General

Mengupas Perbedaan Kampanye Negatif dan Kampanye Hitam

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Dalam sebuah kontestasi elektoral, segala bentuk kampanye baik kampanye positif, negatif, sampai kampanye hitam kerap dilancarkan oleh kubu yang hendak memenangkan calon pemimpin masing-masing. Di tahun politik ini, kedua bentuk kampanye sedang jadi perdebatan, terutama soal perbedaan keduanya dan seperti apa seharusnya kampanye dijalankan.

Bahkan baru-baru ini, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman malah mempersilahkan kadernya untuk melakukan kampanye negatif (negative campaign), di samping memperbanyak kampanye positif pada Pemilu 2019. Meski begitu, ia juga memperingkatkan para kadernya untuk tidak melakukan kampanye hitam (black campaign).

“Delapan puluh persen dalam kampanye kita harus positive campaign. Silakan untuk masuk ke negative campaign cukup 20 persen,” kata Sohibul dalam sambutannya kepada para kader PKS saat Konsolidasi Nasional Pemenangan Pemilu 2019 di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat, Minggu, 14 Oktober.

Menurut Sohibul, kampanye negatif yang ia maksud adalah fakta-fakta soal kelemahan lawan. Dalam kampanye negatif, isu yang diangkat adalah soal kelemahan lawan, tetapi disertakan dengan fakta. Tidak ada kebohongan dalam kampanye negatif dan hal itu diperbolehkan karena publik juga harus tahu soal kelemahan si calon.

Lalu, untuk kampanye hitam atau black campaign, Sohibul menjelaskan bahwa partainya tidak akan mentolerir para kader yang melakukan praktik kampanye tersebut. Lalu, sebenarnya apa perbedaan kampanye negatif dengan kampanye hitam? Lalu, kenapa segala bentuk kampanye negatif justru ‘diperbolehkan’ dan kampanye hitam malah dilarang?

Beda Kampanye Negatif dan Kampanye Hitam

Dalam hal ini, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD ikut menegaskan bahwa kampanye hitam dan kampanye negatif memang berbeda. Mahfud mengatakan bahwa kampanye negatif lebih mengedepankan sisi kelemahan faktual tentang lawan politik, meski segala bentuk kampanye negatif ini sama sekali tak dilarang dalam pemilu dan kampanye negatif sendiri tak bisa dihukum.

“Kalau Anda bilang bahwa Jokowi PKI atau bilang bahwa Prabowo terlibat ISIS itu adalah black campaign. Tapi kalau Anda bilang Jokowi kerempeng atau bilang Prabowo dulu kalah terus dalam Pilpres maka itu negative campaign. Black campaign bisa dipidana, negative campaign bisa dilawan dengan argumen,” kicau Mahfud MD lewat akun Twitter pribadinya @mohmahfudmd, Minggu 14 Oktober.

Mahfud mengatakan bahwa kampanye hitam sendiri lebih menjurus kepada fitnah dan kebohongan tentang lawan politik. Berbeda jauh dengan kampanye negatif, segala bentuk kampanye hitam tentu dilarang oleh undang-undang.

Black campaign adalah kampanye yang penuh fitnah dan kebohongan tentang lawan politik. Negative campaign adalah kampanye yang mengemukakan sisi negatif atau kelemahan faktual tentang lawan politik. Negative campaign tidak dilarang dan tidak dihukum karena memang berdasar fakta. Yang bisa dihukum adalah black campaign,” kata Mahfud.

Black campaign adl kampanye yg penuh fitnah dan kebohongan ttg lawan politik. Negative campaign adl kampanye yg mengemukakan sisi negatif/kelemahan faktual ttg lawan politik. Negative campaign tdk dilarang dan tdk dihukum krn memang berdasar fakta. Yg bs dihukum adl back campaign— Mahfud MD (@mohmahfudmd) October 14, 2018

Lalu, ketimbang mengandalkan kampanye negatif bahkan kampanye hitam untuk mencari kelemahan lawan politik maupun menyebarkan kabar bohong, Mahfud menyarankan agar para politisi lebih mengedepankan kampanye yang berisi progam terbaik untuk masyarakat.

“Intinya, sebaiknya kampanye itu adu program saja. Tak usah pakai black campaign atau negative campaign. Tapi kalau Anda terpaksa melakukan negative campaign maka tidak ada sanksinya. Barulah Anda bisa dihukum atau dipidanakan kalau melakukan black campaign,” ucapnya.

Senada dengan Mahfud, Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Zaenal A Budiyono, mengatakan bahwa kampanye negatif dan kampanye hitam memang memiliki perbedaan. Menurut Zaenal, kampanye negatif diperbolehkan di dalam demokrasi, sementara kampanye hitam dilarang.

