General

Melanggengkan Humor dalam Berpolitik

Rahadian Rundjan — Asumsi.co

featured image

Ajang Pemilihan Presiden Indonesia pada 2019 ini mungkin akan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pesta demokrasi yang mungkin tidak berdarah-darah, namun paling keji. Fitnah, hoaks, dan informasi-informasi sesat lainnya lebih sering menjadi pemberitaan utama daripada visi-misi calon-calonnya, belum lagi kasus-kasus intimidasi dan persekusi yang membuat semakin banyak orang jengkel dengan politik. Sejatinya, politik memanglah kejam. Namun, rahasia umum yang kini diperlihatkan secara gamblang di ranah publik tersebut telah memasuki tingkat yang terlanjur berbahaya bagi kewarasan para pelaku dan penontonnya.

Oleh sebab itu, kemunculan Nurhadi-Aldo sebagai produk humor politik adalah jawaban yang tidak hanya sekedar lucu namun cukup menyegarkan tatanan politik yang tengah penuh pertengkaran. Tentu saja seiring popularitasnya yang meroket kritik terhadapnya akan mengikuti, khususnya terkait humor-humor mesum yang mulai terasa repetitif dan menjenuhkan. Walaupun begitu, Nurhadi-Aldo telah memainkan perannya sebagai simpul pemersatu banyak orang, khususnya anak muda melek internet, yang butuh mengalihkan diri dari rasa frustrasinya terhadap buruknya citra politisi-politisi sungguhan di dunia nyata.

Munculnya politisi-politisi guyonan dan kelakar-kelakar politiknya yang humoris bukanlah hal baru dalam fenonema demokrasi modern. Para pelakunya biasanya berasal dari kalangan terpelajar, kebanyakan adalah seniman, atau bahkan orang biasa dengan kepekaan humor mumpuni, yang cukup jeli memanfaatkan gestur-gestur parodi untuk menghasilkan sensasi politik. Mereka mengampanyekan gagasannya dengan sejenaka mungkin sehingga menjadi bahan berita media massa dan akhirnya diperhatikan masyarakat luas. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan melakukan langkah-langkah politik secara formal dengan tujuan mengolok-olok status quo.

Salah satu contoh yang cukup populer di masanya adalah aksi-aksi berorientasi muda, radikal, dan kontra-budaya, yakni Youth International Party, atau biasa disebut ‘Yippies’, yang mulai berkembang di Amerika Serikat penghujung tahun 1960-an. Gerakan politik ini terasosiasi dengan kultur hippies, fenomena di mana anak-anak muda Amerika menjawab kerisauan terhadap kondisi sosial politik di dalam negeri dengan aksi-aksi protes menolak kemapanan, anti-otoritas, dan konsumsi marijuana sebagai stimulan spiritualisme. Dapat dikatakan, bahwasanya Yippies adalah orang-orang hippies yang menghadirkan dirinya secara politik.

Dalam beberapa kesempatan pemilihan presiden Amerika, Yippies mengajukan kandidat-kandidat yang tidak biasa: seekor babi bernama Pigasus pada pemilihan tahun 1968, dan sosok fiktif bernama ‘Nobody’ dengan slogan-slogan kampanye menyentil seperti ‘Nobody for President’ dan ‘Nobody’s Perfect’ pada tahun 1976, 1980, dan 1984. Satu kampanye lainnya, ‘None of the Above’, cukup mirip dengan Golongan Putih (Golput) di Indonesia karena mereka mengadvokasi para pemilih untuk tidak memilih kandidat-kandidat yang tersedia di surat suara.

Yippies terkenal dengan aksi-aksi teatrikalnya yang terencana rapih. Mereka secara berkala melakukan aksi melempar kue pai kepada tokoh-tokoh yang kontroversial atau yang berseberangan pandangan politiknya. Salah seorang Yippie, Betty Andrew, disebutkan mencalonkan diri sebagai walikota Vancouver dengan janji-janji mengubah fungsi balai kota menjadi tempat penitipan anak dan menghapus semua hukum, termasuk hukum gravitasi “supaya semua orang bisa melayang (sakau-red)”. Stew Albert, salah seorang pendiri Yippies, bahkan sampai menantang petahana berduel sampai mati kala dirinya mencalonkan diri sebagai Sheriff di Alamada.

Meskipun terkesan mengada-ngada, namun banyak “keusilan” yang Yippies lakukan tidak selalu menyalahi prosedur politik dan hukum Amerika secara signifikan atau memicu krisis politik tingkat tinggi yang mengancam negara. Berbeda dengan di Indonesia pada kurun waktu yang kurang lebih sama. Jika ada orang yang ingin berpolitik, apalagi mencalonkan diri sebagai presiden, maka akan dianggap sebagai penentangan, bukan partisipasi, terhadap Orde Baru.

Judilherry Justam dan Armein Daulay, keduanya tokoh penting dalam Peristiwa Malari 1974, pernah mencoba mencalonkan diri sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pemilihan tahun 1978. Prosedur pencalonan pun mereka jalankan seperti menemui anggota-anggota dewan (saat itu, presiden dipilih dan dilantik oleh anggota MPR). Pada akhirnya, keduanya digelandang dan ditahan oleh tentara karena dianggap berniat makar.

Selain Judilherry-Armein, pada tahun tersebut ada beberapa tokoh lain yang digadang-gadang menjadi penantang petahana Suharto. Mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin sempat memberikan isyarat tidak menolak jika memang rakyat memintanya mencalonkan diri. Ada pula Darius Marpaung, aktivis Kristen dan gerakan buruh yang dikabarkan mencalonkan diri. Tahun 1998, muncul pasangan Berar Fathia-Wimanjaya Keeper Liotohe sebagai calon independen. Sejarah juga mencatat nama Sarwito Kartowibowo dan Rusmania. Bedanya, keduanya sama-sama mengaku menerima wangsit untuk menggantikan Suharto sebagai presiden.

Namun semua tantangan itu berakhir impoten dan Suharto tetap berkuasa sampai gerakan Reformasi muncul. Terlihat perbedaan mencolok bagaimana demokrasi di kedua negara berjalan; Suharto tidak bersedia mentolerir kelakar-kelakar politik sebagaimana di Amerika. Pengancam status quo, baik yang sekedar iseng maupun serius, dijamin berakhir diamankan aparat dengan dalih menjaga stabilitas.

Beruntung kini Indonesia berada di era Reformasi yang mengutamakan kebebasan dan keterbukaan. Humor politik menjadi wajar. Dan harapannya, semoga tidak menimbulkan gesekan akibat kesalahpahaman orang-orang yang masih belum mahir memadukan humor dengan keseriusan berpolitik.

Filsuf dan Psikolog Amerika, William James, mengatakan bahwa akal sehat dan rasa humor adalah hal yang sama, yang bergerak dengan kecepatan berbeda. Humor, menurutnya, adalah “akal sehat yang tengah menari”. Kepopuleran Nurhadi-Aldo dan serangkaian meme politik lain yang bertebaran sekarang ini merupakan bukti bahwa memang banyak hal yang pantas ditertawakan. Tetapi, kita juga harus selalu siap untuk menggunakan akal sehat dalam membaca dinamika politik negeri ini.

Rahadian Rundjan adalah penulis yang menggemari sejarah, sains, dan budaya populer. Dapat dihubungi di @rahadianrundjan.

Share: Melanggengkan Humor dalam Berpolitik