Hak Jawab Livi Zheng
Pada 8 November 2019, pukul 18:28 WIB, redaksi Asumsi.co menerima surat dari pihak kuasa hukum Sdri. Livi Zheng. Melalui kuasa hukum Abraham Simatupang & Lawyers Law Firm, Livi Zheng menyatakan keberatannya terhadap tulisan Livi Zheng: Rahasia, Sinema, Kuasa yang terbit di situs Asumsi.co pada 27 Agustus 2019.
Keberatan itu sudah disampaikannya ke Dewan Pers yang kemudian memediasi pihak Sdri. Livi Zheng sebagai Pengadu dan Asumsi.co sebagai Teradu. Pertemuan ini berakhir dengan dikeluarkannya Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers Nomor: 44/PPR-DP/X/2019 tentang Pengaduan Livi Notoharjono (Livi Zheng) terhadap Asumsi.co.
Sebagai bentuk kewajiban melaksanakan PPR Dewan Pers, berikut kami muat hak jawab yang dikirimkan oleh kuasa hukum Livi Zheng.
Asumsi.co menulis sama sekali tidak berdasarkan fakta yang teruji dan tidak melakukan check and recheck secara berimbang, menyampaikan informasi yang tidak akurat, tidak uji informasi, tidak berimbang, menghakimi dan menyebarkan kebohongan. Livi Zheng sendiri merasa tidak pernah dimintai konfirmasi atau dihubungi Asumsi.co sebelum memuat informasi tentang Livi Zheng dan keluarga.
Asumsi.co telah memuat tulisan dengan materi yang sama dengan yang ditulis di Tirto.id dimana berdasarkan Risalah Penyelesaian Nomor: 74/Risalah-DP/IX/2019, Dewan Pers memutuskan bahwa artikel-artikel di Tirto.id melanggar kode etik jurnalistik pasal 1 dan 3 karena menyiarkan berita tidak akurat, tidak uji informasi, tidak berimbang dan menghakimi.
a. Materi Berita yang berbunyi “Livi Zheng: Rahasia, Sinema, Kuasa” sudah mengarahkan pembaca untuk menghakimi dan menjatukan reputasi Livi Zheng dan Keluarga. Padahal dalam tulisan ini tidak sepotong kalimatpun dikonfirmasikan kepada Livi Zheng dan Keluarga. Di sini terlihat jelas Asumsi.co menyajikan berita yang tidak akurat, tidak uji informasi, tidak berimbang, menghakimi dan menyebarkan kebohongan dengan tujuan menjelekkan nama baik dan menjatuhkan reputasi Livi Zheng.
b. Kutipan Berita: “Brush with Danger (2014) dinominasikan dalam kategori Film Terbaik Academy Awards 2015.”
Klarifikasi: Film Livi Zheng: Brush with Danger masuk ke dalam 323 Feature Films in Contention for 2014 Best Picture Oscar di website Oscar karena mereka memenuhi persyaratan Academy Awards dan judul Brush with Danger bisa dilihat di daftar Reminder List of Productions Eligible for the 87th Academy Awards.
Bisa dicek langsung di website ini:
https://oscars.org/news/323-feature-films-contention-2014-best-picture-oscar
http://digitalcollections.oscars.org/cdm/ref/collections/p15759coll9/id/6993
Setiap tahun ribuan film dimuat, tapi hanya beberapa ratus yang bisa masuk bioskop. Dan dari beberapa ratus yang masuk bioskop, tidak semua bisa mmenuhi kriteria Oscar untuk berkompetisi dalam ajang bergengsi ini. Di website Oscar 323 Feature Films In Contention for 2014 Best Picture Oscar sepertinya hanya 2 film yang berhubungan dengan Indonesia yang masuk daftar itu. Yaitu film The Raid 2 karya Gareth Evans dan Brush with Danger karya Livi Zheng.
Livi tidak pernah berkata bahwa filmnya masuk nominasi Oscar. Livi selalu berkata filmnya masuk seleksi nominasi Oscar.
Tulisan Asumsi.co telah mengarahkan opini pembaca bahwa informasi tentang Livi Zheng adalah bohong, namun menurut Dewan Pers jelas tulisan asumsi.co terbukti tidak berimbang dan tidak melalui uji informasi. Ini merupakan upaya Asumsi.co menjatuhkan reputasi Livi Zheng.
c. Kutipan Berita: “Perkara kualitas, kita bisa merujuk komentar Simon Abrams di The Village Voice.”
