Mayor Jenderal TNI (Purn) Muchdi Purwoprandjono alias Muchdi Pr memberikan dukungannya kepada capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019. Dukungan itu membuat Muchdi jadi sorotan lantaran dua hal. Pertama, Muchdi saat ini merupakan Wakil Ketua Umum Partai Berkarya, yang mendukung dan bagian dari partai koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan kedua Muchdi dianggap sebagai sosok pelanggar HAM masa lalu.
Dalam sebuah video yang beredar, Muchdi diketahui hadir dalam acara silaturahim Presiden Jokowi dengan purnawirawan TNI-Polri di Jakarta International Expo Kemayoran, Minggu, 10 Februari 2019 lalu. Pada kesempatan itu, ada 1.000 perwakilan purnawirawan TNI-Polri yang mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf.
Muchdi sendiri membeberkan alasannya mengapa mendukung Jokowi. “Pertama, karena saya melihat Pak Jokowi ini sudah berbuat banyak selama lima tahun ini. Pembangunan yang dirasakan masyarakat Indonesia itu sudah jelas, mulai jalan tol, masalah pelabuhan, masalah airport, masalah industri, dan lain-lain,” kata Muchdi, Minggu, 10 Februari 2019.
Menurut Muchdi, sejumlah pencapaian Presiden Jokowi tersebut tidak dilakukan oleh presiden lain selama 15 tahun reformasi. Lebih lanjut dalam video wawancara itu, Muchdi menyatakan Prabowo tidak akan bisa melakukannya lima tahun ke depan. Sebab, Muchdi yang juga pernah menjabat Danjen Kopassus TNI AD itu mengaku sudah lama mengenal Prabowo sebagai kawan.
“Pak Prabowo itu kan kawan saya. Jadi, saya kira itu tidak bisa dilakukan Pak Prabowo lima tahun ke depan,” ucapnya.
Muchdi sendiri merupakan sosok yang diduga terlibat dalam tindak kejahatan HAM masa lalu. Lebih rinci, ia diduga terlibat dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Indonesia Munir Said Thalib pada September 2004 silam. Seperti apa kronologi kasus pembunuhan Munir yang diduga melibatkan Muchdi Pr tersebut?
Dalam perjalanan kariernya, Muchdi dikenal sebagai suksesor Prabowo Subianto di Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Tak hanya itu saja, ia juga ikut mendirikan Partai Gerindra pada 6 Februari 2008. Namun, meski bergabung bersama Gerindra, Muchdi justru dua kali tak mendukung Prabowo di Pilpres.
Dari Kopassus, Muchdi kemudian menjabat sebagai Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Bidang Penggalangan. Saat menduduki posisi inilah, Muchdi terseret kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Munir meninggal pada 6 September 2004 dalam penerbangan Jakarta ke Amsterdam. Ia meninggal lantaran diracun dengan arsenik yang dicampur ke dalam minumannya di pesawat.
Polisi akhirnya baru menangkap Muchdi empat tahun kemudian, tepatnya pada 19 Juni 2008. Kemudian Muchdi menjadi tersangka dan dijerat dengan Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan terencana.
Muchdi diketahui puluhan kali berkomunikasi dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda Indonesia yang menjadi pelaku pembunuhan Munir. Pada hari tewasnya Munir, setidaknya terdapat 15 sambungan telepon antara Muchdi dan Polly. Lalu, keduanya menjadi terdakwa.
Usai ditetapkan sebagai terdakwa, menurut Jaksa Penuntut Umum, Muchdi dendam dikaitkan dengan kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998. Tahun itu Muchdi menjabat sebagai Danjen Kopassus menggantikan posisi Prabowo, yang beberapa anggotanya terlibat dalam kasus penculikan. Munir sendiri saat itu merupakan aktivis HAM yang sangat vokal bicara soal penculikan.
Polly divonis 14 tahun penjara, tetapi Muchdi bebas dari segala tuntutan pada 31 Desember 2008. Padahal, Muchdi sebelumnya didakwa menganjurkan dan memberi sarana kepada Polly untuk membunuh Munir. Muchdi dijerat dengan Pasal 55 KUHP Ayat 1 juncto Pasal 340 KUHP dengan ancaman hukuman mati atau sekurang-kurangnya 20 tahun penjara.
Muchdi dinyatakan tidak bersalah oleh Hakim Suharto lewat putusan Nomor 1488/Pid B/2008/PN Jaksel pada sidang putusan tanggal 31 Desember 2008 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sebenarnya Muchdi tidak sendiri di kubu Jokowi yang dianggap sebagai sosok purnawirawan jenderal bermasalah. Sebelumnya, sudah lebih dulu ada nama-nama lainnya yang dianggap kontroversial. Mereka adalah Wiranto dan AM Hendropriyono, yang saat ini ada di lingkaran Jokowi.
Wiranto yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, kerap dikaitkan dengan dugaan dalam peristiwa penyerangan markas Partai Demokrasi Indonesia pada 27 Juli 1996, Tragedi Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi tahun 1997-1998, kekerasan di Timor Timur, serta Biak Berdarah.
Nama Wiranto disebut-sebut di dalam sebuah laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Badan Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandat Serious Crimes Unit. Laporan itu menyatakan bahwa Wiranto gagal mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum para pelaku.
Sementara Hendropriyono merupakan Mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara)yang dikaitkan dengan peristiwa Talangsari. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat bahwa Hendropriyono punya catatan hitam terkait kasus pelanggaran HAM saat di militer maupun ketika menjabat kepala BIN.
Menurut Kontras, saat menjabat sebagai Danrem 043/Garuda Hitam, Hendropriyono bersama pasukannya menyerang kelompok Warsidi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur pada 7 Februari 1989.
Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, 130 orang tewas, 77 orang terusir dari kampungnya, 53 orang dirampas kemerdekaannya, 45 orang disiksa, dan 229 orang dianiaya. Hendropriyono juga diduga terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM Munir Said Thalib pada 2004. Sayangnya, dalam kasus Munir, Hendropriyono sama sekali tak tersentuh alias tak ada penyidikan lebih lanjut terhadapnya atas kasus itu.