Politik

Makin Banyak yang Dipenjara, Keseriusan Revisi UU ITE Dipertanyakan!

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: iStock Photo

Keseriusan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) semakin dipertanyakan oleh publik. Terutama setelah revisi UU ITE dinyatakan tidak masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD diketahui juga telah membentuk Tim Kajian Undang-Undang ITE, melalui Keputusan Menko Polhukam Nomor 22 Tahun 2021 yang ditandatangani keputusannya pada 22 Februari lalu. 

Tim diberikan waktu kerja selama tiga bulan hingga 22 Mei mendatang untuk menentukan perlu atau tidaknya revisi UU ITE. Publik pun menanti hasil analisa dari Tim Kajian ini.

Makin Banyak Orang Dipenjara Gara-Gara UU ITE

Koalisi Serius Revisi ITE, yang terbentuk atas gagasan Koalisi Masyarakat Sipil, mendesak agar pemerintah segera menunjukkan keseriusannya untuk merevisi UU ITE yang kini dinilai menggantung.

Baca juga: Unggah Cerita Layanan Klinik Kecantikan, Stella Malah Dijerat UU ITE | Asumsi

Manajer Media dan Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, mewakili koalisi ini menegaskan, sikap serius pemerintah perlu karena masyarakat semakin tertekan dengan keberadaan UU ITE.

“Undang-undang ini, sampai sekarang, masih terus menjerat mereka-mereka yang seharusnya dilindungi. Revisi UU ITE tidak bisa ditawar-tawar lagi,” tegas Nurina, melalui diskusi virtual yang diselenggarakan Kamis (29/4/21).

Ia menerangkan, Koalisi Serius Revisi ITE telah bekerja dengan serius sejak bulan Maret 2021 untuk merumuskan penilaian dan penyusunan perbaikan. 

“Pertengahan April 2021, kerja serius ini telah dituangkan ke dalam kertas kebijakan yang telah disepakati bersama,” ucapnya. 

Ia menambahkan, berdasarkan laporan yang dihimpun oleh koalisi, ada tingkat penghukuman mencapai 96,8% atau setara 744 perkara sejak 2016 sampai Februari 2020. Tingkat penghukuman ini untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE.

“Ini dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi, mencapai 88% yang jumlahnya mencapai 676 perkara,” tegasnya.

Sementara itu, perwakilan lainnya yakni Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu menerangkan, berdasarkan Laporan Situasi Hak-hak Digital SAFEnet Tahun 2020, terdapat 84 kasus pemidanaan terhadap warganet sepanjang tahun 2020. 

“Jumlah ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berjumlah 24 kasus,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Baca juga: Alasan UU ITE, Polisi Semprit Netizen yang Beri Komentar soal Gibran Rakabuming | Asumsi

Erasmus menyebutkan, dari 84 kasus tersebut, 64 di antaranya menggunakan pasal karet UU ITE. Laporan yang sama juga menyatakan, tidak hanya pemidanaan, kekerasan berbasis gender online (KBGO) juga kian memprihatinkan. 

“Selama tahun 2020, tercatat 620 kasus ini atau meningkat lebih dari 10 kali lipat, dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 60 kasus dengan berbagai jenis KBGO, seperti non consensual dissemination of intimate images, pelecehan secara online hingga pelanggaran privasi,” terangnya.

Rumusan Pasal UU ITE Dinilai Lemah Sejak Awal

Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Era Purnamasari mengungkapkan, ada 8 pasal di dalam Undang-undang yang disoroti oleh Koalisi Serius Revisi ITE.

Pihaknya mengharapkan 8 pasal ini menjadi perhatian Tim Kajian dalam merevisi aturan yang ada di dalam Undang-undang ITE. Ada dua pasal yang paling disorotinya.

Pertama, Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang didalamnya berbunyi:

Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.”

Menurutnya, keseluruhan pasal 26 UU ITE merupakan pengakuan hak privasi dalam bentuk perlindungan data pribadi. Maka, sebaiknya, pengaturan tersebut mengikuti hukum perlindungan data pribadi (data protection law) untuk menghindari dupilkasi.

“Dalam implementasinya, Pasal 26 ayat 3 berpotensi tumpang tindih dengan sejumlah peraturan perundang-undangan lain, terutama dengan peraturan yang menjamin hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi,” ungkapnya.