Klarifikasi: Village Voice sudah tutup sejak 2018.
https://www.usatoday.com/story/news/2018/08/31/village-voice-shut-down/1159415002/
d. Kutipan Berita: “Salah satu jurnalis yang mengikuti jalan Limawati ialah Stella Azasya dari IDN Times. Dalam laporannya, Stella mengisahkan bagaimana Livi menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan hasil risetnya. “Livi ingin wawancara dihentikan bahkan sebelum kami memulai. Boro-boro bertanya soal artikel yang diterbitkan GeoTimes, soal pernyataannya yang mengatakan berita itu ‘tidak akurat’ saja dia enggan menjawab rinci,” tulisnya.”
Klarifikasi: IDN Times tidak menyampaikan latar belakang wawancara secara lengkap kepada Asumsi.co sehingga seakan-akan Livi Zheng tidak mempedulikan wartawan. Fiqih Damarjati dari IDN Times sudah berhubungan dengan WhatsApp dengan Livi Zheng pada tanggal 15 Agustus 2019. Fiqih juga sudah mengirimkan list pertanyaan. Tapi pada saat hari wawancara, pertanyaan yang disampaikan tertulis sudah berubah, ditambah dan di-print dan isi pertanyaan itu jauh berbeda dengan pertanyaan yang sudah dikirim sebelumnya.
Livi sangat mengerti jika ada perubahan di lapangan, tapi pertanyaan yang akan ditanyakan hari itu, sudah di-print dan isi pertanyaan sangat berbeda dengan apa yang disampaikan lewat WhatsApp. Hal ini sangat tidak profesional dan Livi keberatan atas perubahan yang dilakukan dengan sengaja ini. Tuduhan Stella juga sangat tidak profesional karena ia tidak menceritakan sisi dimana kesalahan IDN TImes berada. Stella hanya bercerita dari satu sisi.
e. Livi Zheng dan keluarga keberatan dengan informasi yang disajikan oleh Asumsi.co, karena tidak ada konfirmasi kepada pihak Livi Zheng dan keluarga serta tidak dilakukan cek dan ricek, tidak dilakukan uji informasi dan tidak memberikan informasi yang berimbang, sehingga menunjukkan Asumsi.co sudah menghakimi dan beritikad buruk kepada Livi Zheng dan keluarga.
Berdasarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers Nomor: 44/PPR-DP/X/2019 tentang Pengaduan Livi Notoharjono (Livi Zheng) terhadap Asumsi.co, berita Teradu adalah karya jurnalistik. Dengan demikian, penyelesaian atas aduan terhadap berita menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dewan Pers menyatakan berita Teradu terkait kepentingan publik, merupakan pelaksanaan fungsi dan peran pers serta memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Dalam keputusannya, Dewan Pers juga menyatakan Teradu melanggar pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik, karena menyajikan berita yang tidak uji informasi, tidak berimbang dan memuat opini yang menghakimi.
Sesuai dengan rekomendasi Dewan Pers, redaksi memuat hasil PPR yang dimaksud seperti tertera di bagian bawah artikel ini dan meminta maaf kepada Pengadu dan pembaca.
# # #
“Iri ya kamu? Pasti iri, dong,” kata Slamet Rahardjo. Dia menyemburkan kata-kata itu ke muka saya bahkan sebelum kami kelar berjabat tangan. “Orang mau maju kok nggak boleh?” katanya selagi saya meletakkan bokong di kursi.
Sehari sebelumnya, saya mengirimi mitraliur antik ini pertanyaan sederhana lewat WhatsApp, “Apakah Gunawan Witjaksono alias The Hok Bing, bapaknya Livi Zheng, merupakan produser Laksamana Cheng Ho?” Slamet, yang memerankan Prabu Wirabumi dalam film serial tersebut, membalas, “Copy darat saja.”
Saya tiba di Institut Kesenian Jakarta, kampus tempat Slamet mengajar, pada Rabu, 21 Agustus, pukul 12 siang lebih sedikit. Lebih sedikit itulah waktu yang saya habiskan buat berjalan-jalan alias tersesat di Taman Ismail Marzuki. Kulit tentu panas, tetapi hati saya, yang tak memahami rasa iri terhadap manusia, sejuk bukan buatan.
