“Tidak ada yang namanya pemerkosaan dalam pernikahan,” seorang ustad berkata dalam sebuah kursus pranikah di Pekanbaru, Riau awal Januari lalu.
Ketika seseorang berkata begitu, ia sedang berpegang teguh pada pemahaman berusia lebih dari 400 tahun lamanya. Pada tahun 1600-an, istri atau perempuan dianggap sebagai properti suami atau ayahnya. Ketika seorang perempuan diperkosa, maka suami atau ayahnya lah yang dianggap dirugikan. Oleh karena itu, dianggap tidak mungkin bagi istri untuk diperkosa oleh suaminya sendiri.
Pada tahun 1700-an, hakim Sir Matthew Hale dalam “History of the Pleas of the Crown” mengatakan bahwa, “suami tidak bisa didakwa bersalah atas tuduhan pemerkosaan kepada istri sahnya. Sebab, mutual consent dan perjanjian telah diberikan istrinya kepada sang suami ketika menikah, dan sifatnya tidak bisa ditarik.”
Lantas, apakah beratus-ratus kemudian istri masih dianggap sebagai properti suami?
Marital rape atau perkosaan dalam pernikahan termasuk dalam kekerasan berbasis gender, bersandingan dengan eksploitasi seksual, pernikahan paksa, KDRT, perdagangan manusia, dan female genital mutilation.
Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan, mengatakan bahwa patriarki dan stereotip yang melekat pada gender berkontribusi terhadap maraknya kasus pemerkosaan dalam pernikahan. “Dalam struktur masyarakat kita ada nilai patriarki yang membangun cara berpikir dan cara kita bersikap. Bahwa istri harus melayani kebutuhan suami, penolakan istri untuk memberikan layanan seksual dinilai sebagai dosa atau durhaka,” kata Siti kepada Asumsi.co (24/2).
“Hal ini juga ditambah dengan stereotip atas peran gender berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki distereotipkan sebagai kuat, agresif, atau aktif. Sedangkan perempuan harus menurut dan pasif. Karena stereotip dan nilai-nilai yang ditanamkan itu, ditambah minimnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi dan hak seksual, suami bisa berpikir dan beranggapan bahwa memaksa istri berhubungan seksual itu tidak masalah. Sebab, fungsi istri adalah untuk melayaninya,” lanjutnya.
Pemerkosaan dalam pernikahan masih banyak terjadi di Indonesia. Pada 2018 lalu, Komnas Perempuan lewat Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2019 mencatat bahwa terdapat 195 laporan kasus pemerkosaan dalam pernikahan yang terkumpul sejak 2018. Laporan ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 172 kasus.
Laporan yang bertambah banyak menjadi pertanda bagus. “Keberanian melaporkan kasus perkosaan dalam perkawinan menunjukkan kesadaran korban bahwa pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan adalah perkosaan yang bisa ditindaklanjuti ke proses hukum,” tulis laporan Komnas Perempuan.
Namun, jumlah laporan itu pun masih terbilang sedikit. Studi “Rape and Sexual Assault: Reporting to Police and Medical Attention” menemukan bahwa 77% perempuan yang pernah diperkosa oleh suami atau kekasihnya tidak melaporkan kasusnya ke polisi. Padahal, perkosaan dalam pernikahan dikatakan empat kali lebih sering terjadi dibandingkan perkosaan oleh orang asing. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa hanya 4 kasus perkosaan dalam pernikahan yang ditangani pengadilan negara pada 2018 lalu.
Kebanyakan kasus pemerkosaan dalam pernikahan yang dilaporkan adalah yang telah bersifat ekstrem, seperti memaksa berhubungan seks ketika sedang menstruasi, yang telah merusak kesehatan produksi, hingga dibarengi dengan perilaku-perilaku kekerasan dalam rumah tangga lainnya.
Salah satu contoh kasus, misalnya, korban perkosaan yang juga mengalami bentuk KDRT lain: pelaku kekerasan memutar tangan kanan dan kiri korban hingga tidak bisa bergerak, menyeret, dan menjambak korban. Korban lain dipaksa untuk berhubungan seks secara anal hingga mengalami pendarahan. Korban mengalami kekerasan dalam empat bentuk: seksual, ekonomi (tidak diberi nafkah), psikologis (dikucilkan dari pergaulan), dan fisik (ancaman pembunuhan).
Bentuk-bentuk lain yang telah terhimpun oleh Komnas Perempuan termasuk suami memaksa istri untuk memasukkan benda ke dalam vaginanya, suami memaksa untuk melakukan threesome, suami memaksa untuk berhubungan intim setelah istri baru saja melahirkan, suami memaksa untuk seks oral, dan lain-lain.
Pemerkosaan dalam pernikahan telah diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal 5 UU PKDRT melarang seseorang untuk melakukan KDRT, termasuk: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penalantaran rumah tangga.
Pasal 8 mengatur definisi kekerasan seksual adalah memaksa berhubungan seksual dengan orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga atau memaksa berhububungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan-tujuan lain. Pelaku kekerasan seksual pun dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp300 juta.
Namun, menurut studi “Kebijakan Formulasi Kekerasan Seksual Terhadap Istri (Marital Rape) Berbasis Keadilan Gender di Indonesia” dari Universitas Diponegoro, pasal 8 UU PKDRT masih terlalu luas: korban dapat didefinisikan sebagai siapa saja yang menetap di rumah, seperti anak, anak angkat, suami/istri, mertua, hingga pembantu rumah tangga. Sementara itu, KUHP tidak mengakui adalah perkosaan dapat terjadi dalam pernikahan.
Selain undang-undang, menumbuhkan kesadaran tentang perspektif gender di masyarakat dinilai penting. “Untuk mencegah marital rape, pandangan bahwa perempuan bukanlah objek seksual suami perlu diubah,” kata Siti.
Ia juga berkata bahwa laporan-laporan yang sampai di Komnas Perempuan hanyalah puncak gunung es dari kasus-kasus lain yang tidak terlapor. “Kami meyakini jumlah perempuan yang mengalami marital rape lebih banyak daripada yang mengadu,” tutur Siti.