Di atas sebuah panggung di Wedangan Gulo Klopo, Kartasura, Jawa Tengah, Minggu (14/07/19), seorang pria berbaju putih bernyanyi kencang-kencang sampai batang lehernya berurat. Di sudut lain, di bawah panggung, seorang perempuan berhijab bernyanyi sambil berdiri di atas kursi. Tak jauh darinya ada seorang pria terpejam menghayati musik dan lirik. Suasana riuh.
Sekilas, mereka seperti penonton konser musik cadas. Tetapi bukan. Mereka, anak-anak muda itu, tenggelam dalam irama campursari, dijerat sihir sang maestro. Kata Gofar Hilman, influencer yang membuat acara off-air bertajuk #NGOBAM (Ngobrol Bareng Musisi) Didi Kempot di akun YouTube-nya, mereka adalah militan-militan Didi Kempot.
Belakangan nama Didi Kempot berseliweran di media sosial. Dia hadir sebagai pelipur lara saat “cebong” dan “kampret” belum sepenuhnya berdamai, sebagai peredam keriuhan perebutan kursi menteri, merebut perhatian dari perkara-perkara yang bikin putus asa.
Kebangkitan popularitas Didi Kempot memang tak lepas dari peran media sosial. Pemimpin Redaksi Mojok.co Agus Mulyadi ingat betul ketika rekannya merekam konser Didi Kempot di Taman Balekambang, Surakarta, Solo awal Juni lalu. Dalam video itu, mereka menyanyikan “Cidro” beramai-ramai.
“Yang merekam momen saat nyanyi bareng itu Fajar, foundernya Sobat Ambyar, yang sekarang jadi pusat komunitas Sad Boys dan Sad Girls seluruh Indonesia. Nah, terus diupload di Twitter. Saya ikut nimbrung karena suka Didi Kempot dari kecil, dari dulu sudah dicekoki terus dengan lagu-lagunya,” kata Agus, Kamis (25/07/19).
Fajar dan kawan-kawannya kemudian membentuk “Solo Sad Bois Club” dan memberikan julukan “The Godfather of Broken Heart” kepada Didi Kempot. Komunitas itu diresmikan di Rumah Blogger Indonesia (RBI) Solo, Sabtu (15/07) malam. Deklarasi itu dihadiri Didi Kempot.
“Salah satu ciri khas musisi besar itu mereka punya acara sendiri, sama kayak Didi Kempot. Nah terus saya bikin thread di Twitter semacam puja-puji terhadap Didi Kempot yang sebenarnya sangat hiperbolik,” kata Agus.
Ocehan Agus di Twitter mendapat perhatian besar. Impresi thread-nya lebih dari satu juta. Yang meretweet lebih dari 7.200. Thread itu bahkan membuat Agus mendapat 5.000 followers baru hanya dalam dua hari.
Gara-gara video konser Didi Kempot di Solo dan thread Agus di Twitter, satu per satu orang mulai berani menyatakan dirinya sebagai pecinta musik Didi Kempot, sebagai penikmat patah hati berlarut-larut, tapi kemudian sanggup bangkit. Komedian Gofar Hilman kemudian membikinkan panggung untuk Didi Kempot dan mengerek benderanya lebih tinggi lagi.
Setali tiga uang dengan Agus, Gofar membawa anak-anak muda Solo masuk ke ruang nostalgia Didi Kempot. Dua jam bersama sambil bercerita dan mendendangkan lagu-lagu syahdu di atas panggung, video perkempotan duniawi itu sudah ditonton 1,4 juta kali dan ada lebih dari 17.000 komentar, sebagian besar puja-puji.
Satu lagu Didi Kempot yang bekerja begitu dahsyat pada panggung itu berjudul “Kalung Emas.”
Kalung emas sing ono gulumu
Saiki wis malih dadi biru
Luntur koyo tresnamu, luntur koyo atimu
Saiki kowe lali karo aku
Kalung emas kuwi biyen tak tuku
Tak pasrahke mung kanggo sliramu
Gedhe roso tresnaku yo mung kanggo sliramu
Ra nyono kowe lali karo aku
Loro atiku, atiku keloro-loro
Rasane nganti tembus ning dodo
Nangisku iki mergo kowe sing njalari
Kebangeten opo salahku iki
Opo dosaku iki…
Tenggelam dalam tembang, di ujung lagu, seorang pemuda ambyar seambyar-ambyarnya menjerit, “Bajingan!”
Pemuda korban “Kalung Emas” itu mengalami katarsis emosi. Ia menuangkan isi hati, mengungkapkan gejolak yang sedang dirasakannya, sebebas-bebasnya.
