Serangan digital kembali menghantui aktivitas jurnalistik. Media alternatif yang gencar menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas, Magdalene.co dan Konde.co, melaporkan situs dan media sosial mereka diserang hingga tak bisa diakses.
Magdalene.co mendapat serangan DdoS (distributed denial-of-service), yaitu serangan dengan cara membanjiri lalu lintas jaringan internet pada server, sistem, dan jaringan yang membuat situs tak bisa diakses. Sementara akun Twitter Konde.co (@konde.co) diretas dan tak bisa diakses lagi. Baik Magdalene.co dan Konde.co menginformasikan serangan mulai terjadi sejak 15 Mei lalu.
Pemimpin redaksi dan pendiri Magdalene.co, Devi Asmarani, mengatakan penyerangan masih terjadi hingga kini—membuat aktivitas redaksi Magdalene.co sempat lumpuh. “Kalau sudah mati kan nggak bisa diapa-apain, sampai kita mau pasang story juga nggak bisa. Orang mau buka juga dapat error message. Ini dilakukan terus-menerus dan setiap kali dinyalakan mati lagi beberapa lama kemudian. Jadi kelihatannya ini memang sesuatu yang secara sengaja dilakukan untuk melumpuhkan website Magdalene,” ujar Devi kepada Asumsi.co (12/6).
Jurnalis Magdalene.co juga menerima serangan secara personal lewat media sosial. Salah satu jurnalisnya diintimidasi dan kena doxing. Begitu pula editor Magdalene yang diserang dengan kata-kata kasar. “Data-data jurnalis kami disebar, fotonya diambil dan ditempel ke ilustrasi manga perempuan yang telanjang. Lalu disebar di situs-situs porno. Editor kami juga terus-menerus di-tag di Twitter dengan ungkapan seperti ‘lonte’ lah, apa lah,” lanjut Devi.
Devi belum dapat memastikan apakah upaya penyerangan terhadap situs Magdalene maupun secara personal berkaitan. “Kita nggak tahu, ya. Tapi semuanya tentu sama-sama punya pandangan yang anti-feminis, merasa tidak suka dengan konten-konten kami.”
Pemimpin redaksi Konde.co, Luviana Ariyanti, mengatakan akun Twitter @konde.co tak bisa lagi diakses tak lama setelah mereka memberitakan kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa S2 Ibrahim Malik. Pemberitaan berjudul “Berdalih Menanyakan Kabar, Ibrahim Malik Diduga Melakukan Banyak Kekerasan Seksual” tersebut ramai dibicarakan di media sosial dan menjadi salah satu rujukan dalam petisi yang menuntut dicabutnya beasiswa Ibrahim Malik di Australia.
“Kami juga mengadakan Konde Women’s Talk yang salah satu topiknya mengupas tentang Ibrahim Malik. Nah Twitter-nya Konde memang ramai banget menjelang diskusi. Satu jam atau setengah jam sebelum acara, ketika mau posting tentang acara tersebut, nah itu nggak bisa,” kata Luviana kepada Asumsi.co (12/6).
Luviana diminta untuk memasukkan kata sandi akun Twitter @konde.co, tetapi tak berhasil. Ia diminta untuk melakukan verifikasi menggunakan nomor telepon. Itu pun juga tak berhasil. Esok paginya, Luviana mendapatkan keterangan dari Twitter tentang adanya upaya login dari Surabaya, Yogyakarta, dan Belanda. “Aku juga kontak teman di Twitter. Katanya ini di-hack dan akunnya dikunci. Terus ya sudah akunnya sekarang hilang. Kemudian aku tanya mesti ngapain, katanya cuma bisa bikin akun baru. Ini sudah hilang, raib,” lanjut Luviana.
Sebagai media alternatif dengan sumber daya yang terbatas, aksi-aksi penyerangan ini merugikan mereka. Situs dan media sosial jadi sarana penting untuk menerbitkan dan mempromosikan produk-produk mereka. “Konde ini kan media alternatif yang kecil. Kampanye kami cuma bisa dilakukan di media sosial. Walaupun ada diskusi dan program-program offline, tapi yang bisa kami lakukan setiap hari adalah kampanye di media sosial. Kami dapat pembaca ya dari situ,” ujar Luviana.
Saat ini, Konde.co hanya bisa membuat akun Twitter baru bernama @konde_co. “Ibaratnya, kayak orang masuk ke rumah kita terus semua barang kita jadi hilang. Bahkan rumahnya ambruk.”
Pihak Magdalene.co dan Konde.co kini sedang melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait upaya-upaya penyerangan. Devi mengatakan pihaknya tak segan membawa kasus ini ke ranah hukum. Tindakan penyerangan ini dapat dikategorikan dalam upaya menghalangi kerja pers dan diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 18 ayat (1) menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers dapat dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda hingga Rp500 juta.
Devi dan Luviana mengatakan penyerangan ini adalah upaya untuk membungkam perspektif alternatif dan ekspresi perempuan. “Dari awal Magdalene kami ciptakan untuk mengangkat isu-isu yang selama ini tidak dilirik oleh media lain. Juga memberikan perspektif yang berbeda dari isu-isu yang sudah ada. Terlihat bahwa apa yang kami lakukan membuat gerah sebagian orang. Karena kami media kecil, sangat rentan dan sangat mudah kami di-bully,” tutur Devi.
“Kami menerima bahwa memang tidak semua akan setuju dengan artikel kami. Tapi kalau menyerang seperti ini sifatnya sudah kriminalitas,” lanjutnya.
AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta juga turut mengecam peristiwa ini dan menganggapnya sebagai upaya untuk memberangus kemerdekaan pers. Alih-alih menyerang dan memberangus platform media, pihak yang keberatan dengan suatu pemberitaan dapat membuat laporan ke Dewan Pers. Masyarakat juga diminta untuk tidak terprovokasi dengan ujaran kebencian yang dialamatkan ke media yang mengarusutamakan isu perempuan dan kelompok minoritas.
“Serangan terhadap dua media yang menyuarakan hak-hak kesetaraan gender itu menghalangi peran pers mempromosikan nilai hak asasi manusia dan keberagaman,” tulis AJI Jakarta dalam surat keterangannya.