku segitu percayanya sama kamu dan orang-orang di sekitarmu sehingga aku mau ngajak kamu ketemuan langsung? Nggak juga kan. Kalau antara kita berdua saja nggak bisa, gimana cara kita mempercayakan jutaan masyarakat Indonesia?

Misalnya kamu bilang, “Zar, aku percaya kamu udah jaga diri kok. Ayo, kita makan bareng keluar.” Waduh makasih, tapi nggak usah! Aku sendiri nggak sepercaya itu. Tapi pemerintah kita pede sekali.

Ada opsi lain: pindahin liburan ke akhir tahun supaya orang tidak mudik.

Lho, ini pandemi. Dari mana kamu tahu di akhir tahun semuanya bakal baik-baik saja? Kalau enggak, bakal zonk. Lebaran nggak usah libur, akhir tahun saja, eh akhir tahun masih pandemi. Itu kayak kamu main ular tangga, kamu sudah dapat tangga, terus kamu secara sukarela turun pakai ular.

Apakah kamu puas dengan penanganan pemerintah sejauh ini?

Hubungan kita dengan pemerintah lagi lucu. Rasanya kayak kamu lagi chatting sama orang yang kamu sukai, terus tiba-tiba dia nggak bales. Mungkin dia males meladeni kamu, atau kamu nyebelin, atau dia capek. Tapi, dalam hati kamu dengan pedenya merasa, “Wah, dia speechless. Dia nggak balas gue karena dia sampai speechless.” Ngerti nggak, sih?

Aku rasa negara lagi kayak begitu. Mereka pikir kita speechless karena kita terkesan. Padahal, kita beneran speechless. Mau ngomongin apa lagi?

Kita dikasih kepercayaan yang berlebihan. Rasanya kayak kita jadi anak kecil di film Home Alone. Orang tua atau kakak yang harusnya menjaga kamu malah meninggalkan kamu sendirian di rumah, dan terserah kamu mau ngapain. Tapi, di film Home Alone, anak itu jagoan. Dia tahu harus ngapain saat ada penjahat yang datang.

Tapi, ini kehidupan nyata. Kita nggak kayak anak di Home Alone. Ada jutaan masyarakat Indonesia yang dipertaruhkan. Bisakah kita bersiasat? Mungkin saja bisa, tapi setelah itu gimana? Bayangkan kalau kamu diberi kepercayaan, tapi kamu sudah terlalu sering ditelantarkan. Mereka percaya kita bisa, jadi mereka cuma kasih imbauan, tapi mereka nggak kasih kita kebutuhan dasar dan pemahaman yang baik soal apa yang seharusnya kita lakukan. Kontradiktif banget, kan?

****

Siti, bukan nama sebenarnya. Tadinya tinggal di Bandung, lalu pulang kampung ke Makassar setelah wabah menggila.

Siti, kenapa kamu nekat mudik?

Sekitar tanggal 20-22 Maret lalu, ada berita pasien positif COVID-19 di Makassar yang meninggal setelah pulang Umroh. Jadi, orangtuaku sangat khawatir Makassar akan segera di-lockdown dan aku nggak bisa pulang sama sekali. Kebetulan, kontrak kerjaku dengan kantor lama sudah habis di akhir bulan Maret. Aku tidak berencana pulang kampung, tapi saat orangtuaku mulai panik, aku memutuskan pulang.

Kalau aku bertahan di Bandung dan cari kerjaan lain, memangnya perusahaan mana yang bisa merekrutku? Ekonomi lagi sulit, kapitalisme menemui kiamat, dan ini bukan waktu yang tepat untuk nekat dan tinggal di kota yang asing sendirian. Pikiranku begitu.

Lalu, gimana tanggapan orangtuamu saat kamu mudik?

Untungnya, mereka sangat berhati-hati. Sebelum pulang, aku sudah bilang bahwa aku bakal melewati banyak bandara. Jadi orangtuaku mempersiapkan semuanya. Aku disuruh pakai baju dobel, aku disemprot desinfektan, aku disuruh duduk di bangku paling belakang mobil, dan disuruh swakarantina di kamar tamu selama dua minggu.

Tentu saja aku menurut. Salah satu yang bikin aku ragu pulang adalah aku nggak mau bawa penyakit ke kampung. Bisa saja aku asimptomatik, kan. Aku nggak tega kalau hal itu sampai terjadi.

Sekarang, aku sudah swakarantina selama seminggu. Makanan yang disiapkan orang tua pun semuanya ditaruh di depan pintu. Mereka bahkan nggak ngetok pintu kamarku karena nggak berani menyentuh. Kalaupun aku ngobrol sama orang tua dan saudara, aku duduk di ujung pintu dan mereka duduk tiga meter dari aku. Atau, aku telponan sama mereka.

Untung kami orang Makassar, jadi suaranya memang pada gede. Syukurnya, keluargaku masih bisa bercanda dan bikin suasana agak cair.

Pemerintah tidak mau melarang mudik, tapi mengimbau. Pendapatmu soal ini?

Mungkin pemerintah kita mengaku tidak sanggup membantu orang yang merantau. Soalnya begini: kalau nggak pulang dan nggak ada penghasilan, mau makan dari mana? Mau bayar sewa kos dari mana? Kami bergantung sama pemerintah. Tapi kalau mereka memang tidak siap menanggung kami, ada benarnya mereka tak melarang orang mudik.

Hanya, sekarang orang-orang kayak aku juga bingung. Kalau pas swakarantina ternyata ada gejala, harus gimana? Kalau setelah swakarantina aku aman, setelah itu gimana? Gimana prosedurnya agar orang-orang yang mudik kayak aku bisa balik ke kota tempat kami bekerja? Kalau ternyata nggak boleh balik lagi, kami harus ngapain di sini? Mau kerja apa di kampung?

Share: Mudik atau Tidak Mudik, Bukan Cuma Itu Persoalannya