Ia mencontohkan potensi tumpang tindih pasal ini dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

“Ketidakjelasan rumusan “informasi yang tidak relevan” didalamnya juga berpotensi mengganggu keterbukaan informasi publik,” ucapnya.

Dalam konteks ini, ia mengatakan, Indonesia memiliki fenomena impunitas kejahatan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, korupsi, atau kekerasan seksual. “Sehingga membuka peluang bagi pelaku, termasuk pejabat publik, untuk mengajukan penghapusan informasi negatif tentang dirinya,” ucap dia.

Kedua, lanjutnya, Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 terkait penghinaan dan pencemaran nama baik yang berbunyi:

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”

Pasal 45 ayat 3:

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”

Ia mengatakan, pasal ini semakin populer karena digunakan sebagai pasal yang sering digunakan dasar pelaporan kasus. Instrumen balas dendam digunakan bagi kelompok yang lebih berdaya atau memiliki kuasa. Contoh terbaru, kasus Stella yang dijerat UU ITE oleh salah satu klinik kecantikan di Jawa Timur dengan tuntutan pidana penjara. 

Baca juga: Polemik UU ITE, Bukti Anti Kebebasan Berpendapat? | Asumsi

“Tidak hanya pada konten-konten yang disebarkan oleh individu, tetapi juga pada produk- produk jurnalisme,” ungkap Era.

Praktiknya, kata dia, saat ini terjadi perluasan penafsiran Pasal 27 ayat (3) yang seringkali digunakan untuk menjerat penghinaan yang ditujukan kepada perusahaan maupun lembaga negara. Menurutnya, Pasal pencemaran nama baik seharusnya dirumuskan dengan sangat jelas merujuk ke Pasal19 ayat 3 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, yang isinya memberikan kesempatan pembelaan kebenaran/verifikasi.

“Komentar umum PBB Nomor 34 merekomendasikan penghapusan pidana defamasi, jika tidak memungkinkan, pidana defamasi hanya diperbolehkan untuk kasus paling serius dengan ancaman bukan pidana penjara,” tuturnya.

Era menilai, alasan pasal ini banyak digunakan masyarakat sebagai serangan balik kepada pihak yang dianggap menyinggung atau mencemarkan nama baiknya karena lemahnya rumusan pasal ini sejak awal.

“Dengan demikian banyak yang bisa dikriminalisasi oleh pasal ini. Masalahnya juga bukan hanya karena implementasinya, tapi juga norma hukum yang karet,” terangnya.

Koalisi Akan Sampaikan Kertas Kebijakan ke Pemerintah

Selain 2 pasal yang disorot lebih jauh, 6 pasal lain yang juga perhatian antara lain Pasal 27 ayat 1 jo Pasal 45 ayat 1 terkait pidana kesusilaan, Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 A ayat 2 terkait kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA, dan Pasal 29 jo Pasal 45 B terkait ancaman kekerasan.

Kemudian Pasal 36 jo Pasal 51 ayat 2 soal ancaman pidana, Pasal 40 ayat 2a dan 2b terkait pencegahan penyebarluasan dan kewenangan pemerintah memutus akses serta Pasal 43 ayat 3 dan 6 terkait penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan.

Nurina memastikan, kertas kebijakan ini bakal disampaikan kepada perwakilan pemerintah, terutama Tim Kajian UU ITE yang dibentuk Menkopolhukam.

Baca juga: Berkaca dari Kasus Stella, Konsumen Harus Apa Agar Tak Terjerat UU ITE? | Asumsi

“Rencananya, tentu akan kami tindak lanjuti kertas kebijakan ini ke Kemenko Polhukam, kemudian Kemenkominfo dan jajaran Komisi III DPR. Memang ada rencana lanjutan untuk disampaikan ke mereka,” ungkapnya.

Koalisi ini juga mengundang partisipasi publik untuk menyebarluaskannya dengan menggelar diskusi publik agar semakin banyak aspirasi masyarakat yang terkumpul.

“Selain rencana lanjutan, tentu kami dorong publik menggelar diskusi-diskusi di komunitasnya dengan mengundang kami agar bisa saling berdialog dan kertas kebijakan ini semakin banyak orang yang tahu,” tandasnya.

Share: Makin Banyak yang Dipenjara, Keseriusan Revisi UU ITE Dipertanyakan!