Isu Terkini

Memburu Teroris MIT, Menembus Jalur Maut Sigi

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Medan berat menuju Dusun V Tokelemo, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mesti ditempuh selama tiga jam apabila kita berangkat dari dari Kota Palu.

Perburuan kelompok teroris Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora dan Amham Mubaroq tidak pernah mudah. Pada Jumat (27/11), mereka membakar sejumlah rumah serta membantai satu keluarga beranggotakan empat orang.

Dusun V Tokelemo berada di puncak perbukitan yang dikelilingi hutan dan pegunungan, termasuk Taman Nasional Lore Lindu di sisi selatan.

Untuk mencapai lokasi kejadian, kami melewati dua macam jalur; jalan aspal–yang hanya ada di wilayah Kota Palu dan sebagian wilayah Kabupaten Sigi–dan sisanya dominan jalan tanah sempit satu jalur yang berbatu, curam, dan banyak dikelilingi tebing dan jurang.

Di tengah perjalanan dari Palu ke Dusun V Tokelemo, kami lebih banyak menemui hamparan sawah, perkebunan, barisan gunung, sungai, hutan lebat, serta sedikit rumah penduduk. Sekelebat pandangan mata, lanskap indah Sigi ini membuat kita sepakat kalau wilayah ini sebetulnya tenteram untuk dihuni.

Sebelum benar-benar menanjak ke lokasi kejadian yang berada di atas pegunungan, kami lebih dulu mencapai pertigaan Tongoa yang terdapat permukiman penduduk. Di pertigaan Tongoa ini, personel Brigade Mobile (Brimob) Polda Sulteng bersenjata lengkap, disiagakan.

Pasukan Brigade Mobil (Brimob) Polda Sulawesi Tengah bersiaga di pertigaan Tongoa, berjarak 10 kilometer atau sekitar 45 menit ke Dusun V Tokelemo, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (2/12/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Dari titik ini pula, kami membutuhkan waktu sekitar 45 menit hingga satu jam dan menempuh jarak 10 kilometer untuk mencapai Dusun V Tokelemo. Jadi, selain jauh dari pusat kota, lokasi kejadian juga jauh dari pusat desa serta harus melalui jalur terjal.

Layaknya jalan di pegunungan, tak hanya jarak yang membentang luas, tapi juga medan yang terjal, dua kondisi yang mesti ditaklukkan. Kami juga melewati jembatan kayu kecil yang dilewati secara bergantian menggunakan mobil, tentu harus dengan arahan yang tepat, sebab, kalau salah arah sedikit, siap-siap mobil terperosok ke sungai.

Di Dusun V Tokelemo, rumah-rumah penduduk pun berjarak lumayan jauh. Untuk pergi dari satu rumah ke rumah lainnya, kami harus melalui jalan berbukit dengan kontur tanah naik turun. Di kawasan terpencil dan pelosok ini, jumlah penduduk terbilang sangat sedikit.

“Jarak rumah itu ada yang 100 m dan 200 m bahkan 500 meter. Yang menetap itu hanya sembilan keluarga, termasuk korban ini. Terdiri dari delapan non-muslim dan satu muslim,” kata Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Inspektur Jenderal Polisi Abdul Rakhman Baso kepada Asumsi.co, di lokasi kejadian, Rabu (2/12).

“Kalau yang lainnya, kalau selesai [berkebun], sudah pulang mereka ke kampungnya masing-masing di bawah itu. Namanya transmigrasi lokal, jadi di sekitar Sigi, Palu, dan daerah-daerah lainnya itu,” ucap jenderal bintang dua itu.

Rakhman menjelaskan bahwa ada total enam rumah yang dibakar oleh MIT–kelompok teroris yang bersumpah setia kepada ISIS tahun 2014 lalu. Dari enam rumah ini, hanya empat yang terbakar habis, sementara dua lainnya hanya dapur bagian belakang, bukan rumah inti.

“Dapurnya itu tambahan dari rumah ini, kan rumahnya seragam semua di sana itu. Karena transmigran, ada hanya tambahan di belakang rumah itu, hanya terbakar atapnya alang-alang itu dikit aja,” ujar Rakhman.

Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Inspektur Jenderal Polisi Abdul Rakhman Baso di lokasi pembantaian satu keluarga di Dusun V Tokelemo RT 13 SP 2 Lewonu, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (2/12/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Sementara salah satu dari enam rumah yang dibakar biasa digunakan sebagai pos pelayanan Gereja Bala Keselamatan. Namun, Rakhman menegaskan kalau pembakaran pos pelayanan Gereja Bala Keselamatan oleh kelompok MIT itu dilakukan secara kebetulan dan tak ada hubungannya dengan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

Dari kronologi kejadian, Rakhman menyebut awalnya salah satu rumah didatangi sekitar delapan orang tak dikenal (OTK)–yang diduga kelompok MIT, yang masuk lewat belakang, lalu mengambil beras sekitar 40 kilogram. Setelah itu, tanpa basa-basi mereka melakukan aksi keji, yang membuat penduduk sekitar ketakutan, lari ke hutan, dan mengungsi ke dusun lain.

Setumpuk Rintangan: Medan Terjal, Tak Ada Akses Internet dan Jaringan Komunikasi

Peristiwa berdarah di Dusun V Tokelemo merupakan teror berulang yang secara sporadis terjadi di Sulteng, terutama di tiga kabupaten seperti Poso, Sigi, dan Parigi Moutong. Tiga daerah itu menjadi lokasi gerilya anggota MIT. Tiga daerah itu pula dikenal memiliki medan terjal dan berat sehingga menyulitkan aparat TNI-Polri yang tergabung dalam Satgas Tinombala saat perburuan.

Saat MIT masih dipimpin Santoso, Ali Kalora bertugas sebagai penunjuk jalan. Keahlian itu membuatnya sudah khatam betul medan pegunungan di tiga kabupaten itu. Ali Kalora melanjutkan kepemimpinan Santoso, yang tewas dalam baku tembak pada 18 Juli 2016 lalu dan pada 14 September 2016, Basri–tangan kanan Santoso–tertangkap bersama istrinya. Ali Kalora, yang merupakan salah satu orang kepercayaan Santoso, mulai menebar teror sejak 2011.

“Kita tidak bisa pakai mobil yang tidak dobel gardan. Atau enggak, naik sepeda motor [trail],” kata Rakhman yang memaparkan betapa terjalnya medan hutan dan gunung yang harus dilalui pasukan.

Faktanya, apa yang dikatakan Rakhman sepenuhnya benar. Mobil dobel gardan atau 4×4–yang memiliki dua poros roda sebagai penggeraknya–menjadi kendaraan wajib untuk mencapai puncak Dusun V Tokelemo. Mobil jenis 4WD (four wheel drive) ini dikenal garang dan memiliki ketangguhan dalam menjelajah medan ekstrem, karena semua roda bergerak.

Bahkan, kami saja sempat sekali berganti mobil, karena mobil pertama yang kami tumpangi kepayahan menaklukkan medan seperti tanjakan terjal, jalan bergelombang atau berlumpur, dan sungai.

Salah satu rumah yang dibakar habis oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Dusun V Tokelemo RT 13 SP 2 Lewonu, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (2/12/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Salah seorang anggota Polda Sulteng, menyebut perburuan kelompok MIT pimpinan Ali Kalora memang bukan perkara gampang. Sebab selain medan yang terjal, juga pergerakan kelompok itu yang mobile di dalam hutan.

“Ini memang sulit, di sini hutannya lebat, berbukit, dan terjal. Untuk ke lokasi kejadian saja butuh waktu lama. Mereka [Ali Kalora dkk] kan setiap hari bergerak, mereka mobile, jadi tidak tinggal di satu titik saja, nggak punya basecamp, tapi berpindah-pindah terus sehingga sulit dideteksi,” kata salah satu anggota Polda Sulteng, AKBP S. Hermawan, yang mendampingi Kapolda Sulteng Rakhman di lokasi kejadian saat berbincang dengan Asumsi.co, Rabu (2/12).

Pencarian semakin sulit dan memakan waktu lama manakala kelompok MIT disebut-sebut tidak melewati jalan setapak yang biasanya digunakan warga untuk lalu lalang, tetapi justru membuat jalan sendiri. Hebatnya lagi, mereka tak akan menebang pohon, bahkan ranting dan semak sekalipun, demi menghindari kejaran aparat.

