Isu Terkini

Luhut dan Makna Maaf Dalam Kepemimpinan

Irfan — Asumsi.co

featured image
Mulyadi/ Unsplash

Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan menyampaikan permintaan maaf kepada publik karena Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Jawa-Bali belum optimal.

Permintaan maaf dari mulut Luhut itu sontak mengejutkan publik tanah air. Bagaimana tidak, pejabat sekelas Luhut yang terbilang garang mau meminta maaf.

“Sebagai koordinator PPKM Jawa dan Bali dari lubuk hati yang paling dalam saya ingin minta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia jika dalam penanganan PPKM Jawa Bali ini masih belum optimal,” kata Luhut.

Permintaan maaf dari pejabat seolah sesuatu yang sakral selama pandemi Covid-19. Padahal, kegagalan demi kegagalan terjadi selama pandemi lebih dari satu tahun terakhir.

Di media sosial Twitter banyak yang sangsi pada ketulusan Luhut menyampaikan permintaan maaf. Ada yang menilai, permintaan maaf Luhut disampaikan dengan membaca teks agak janggal. Soalnya hal ini cukup berbeda dengan pernyataan publiknya selama ini yang disampaikan tanpa teks.

Lainnya banyak juga yang mengapresiasi. Soalnya, di Indonesia sangat jarang pemerintah meminta maaf atas kesalahan yang mereka lakukan. Sebagian warganet juga meminta langkah nyata dari pemerintah dalam menangani pandemi ini.

Berdasarkan penelusuran, tidak ada pejabat selain Luhut yang menyampaikan permintaan maaf atas kondisi pandemi saat ini. Mayoritas pejabat lain justru sesumbar dengan berbagai strateginya, sedangkan yang lain menghilang bak ditelan Bumi.

Efek sejarah

Pakar komunikasi Universitas Indonesia, Firman Kurniawan mengatakan permintaan maaf dalam hal kepemimpinan bisa dimaknai sebagai upaya memperbaiki relasi melayani dan dilayani yang tidak optimal. Manakala yang melayani tidak optimal menyelenggarakan perlindungan kepada warga negaranya maka negara sudah semestinya minta maaf.

Namun yang terjadi, pihak yang melayani pun terbelah gerakannya. Eksekutifnya membuat kebijakan sendiri, sementara legislatif kadang mengkritiknya dan yudikatif tidak terlihat posisi keberpihakannya sebagai pelayan warga negara.

“Dengan begitu fungsi negara tidak utuh,” kata Firman kepada Asumsi.co.

Mengenai kenapa permintaan maaf baru disampaikan saat ini, Firman menyebut alasannya mungkin adalah perspektif dalam melihat kinerja. Boleh jadi pemerintah merasa telah melakukan kerja keras yang optimal. Di sisi lain, kinerjanya itu tidak didukung publik.

Ia juga berspekulasi ada pengaruh dari sejarah Indonesia yang dulunya kerajaan, di mana raja mewakili Tuhan. Para pemimpin hingga saat ini mengidentifikasi dirinya sebagai raja, wakil Tuhan yang tidak mungkin salah.

“Meminta maaf diidentikkan dengan gagal, dan itu tidak mungkin, masa wakil Tuhan salah. Sehingga tradisi minta maaf tidak berkembang di Indonesia,” ucap dia.

Firman menyebut permintaan maaf sejatinya sesuatu yang sangat penting mengingat pemerintah merupakan pemegang otoritas penuh yang berwenang menetapkan kebijakan apapun untuk menangani penyebaran Covid-19.

Atas wewenangnya itu masyarakat wajib patuh, bahkan ketika tidak patuh,  akan dikenai hukuman badan maupun denda.

“Maka ketika relasi mengatur oleh pemerintah, belum sepenuhnya mencapai hasil yang diharapkan pihak yang diatur, maka permintaan maaf itu harus disampaikan,” kata Firman.

Di balik kepatuhan masyarakat, terkandung pengorbanan. Masyarakat bisa jadi punya pilihan langkah sendiri yang mungkin lebih baik hasilnya ketimbang aturan pemerintah. Namun tidak bisa dijalankan, karena adanya kebijakan tunggal dari pemerintah.

“Dan ketika kebijakan pemerintah itu tak sepenuhnya berhasil, meminta maaf itu sudah seharusnya disampaikan,” ucap dia, menegaskan.

Belum wakili negara

Namun, apa yang disampaikah Luhut semalam hanya mewakili pemerintah saja. Belum mewakili negara secara umum. Padahal rentetan kegagalan penanganan pandemi setahun lebih ini mestinya diemban juga tanggung jawabnya oleh elemen negara lainnya yakni legislatif dan yudikatif.