Berkebalikan dengan dugaan Pak Slamet, saya amat senang jika Livi Zheng betul-betul sehebat pengakuannya kepada media, sebagaimana saya bergembira mengetahui Tjoet Nja’ Dhien (1988), film bagus yang dibintangi Slamet Rahardjo dan Christine Hakim, diputar bersama As Tears Go By (1988) karya Wong Kar-wai dalam program Semaine de la Critique du Festival de Cannes pada 1989.
Persoalannya, semakin banyak yang saya ketahui tentang Livi, semakin jauh pula panggang dari api. Semakin dekat saya berdiri, semakin keras bunyi tong kosong menggempur telinga.
Livi, misalnya, mengaku bahwa filmnya Brush with Danger (2014) dinominasikan dalam kategori Film Terbaik Academy Awards 2015. Informasi yang sama disampaikan juga oleh Jakarta Post, Liputan 6, dan beberapa media lain. Namun, ada yang menulis film itu hanya “memenuhi syarat untuk masuk nominasi Oscar.” Tentu itu dua perkara yang berbeda. Urusan pertama menuntut mutu, sementara yang berikutnya hanya memerlukan kelengkapan administratif.
Perkara kualitas, kita bisa merujuk komentar Simon Abrams di The Village Voice. Pak Kritikus bertindak buas sejak paragraf pertama: “Hampir tak ada yang masuk akal dalam Brush with Danger, film laga Indonesia yang luar biasa inkompeten dan gila-gilaan rasisnya.”
Tentang adegan-adegan bakalai dalam film yang dibintangi Livi bersama adiknya (Ken Zheng) ini, Abrams berpendapat: sudahlah cuma sedikit, koreografinya asal-asalan pula dan tak bisa jadi penawar penokohannya yang menyakitkan hati.
Belum cukup? Komentar Anita Gates di The New York Times tak kalah menarik: “Walaupun para tokohnya berulang kali menunjukkan pemujaan terhadap ‘karya seni orisinal’ yang terbingkai lis bersepuh, skenario film ini terdiri dari dialog yang palsunya kebangetan.”
Adapun soal kelengkapan administratif, The Academy of Motion Picture Arts and Sciences menyatakan bahwa semua film yang berdurasi lebih dari 40 menit; berformat 35mm, 70mm, atau format digital yang patut; dan dirilis serta ditayangkan selama tujuh hari berturut-turut di bioskop-bioskop komersial Los Angeles County bisa turut berkompetisi.
Jumat, 16 Agustus, bersama Aulia Adam dan Joan Aurelia dari Tirto, saya mewawancarai Livi di Gandaria City. “Tidak mudah, lho,” katanya menjawab pertanyaan Adam tentang kekaburan informasi tentang Brush with Danger dan Academy Awards. “Film itu diputar oleh AMC Theatres, jaringan bioskop terbesar di Amerika Serikat.”
Kata Livi, setiap tahun ada puluhan ribu film yang diproduksi di AS dan hanya sebagian kecil yang mendapatkan kesempatan seperti karyanya. Itu keterangan yang tak perlu dibantah, sebab begitulah cara kerja bioskop di seluruh dunia. Film yang diproduksi di Trenggalek belum tentu ditayangkan oleh bioskop New Star Cineplex Trenggalek.
“Uang bukan segalanya di sana,” ujar Livi setelah diam sebentar. Saya mengangguk-angguk, tak membantah, tetapi saya kira sukar membayangkan seorang produser film profesional menjawab 0, kosong, hampa, mo jiw buat pertanyaan “berapa dana yang hendak Anda tanamkan untuk mendukung penayangan film ini?” pada borang pendaftaran film AMC Theatres.
Apa Salahnya Didukung Keluarga?
“Apa masalahnya kalau Bing memproduseri Cheng Ho?” kata Slamet Rahardjo.
“Masalahnya,” kata saya, “Livi mengaku orang tuanya sama sekali tak ambil bagian dalam karier filmnya.”
Dalam wawancara kami, sebagaimana pada banyak kesempatan lain, Livi menyebut film serial Laksamana Cheng Ho (2008) sebagai awal petualangannya di dunia sinema. Usianya 19 tahun saat itu.
“Cuma jadi stunt,” kata Livi, menjawab pertanyaan Joan tentang perannya dalam tayangan yang disiarkan Metro TV untuk jangka pendek tersebut.