“Makanya tim kita disebar di beberapa titik di hutan ini, karena pelaku ini mobilitasnya tinggi. Pasukan diterjunkan lewat helikopter. Begitu juga logistik untuk pasukan yang bertugas di hutan, dibawa dan diturunkan melalui helikopter.”

Sembari bercerita, anggota Polda Sulteng ini merogoh telepon selularnya di saku, lalu menunjukkan kepada kami sebuah video detik-detik pasukan dan logistik diturunkan di atas hutan belantara dari atas helikopter, tak jauh dari lokasi kejadian. Dari video itu, upaya pengejaran Ali Kalora dkk memang membutuhkan strategi dan perjuangan ekstra keras.

Perkara hambatan, ternyata tak hanya soal medan yang terjal. Rakhman kembali membeberkan persoalan lain yang dihadapi pasukan saat berada di lokasi pengejaran terhadap kelompok MIT, yakni tak adanya akses internet dan juga jaringan telepon.

“Saya memobilisasi personel Satgas Tinombala untuk melakukan pengejaran. Cuma sekarang pasukan kita ini terkendala akses komunikasi. Kemarin itu naik ke TKP lebih dari 12 jam baru saya bisa, baru saya turun, baru bisa media semua menghubungi saya [ada sinyal],” kata Rakhman.

“Saya bawa hape satelit nggak bisa juga saat ke TKP. Nggak bisa, kecuali pergi ke Desa Lembantongoa. Handphone Android, semua wi-fi juga nggak bisa. Hanya handphone yang kecil-kecil itu. Nah itu untuk pengejaran,” ucap sosok yang sebelumnya menjabat Wakil Komandan Korps Brimob Polri di tahun 2018 itu.

Salah satu jalur terjal di perbukitan yang harus dilalui saat menuju Dusun V Tokelemo RT 13 SP 2 Lewonu, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (2/12/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Persoalan satu ini tentu agak runyam. Selain menghambat aliran informasi, kosongnya jaringan komunikasi di atas perbukitan Dusun V Tokelemo, juga menguntungkan kelompok MIT, lantaran jadi punya waktu lebih lama untuk melarikan diri sejauh mungkin ke dalam hutan hingga tak terjangkau aparat. Sebab, saat kejadian berlangsung, informasi soal peristiwa berdarah itu tak serta merta langsung bisa disampaikan ke pusat desa dan kota.

“Memburu Ali Kalora memang butuh perjuangan berat. Misalkan kejadiannya jam 9 pagi, kita baru terima informasinya itu jam 11 siang. Jadi di lokasi kejadian itu tak ada sinyal. Belum lagi menuju lokasi bisa empat jam. Ini kendala sekali,” kata Pak Anca, anggota Polda Sulteng yang berada bersama kami di mobil selama perjalanan menuju TKP, Rabu (2/12).

Baru-baru ini, bahkan Polri mengungkapkan kalau kondisi geografis memang menjadi salah satu kendala dalam pengejaran kelompok MIT. Bahkan, dari keterangan anggota kelompok MIT yang tertangkap, hutan yang lebat membuat mereka mudah bersembunyi dari kejaran Satgas Tinombala sehingga aparat harus menyusuri berbagai jalan tikus di hutan.

“Beberapa penuturan dari yang tertangkap menyampaikan, kadang-kadang Satgas Tinombala lewat, jarak 10 meter, 20 meter, mereka tiarap sudah enggak ketahuan karena memang hutan lebat,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Rabu (2/12).

Keberadaan MIT, yang bersembunyi di Taman Nasional Lore Lindu yang membentang dari Sigi hingga Poso, memang sulit dideteksi. Sejak dibentuk pada Juli 2016 silam Satgas Operasi Tinombala masih belum berhasil melumpuhkan secara penuh kelompok MIT, bahkan sampai diperpanjang beberapa kali.

Masa tugas satgas ini seharusnya berakhir pada 30 September lalu, tapi diperpanjang hingga 31 Desember mendatang. Tapi kemungkinan tugas mereka bakal diperpanjang lagi kalau perburuan terhadap kelompok MIT masih belum menemukan hasil.

Pola Gerakan MIT: Lapar, Menjarah, Membunuh, Lari ala Anoa

Ali Kalora dan anggotanya yang kini diperkirakan berjumlah 11 orang–berdasarkan rilis daftar pencarian orang (DPO) MIT terbaru Polri–memang diuntungkan secara geografis lantaran lokasi pergerakan mereka di pedalaman hutan yang sulit dilacak dan dijangkau orang. Meski begitu, dengan jumlah semakin sedikit, kekuatan mereka tentu sudah tak terlampau kuat lagi.

