Isu Terkini

Mengapa RUU PKS Harus Segera Disahkan

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali (PK) perkara Baiq Nuril Maknun, korban pelecehan seksual yang dikriminalisasi dengan UU ITE. Selain itu, Komnas Perempuan juga mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan amnesti kepada Nuril sebagai langkah khusus sementara atas keterbatasan sistem hukum pidana dalam melindungi warga negara korban dari tindakan kekerasan seksual.

“Desakan amnesti itu diminta sebagaimana prinsip afirmasi yang dimungkinkan dalam konstitusi dan prinsip due diligence yang ada dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada 1984,” kata Wakil Pimpinan Komnas Perempuan Budi Wahyuni dalam Konferensi Pers di Gedung Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (08/07/19).

Putusan MA itu mengindikasikan bahwa negara tak melindungi korban pelecehan seksual. Akibatnya, kata Budi, ialah hilangnya rasa aman bagi perempuan Indonesia.

Pelecehan seksual tak selalu terjadi secara fisik, tapi juga nonfisik seperti intimidasi, ancaman, dan ujaran bermuatan seksual, baik secara langsung maupun diperantarai media sosial. Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual nonfisik.

Mengingat kasus pelecehan seksual terus berulang, Budi menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) semakin mendesak untuk dibahas kembali dan disahkan. Selain itu, ia juga meminta Hakim Pengawas Mahkamah Agung untuk mengoptimalkan pengawasan atas Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017, yaitu pedoman mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar mendukung agar Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada Nuril. Sampai hari ini, ia menegaskan bahwa Nuril masih dalam perlindungan LPSK dan mendapatkan layanan pemenuhan hak prosedural dan bantuan psikososial. “LPSK berencana bekerja sama dengan Gubernur dan Pemerintah Daerah NTB untuk pemulihan psikososial bagi BN,” kata Livia.

MA Diminta Lihat Lagi Aturan yang Mereka Buat

“Perma ini harus digunakan baik sebagai saksi, korban, dan ketika dia duduk sebagai terdakwa. Artinya Perma ini seharusnya dilakukan untuk segala situasi, bukan hanya sebagai korban,” katanya.

Komnas Perempuan juga mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta Dinas PPA setempat untuk mengupayakan pemulihan dan pendampingan kepada Nuril dan anak-anaknya. Tak hanya itu, Kemendikbud juga diharapkan bisa menjalankan kebijakan nol toleransi untuk kekerasan seksual di lingkungan yang menjadi wewenangnya.

Dan yang tak kalah penting, Sri juga meminta Kemendikbud agar merekomendasikan kepada para pendidik semua institusi formal dan non-formal untuk meningkatkan edukasi pencegahan kekerasan seksual. Jangan sampai kasus yang dialami Nuril kembali terulang di dunia pendidikan.

Mengapa MA Menolak PK Baiq Nuril

Dalam perkara Baik Nuril, yang diproses ialah persoalan UU ITE, di mana ia dipersalahkan, bukan kejahatan pelecehan seksual yang merupakan akar persoalan. “Itu semua ada rangkaiannya. Yang direkam itu adalah peristiwa pelecehan seksualnya. Kalau kita lihat di KUHP, setiap orang punya kewajiban untuk menolong orang lain ketika ia mengalami tindak pidana,” kata Sri.

Sri mengatakan bahwa seharusnya MA bisa melihat itu secara utuh dan jelas. Dalam kasus ini, Sri melihat langkah Nuril yang berusaha untuk melindungi dirinya sendiri memang sudah tepat. Sayangnya, pembelaan diri itu justru dijadikan cara untuk mencelakakan korban.

“Kalau misalnya saya sebagai perempuan yang terima telpon itu, apa yang harus saya lakukan? Belum tentu semua orang responsnya sama. Saya saja mungkin mikir dulu ya, harus bertindak seperti apa ya? Ah ya sudahlah biarin aja yang penting dia nggak nyentuh.”

Menurut Sri, cara berpikir seperti itu nyaris selalu berlaku pada perempuan korban pelecehan seksual. Banyak yang takut mengungkapkan kejahatan yang menimpa mereka. RUU PKS, bila disahkan, semestinya dapat mengubah situasi ini.

“RUU PKS itu nantinya ingin mengubah paradigma dari sisi pelakunya supaya perlakukan itu yang tidak boleh dilakukan oleh siapa pun, kepada siapa pun, di mana pun, bagaimana pun caranya. Mau secara langsung, mau tidak langsung lewat telfon lewat video, tetap tidak boleh dilakukan,” kata Sri.

Menurut Sri, kasus Nuril ini menggambarkan betapa orang-orang kebingungan untuk mengambil tindakan apa saat ada perempuan yang dilecehkan. “Ketika melihat tetangganya diperlakukan tidak sopan, orang-orang nggak tahu apa yang harus dilakukan. Padahal dia tahu bahwa hal itu tidak sopan, MA pasti juga tahu dan menyadari bahwa apa yang dilakukan pelaku ke Nuril sebagai sikap yang tidak sopan. Tapi kemudian secara hukum hal ini justru dipisahkan. Apalagi saat BN melapor, itu Polda NTB nggak mau meneruskan kasusnya, padahal itu buktinya sudah terang benderang.”

Komnas Perempuan menyesalkan bahwa Polda NTB menghentikan penyidikan kasus pelecehan seksual yang dilaporkan Nuril. Polda NTB dinilai salah kaprah dalam menangani laporan Nuril. “Dalam hal ini, ada unsur ketidakmampuan menerjemahkan batasan perbuatan cabul dalam KUHP ke dalam penyidikan kasus BN ini. Polri hanya memahami perbuatan cabul seharusnya perbuatan yang dilakukan dengan kontak fisik, maka korban dari kasus-kasus kekerasan seksual, terutama pelecehan seksual nonfisik, tidak akan pernah terlindungi.”

Komnas Perempuan pun bakal terus mendorong dan mendukung agar kasus Nuril bisa diselesaikan secara adil.

“Langkah kita kan sebenarnya untuk mencegah agar pelanggaran negara serupa berikutnya jangan sampai menghukum seseorang yang tidak ada manfaatnya, karena dia nggak punya maksud sebagaimana yang dimandatkan oleh UU ITE. UU ITE itu menghukum seseorang yang punya itikad jelek terhadap orang yang direkam dan ditransmisikan lalu kemudian disebarluaskan, sementara BN kan sama sekali tidak punya itikad ke sana, dia hanya untuk melindungi dirinya sendiri.”

Share: Mengapa RUU PKS Harus Segera Disahkan