“Tadinya kan orang berpikiran bahwa musik campursari Didi Kempot itu katrok dan nggak keren, apalagi di tengah gempuran musik EDM. Demam Didi Kempot kemarin itu membuat orang-orang, terutama anak muda, merasa pede dengan perasaannya dan jadi banyak yang tau Didi Kempot,” kata Agus.
Patah hati merupakan pesan kuat dalam banyak lagu Didi Kempot. Namun, hebatnya, ia sanggup membuat para pendengarnya merayakan situasi kurang sedap tersebut.
Didi Kempot terlahir dari keluarga penampil. Ayahnya, Ranto Edi Gudel, merupakan seorang pelawak, begitu pula kakaknya Mamiek Prakoso, yang pernah tenar bersama kelompok dagelan Srimulat. Namun, Didi Kempot memilih jalan berbeda dari ayah dan kakaknya. Pada pertengahan 1980-an, ia memilih mendalami musik.
“Saya jatahnya memang di situ. Ibu saya dulu menyanyi keroncong juga, namanya Hj. Umiyati. Zaman dulu ibu itu penyanyi keroncong antar kampung alias tarkam. Saya bangga punya orang tua yang darah seninya mengalir ke anak-anaknya,” kata Didi Kempot kepada Warning Magz, Mei 2017 lalu.
Sebelum melembutkan hati jutaan penggemarnya, Didi Kempot terlebih dulu melembutkan jalanan Yogyakarta hingga Jakarta dengan suaranya sebagai seorang pengamen. Nama belakang “Kempot” itu sesungguhnya singkatan belaka dari “Kelompok Penyanyi Trotoar.”
Didi Kempot memilih genre campursari, yang memadukan tangga nada pentatonik dan diatonik, sebab ia merasa nyaman dan menikmatinya. “Dulu di campursari ada almarhum Mas Manthous, kalau keroncong dulu ada Waljinah, Mus Mulyadi. Makin ke belakang kok anak-anak muda kurang tertarik, akhirnya saya mencoba membuat lagu yang sekiranya anak-anak muda mau menerima. Akhirnya terciptalah lagu ‘Stasiun Balapan’ itu,” kata Didi.
Didi terjun ke kancah campursari pada 1989 dengan lagu pertama “We Cen Yu.” Ini bukan lagu Mandarin, melainkan singkatan dari “Kowe Pancen Ayu,” atau “Kamu Memang Cantik.” Kata Didi, lagu-lagunya bisa lucu, bisa murung, sebab menurutnya dalam hidup memang harus ada senyum dan tangis.
Pada 1998, nama Didi Kempot sudah dikenal di berbagai terminal dan stasiun. Perbedaan mencolok pun terlihat jelas dari pengamen-pengamen lain yang didengar sepintas lalu dan cepat dilupakan. Didi bertahan. Ia konsisten menciptakan lagu dan menyanyikannya saat ngamen.
Bagi masyarakat Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sekitarnya, Didi Kempot telah jadi semacam simbol. Kuat pengaruhnya, ikonik, dan punya nilai-nilai yang tak luntur. Dulu, di Magelang pernah ada acara khusus Didi Kempot bertajuk “Dikempongi, Didi Kempot Wayah Wengi,” ada pula “Didi Kempot Show.” Di kota-kota itu, ada banyak acara-acara khusus yang memutar dan membahas lagu-lagu Didi Kempot, termasuk di radio.
Bagi sebagian besar orang yang lahir di Jawa Tengah dan Yogyakarta, Didi Kempot adalah sosok yang selalu menemani hari-hari sewaktu kecil. Para orang tua memilih lagu-lagu Didi Kempot seperti tembang sehari-hari.
Dalam kehidupan orang-orang Jawa ada budaya bernama rolasan, semacam kegiatan santai di siang hari sekitar jam 12 siang, beristirahat ditemani musik dan camilan. Rolasan jadi momentum pengenalan intim musik Didi Kempot ke orang-orang Jawa.
Lagu-lagu Didi Kempot boleh saja muncul dan tenar di era 1980-90an, baik itu tentang cinta, kehidupan, dan patah hati, namun lirik-lirik lagunya ternyata masih sangat relatable dengan anak-anak muda era sekarang. Musiknya mengundang kegalauan, liriknya menohok, dan kenangan yang dipancing keduanya bikin remuk redam.
“Didi Kempot ini memang salah satu sosok yang paling merepresentasikan ciri khas karakter orang Jawa secara keseluruhan. Sebab orang Jawa tuh punya karakter yang istilahnya semeleh nerimo ing pandum,” kata Bryan Barcelona, selebtwit yang juga menggilai Didi Kempot, pada Kamis (25/07).
Semeleh nerimo ing pandum itu semacam kerelaan berserah diri. Bryan melihat banyak karya Didi Kempot menggunakan sudut pandang orang yang sengsara, disakiti, tetapi menerima penuh seluruh.