“Saya hidup dan tinggal di perahu, nggak punya tempat tinggal di sini. Sehari-hari habis kerja, mandi dan tidur, ya, semuanya di perahu. Ke darat kalau pas mau makan atau kalau ada keperluan saja, misalnya ketemu temen-temen sebentar, ngobrol, selebihnya di perahu,” kata Sarman, 48 tahun, seorang nelayan kerang hijau di Muara Angke, Jakarta Utara.
Seperti banyak kampung nelayan lain di Indonesia, Muara Angke sesak, penuh sampah, amis, dan becek. Sesekali ada pula berita dari sana tentang banjir rob, kekurangan akses bersih, dan lain-lain. Namun, saat datang ke kawasan itu, perhatian saya justru terisap oleh daya hidup para warganya. Sementara penduduk di kawasan-kawasan lain Jakarta terlelap, mereka terus berjibaku dengan hidup.
Muara Angke terletak di pantai utara Jakarta. Nyaris seluruh masyarakatnya menggantungkan hidup dari sektor perikanan, baik dengan menjadi nelayan tradisional, Anak Buah Kapal (ABK), maupun nelayan pemilik kapal.
Pada Juli 1977, diresmikan Gubernur Ali Sadikin, Muara Angke menjadi pusat pelabuhan perikanan tradisional Jakarta. Berselang setahun, semua kegiatan perikanan mulai berpusat di Muara Angke. Infrastruktur pelan-pelan dibangun oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sentuhan itu menjadikan Muara Angke sebagai pusat pelabuhan ikan tradisional paling produktif di Jakarta selama tiga tahun berturut-turut, menggeser peran Sunda Kelapa.
Hari ini, 43 tahun berselang, nyaris tak ada yang berubah di Muara Angke.
Sudah 30 tahun Sarman menjadi nelayan. Sejak pagi dia menghabiskan waktu di dasar laut, menyelam mencari kerang hijau. Ia memutuskan berhenti sekolah saat masih kelas 5 Sekolah Dasar (SD) dan menjadi nelayan.
“Keluarga saya pelaut semua, nelayan, nggak ada yang di darat. Kalau tinggal di darat kan sekolahnya harus tinggi, kalau sekolahnya kelas 5 SD saja udah berhenti, ya, mau nggak mau harus ke laut jadi nelayan,” kata Sarman di atas perahunya, Kamis (6/8/20).
“Kan kalau petani harus punya sawah, kalau nggak punya sawah, ya mau nyangkul apa? Bukan petani namanya,” ucapnya sambil tertawa.
Sebelum jadi nelayan kerang hijau di Muara Angke, Sarman sudah lebih dulu melaut di kampung halamannya di Enretan, Indramayu, Jawa Barat. Tapi, di Enretan, ia hanya melaut selama dua tahun.
“Tadinya ikut orang tua nyari ikan. Sudah besar, saya ikut abang nyari kerang ijo, pas abang meninggal, saya tinggal melanjutkan saja sama adik saya,” kata Sarman. “Setelah abang meninggal, saya berangkat sendiri ke laut. Kalau ada yang mau ikut, ya diajak, kalau nggak ada, ya sendiri aja.”
Kepiawaian Sarman menyelam mencari kerang hijau terbentuk dari pengalaman. Bermodal alat selam buatan sendiri seperti selang panjang, kompresor, kacamata selam, sepatu karet, dan kaus dua lapis, Sarman bisa menjelajah hingga kedalaman 20-30 meter.
Sekali terjun dan menyelam, Sarman bisa menghabiskan waktu satu hingga dua jam di dasar laut. Sarman baru akan naik ke perahu kalau keranjang yang dibawanya telah penuh kerang hijau. Hal itu terus dilakukannya berulang-ulang, dari jam 06.00 WIB dan selesai sekitar jam 11.30 WIB saat kondisi di dasar laut sudah buram dan jarak pandang menjadi terbatas.
Saat perahu merapat dan sampai ke darat, puluhan kilogram kerang hijau langsung disambut ibu-ibu dan sejumlah anak perempuan untuk lebih dulu dibersihkan dari teritip yang menempel. Sebab, kerang hijau yang didapat Sarman tak bisa langsung diuangkan.
“Sehari bisa dapat 50-70 kg. Kerang ijo itu ya musiman. Cuma kalau tiap hari berangkat, biasanya dapatnya minim. Kalau biasa dapatnya banyak, kalau tiap hari ya dapat sedikit cuma pas-pasan buat makan aja.”
Sarman menjual kerang hijau Rp10.000 per kg. Di pasar, kerang hijau yang sudah dibeli dari Sarman itu bisa dijual oleh si penjual tadi dengan harga Rp12.000 hingga Rp15.000.
“Kadang hambatan kita itu karena muncul limbah, ganggu, jadi pada mati semua itu kerang. Jadi lama lagi, sekarang ada lagi yang kecil tapi belum laku kerang kecil. Harus nunggu sampai besar tiga sampai empat bulanan baru laku.”
Sarman menjadikan laut sebagai rumah. Baik buruknya kondisi, laut keruh maupun bening, tak membuat Sarman ingin berpaling ke darat. Bagi Sarman, tak ada kemewahan lain selain bisa hidup di laut, menyelami kedalamannya, dan naik ke permukaan dengan tawa.
Share: Mencari Penghidupan di Laut Hitam Muara Angke