Sayangnya, unsur-unsur ini tidak padu. Alih-alih merasa ikut bertanggung jawab, malah ada unsur DPR yang minta rumah sakit khusus pejabat atau memberikan dukungan politis produksi vaksin, yang harusnya dijalankan oleh otoritas akademis yang dijalankan BPOM.

“Negara kita tidak satu suara dalam penanganan Covid-19,” ucap dia.

Perihal ketulusan, Firman menilai sebenarnya tidak ada pakem atau formula, misalnya membaca teks jadi tak tulus kalau dibanding mengungkapkannya lewat permintaan maaf non teks. Ketulusan sebanrnya bisa diukur dari sangat jarangnya, bahkan tidak mungkinnya seseorang mengucapkan permintaan maaf di hadapan publik.

“Dalam ilustrasi macam ini, dengan membaca teks pun permintaan maaf itu bisa dinilai tulus,” ucap dia.

Namun di tengah situasi seperti ini, di tengah iritnya pemerintah menyampaikan permintaan maafnya, lebih baik memknai permintaan maaf pemerintah yang diwakili oleh Luhut sebagai permintaan maaf yang benar tulus.

Lain dari itu, publik pun pantas menagih aksi nyata apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menanggulangi pandemi ini.

“Dan yang lebih penting dari itu, upaya perbaikan apa berikutnya yang dilakukan?,” ucap dia.

Senada, inisiator koalisi Laporcovid-19 Irma Hidayana ikut mengapresiasi permintaan maaf pemerintah yang disampaikan oleh Luhut. Namun, saat ini perlu ditunggu aksi nyata pemerintah untuk memperbaiki penanganan pandemi Covid-19.

“Kami ingin melihat juga permintaan maaf itu diiringi dengan aksi nyata dan langkah luar biasa dalam menyelesaikan dan mengendalikan angka penularan di tingkat komunitas,” kata Irma dalam konferensi pers daring Koalisi Warga Akses Kesehatan, Minggu (18/7/2021).

Menurutnya, pemerintah harus serius menekan mobilitas warga untuk menekan laju penularan Covid-19. Dengan begitu, pelacakan dan pengetesan akan makin efektif. Ia pun optimistis kalau hal ini dilakukan, jumlah pasien yang sakitnya parah dan harus dirawat di rumah sakit akan berkurang.

“Pemerintah punya kewajiban dalam UU Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018 yang harus dipenuhi ketika memberlakukan pembatasan pergerakan warga. Jadi semestinya ketika ada sekat-sekat ini, pemerintah memberikan pemenuhan kebutuhan dasar kepada masyarakat sehingga masyarakat diam di rumah tidak bepergian ke mana-mana dan mengurangi risiko penularan Covid-19 sekaligus memberikan rasa aman ekonomi dan kebutuhan sehari-hari,” ucap dia.

Satu hal lagi yang ia ingatkan adalah percepatan dan pemerataan vaksinasi covid-19. “Di saat yang sama, intervensi vaksin juga harus dilakukan secara serempak tanpa mengurangi akses terhadap vaksinasi. Masyarakat harus memiliki hak yang sama dan setara dalam mengakses vaksin,” katanya.

Melihat
masalah yang terjadi selama pandemi atau masalah lain di masa lalu, permintaan
maaf dari para pemimpin di hadapan publik nampaknya memang menjadi langkah yang
berisiko. Pasalnya, penolakan publik atas permintaan maaf mereka bisa menjadi
bumerang.  Ada kemungkinan permintaan
maaf dari pemimpin dimaknai sebagai kelemahan.

Profesor Harvard Barbara Kellerman menulis bahwa permintaan maaf yang berhasil dapat membawa dampak positif bagi individu atau organisasi. Sementara permintaan maaf tidak tulus hingga terlambat dapat membuka pintu menuju kehancuran individu dan institusi. 

“Karena taruhannya sangat tinggi para pemimpin tidak boleh menyampaikan permintaan maaf publik secara sering atau mudah,” kata Kellerman.

Kellermen berkata permintaan maaf yang baik biasanya berhasil. Yang dimaksud dengan permintaan maaf yang baik itu berisi pengakuan kesalahan, menyadari tanggungjawabnya, mengekspresi penyesalan, dan menjamin bahwa pelanggaran tidak akan terulang.

Share: Luhut dan Makna Maaf Dalam Kepemimpinan