“Kedua istilah tersebut sangat berbeda. Kampanye nagatif merupakan sesuatu yang sah dalam demokrasi. Ia mengungkap kekurangan calon agar narasi di publik tidak hanya dijejali oleh pujian berlebihan, yang berpotensi menghilangkan daya kritis masyarakat,” kata Zaenal kepada Asumsi.co, Selasa, 16 Oktober.

Menariknya, Zaenal menekankan bahwa kampanye negatif juga selaras dengan pendidikan politik, untuk memilih pemimpin yang track record-nya paling baik dari yang baik. Untuk itu, kampanye negatif dilancarkan berdasarkan fakta dan data yang ada.

“Misalnya pada kasus Prabowo, kampanye negatif seperti isu penculikan aktivis pada 1998 lalu. Kubu Jokowi sah menggunakan isu ini dalam konteks negative campaign ke Prabowo. Selanjutnya kubu Prabowo bisa men-challenge isu ini dengan fakta dan daya yang menguatkan calonnya,” ujarnya.

Menurut Zaenal, jika muncul kampanye negatif seperti disebutkan di atas, kubu Prabowo bisa saja menangkalnya dengan menegaskan bahwa Prabowo merupakan sosok gentleman dan bertanggung jawab dengan pemecatan. Bahkan, dari sembilan aktivis yang diculik saat itu, semuanya dalam kondisi hidup, dan sebagian besar bergabung dengan Gerindra.

“Lalu negative campaign untuk Jokowi, karena dia petahana, maka bisa dilakukan dengan menagih janji politiknya yang belum terlaksana. Seperti impor bahan pangan. Itu bisa dijadikan senjata bagi kubu Prabowo untuk membangun debat politik bermutu berbasis program kerja dan track record.”

Lalu, Zaenal mengungkapkan bahwa kubu Jokowi bisa melakukan pembelaan rasional terhadap kampanye negatif seperti itu, misalnya dengan mejelaskan faktor-faktor yang membuat pemerintah harus melakukan impor. Isu-isu seperti ini sah diperdebatkanmmenurut Zaenal, karena menyangkut kepentingan publik.

Menurut Zaenal, yang dilarang dan destruktif bagi demokrasi adalah black campaign. Apa itu? Pertama, isu yang sama sekali tidak terkait kepentingan publik, atau lebih bersifat personal. Misalnya menyerang keluarga, anak, istri, fisik, dll. Walaupun katakanlah ada faktanya, tetap saja ini tidak boleh, karena tidak ada kaitan dengan kinerja dalam jabatan publik.

Lalu, yang kedua, isu terkait SARA. Ini yang berbahaya bila tidak dilarang, karena mempersoalkan hal semacam ini sangat sensitif dan jauh dari tujuan demokrasi, khususnya pemilu. Kemudian yang ketiga, sesuatu yang berkecenderungan fitnah.

Seperti Apa Menangkal Dua Jenis Kampanye Itu?

Zaenal menegaskan bahwa kedua kubu saat ini bahkan sudah memainkan kampanye negatif, khususnya di media sosial. Sekali lagi, Zaenal mempersilahkan kalau kampanye negatif dengan pengertian di atas. Namun yang disayangkan bahwa sebagian sudah mulai memainkan isu kampanye hitam seperti olok-olok, cacian, cercaan, umpatan, yang sama sekali tidak terkait dengan kinerja dan kepentingan umum.

“Ini yang harus diawasi oleh Bawaslu, karena bila dibiarkan akan mengarah pada snow ball, yang pada gilirannya lebih sulit dikendalikan. Black campaign sangat destruktif karena mengarah pada character assasination kompetitor, ini berbahaya. Kalau negative campaign bertujuan memberi sudut pandang baru (kritis) kepada pemilih. Sangat beda,” ujarnya.

Untuk itu, menurut Zaenal, kedua kubu tentu tak tinggal diam menghadapi segala bentuk terjangan kampanye negatif dan kampanye hitam terutama jelang Pilpres 2019 mendatang. Setidaknya upaya kedua kubu dalam menangkal segala bentuk kampanye tersebut sudah dilakukan, meski hanya sebatas adu diksi.

“Sejauh ini masih pada level adu diksi (adu istilah), belum sampai pada adu gagasan, dan solusi. Oposisi misalnya, harus mulai ‘naik kelas’ menyajikan solusi alternatif dari program yang dikritiknya melalui negative campaign. Sementara petahana harus bisa mempertahankan dengan argumen yang bernas, rasional, agar publik memahami mengapa kebijakan tersebut diambil,” ujarnya.

Share: Mengupas Perbedaan Kampanye Negatif dan Kampanye Hitam