Satgas Tinombala sudah mempelajari pola perilaku kelompok MIT yang punya prinsip membunuh atau terbunuh dan anti dialog ini. Demi menekan pergerakan Ali Kalora dan kawan-kawan di hutan belantara, aparat menempatkan pasukan dengan durasi cukup lama.

“Pasukan kita, misalnya kita drop di dalam hutan selama 10 hari, jadi itu termasuk dukungan logistiknya untuk 10 hari juga. Setelah itu mereka menuju ke titik yang bagaimana bisa dijemput, aplus lagi. Untuk komunikasi dan melaporkan kondisi, termasuk drop pasukan, kita pakai heli,” kata Rakhman.

Suasana di lokasi pembantaian satu keluarga oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Dusun V Tokelemo RT 13 SP 2 Lewonu, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (2/12/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Rakhman menjelaskan bahwa Satgas Intelejen-nya dari Densus mengikuti pergerakan kelompok MIT. Nantinya di lapangan, pergerakan mereka bisa terdeteksi, manakala ada sinyal atau saat handphone-nya dinyalakan. Selain itu, Rakhman juga sudah menghitung dan mengukur seberapa jauh kelompok MIT ini berpindah tempat selama kurang dari sepekan ini.

“Kita menghitung. Kita manusia kan berjalan yang normal itu kan satu jam itu enam kilometer. Saya ngitung. Yang jelas kan kita bagi-bagi tugas, ada di Satgas Intel, ada Satgas Preventif, bagaimana kaitannya dengan pembinaan radikalisme yang dibawa dari Poso.”

Upaya preventif itu tentu saja agar supporting kepada kelompok MIT ini tak ada lagi. Contohnya supporting bahan makanan, dan kebutuhan lainnya selama hidup di hutan. Alur pergerakan ini harus diputus habis.

Rakhman sudah mempelajari betul pola pergerakan kelompok MIT dari pengalaman-pengalaman operasi sebelumnya. Ciri khas serangan yang dilakukan MIT adalah menganiaya, membunuh, hingga memenggal kepala. Sebagian sasaran korban adalah laki-laki.

Meski sudah berbeda pimpinan, strategi kelompok MIT dipastikan hampir mirip antara Santoso dan Ali Kalora. Sebelumnya, kelompok MIT pimpinan Santoso memiliki kemampuan navigasi andal dan melakukan strategi gerilya ala anoa, hewan endemik Sulawesi yang dilindungi. Cara itu dianggap efektif untuk lepas dari kepungan aparat.

Dalam praktiknya, dulu Santoso dkk, mempelajari pergerakan anoa yang muncul tiba-tiba dan hilang dengan cepat begitu saja ketika terlihat. Lalu, mereka mengikuti dan melewati jalur-jalur yang biasa dilalui anoa. Oleh aparat, jalur ini hanya dianggap jalur anoa saja, yang padahal ikut dilalui kelompok MIT juga.

Serangkaian aksi keji yang dilakukan kelompok MIT terhadap warga sipil, salah satunya karena faktor kelaparan, kehabisan logistik. Rakhman menyebut kalau misalnya bahan makanannya habis, mereka akan menyuruh orang untuk turun ke bawah [bukit] untuk membawa makanan. Nah, sebagian masyarakat ada yang tidak mau melakukan itu, karena juga takut dianggap mata-mata oleh aparat.

“Yang kedua, mereka misalnya menyuruh turun buat beli bahan makanan, obat-obat, baterai, dan segala macam lah untuk bisa bertahan di hutan itu. Nah pada saat warga turun ke bawah, tapi sebelum warga datang kembali ke lokasi, aparat justru sudah lebih dulu datang, nanti dikira warga melapor, itu sudah pasti jadi sasaran.”

“Serba salah masyarakat kita. Mayor Erik, Ketua Divisi Gereja Bala Keselamatan Palu Timur, itu udah pernah dua kali ketemu kelompok ini. Dia bilang ke saya, ‘saya tidak mau lapor aparat pak, kalau saya lapor, saya habis juga’.”

Share: Memburu Teroris MIT, Menembus Jalur Maut Sigi