Informasi berbeda disampaikan sebuah tulisan dengan by line “pressva” di situs International Film Review. Ia menguraikan perkembangan “karier” Livi dalam Laksamana Cheng Ho: bagaimana ia mulai sebagai pemain pengganti, menjadi pemeran Ratu Majapahit Suhita, menulis skenario, mengerjakan riset, mempersiapkan suting, menjadi asisten produser, dan pada akhirnya menjadi produser.
Kita tahu, produser film kolosal umumnya mesti mengatur banyak sekali manusia dan hewan. Ratusan, ribuan, bahkan lebih. Setahu saya, hanya ada satu cara lain untuk memperoleh kekuasaan sebesar itu, ialah menjadi Idi Amin.
International Film Review selanjutnya menampilkan testimoni Saifullah Yusuf, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (2004-2007) sekaligus pemeran Prabu Wikramawardhana: “Livi Zheng adalah produser berbakat dan berdedikasi yang telah membuktikan kesanggupannya menjalankan produksi film canggih berbujet besar.”
Masih dalam artikel yang sama, kecap sutradara Laksamana Cheng Ho Nirattisai Kaljaruek (Slamet Rahardjo mengingat orang ini sebagai sutradara dengan gaya berbusana yang sanggup meremukkan konsentrasi para aktor) tak kalah sedap. “Energi dan gairah Livi menular. Dia mengawasi segalanya secara rinci tanpa melupakan jadwal dan anggaran,” ujarnya.
Bertahun-tahun kemudian, seseorang yang pernah bekerja dengan Livi di lokasi pengambilan gambar Brush with Danger mengomentari kemampuan Livi di lapangan selaku sutradara kepada Restu Diantina dari Tirto: “Para kru bertahan kerja buat dia hanya karena satu alasan: banyak duit. Dia sanggup membayar berapa pun harga lokasi, tanpa menawar.”
Dalam artikel “Meneliti Livi Zheng (Bagian 1)”, Limawati Sudono mengatakan bahwa menyerahkan proyek semahal Laksamana Cheng Ho kepada seorang remaja tak berpengalaman adalah pertaruhan yang kelewat berisiko. “Kecuali orang itu adalah engkongnya atau mbah buyutnya sendiri,” katanya.
Karena tak mengenal Limawati, saya muskil memintanya berbaik sangka: boleh jadi, kan, Livi seorang prodigy alias anak ajaib? Dan untuk alasan yang sama, saya tidak bisa menanyakan kenapa dia menunjuk “engkong” dan “mbah buyut” Livi, tetapi mengabaikan ayah-ibunya: Gunawan Witjaksono alias The Hok Bing dan Lilik Juliati.
Joan Aurelia menanyakan siapa dua orang tersebut kepada Livi pada Rabu, 21 Agustus, selepas sebuah acara di IPMI International Business School, namun Livi menghindar dan hanya berkata, “Udah, ya, aku ditungguin.”
Apa, sebenarnya, yang hendak disembunyikan Livi?
Dukcapil mencatat Livi memiliki dua nomor induk kependudukan (NIK) yang berbeda alamat, tetapi disertai nama-nama orangtua yang sama: Gunawan Witjaksono dan Lilik Juliati. Pelengkapnya, situs Blockshopper mencatat Livi dan Gunawan sebagai pemilik sebuah rumah mewah di kawasan elite Los Angeles, AS. Pada 2012 saja, properti ini bernilai lebih dari 2,4 juta dolar AS atau lebih dari Rp34 miliar.
Menurut Pemerintah AS, Lilik dan Zane Thomas (produser Brush with Danger) adalah pengelola rumah produksi Sun and Moon Films, perusahaan tempat Livi bekerja. Salah satu alamat surel yang pernah dipakai rumah produksi ini ialah livikenzheng@gmail.com, gabungan dua nama anak Lilik.
Informasi ini tentu bertentangan dengan pengakuan Livi dalam wawancara kami bahwa dia cuma karyawan biasa di Sun and Moon Films, dan tak ada peran orangtua dalam karier filmnya.
“Buat apa Livi mengaku tak didukung orang tua?” kata Slamet Rahardjo. “Kalau Bing tidak mendukung, masa dia bisa kuliah di University of Southern California?”
Menurut pengakuan Slamet, Gunawanlah yang menawarinya peran dalam Laksamana Cheng Ho. “Waktu itu ada teman mengabari, ‘Eh, kamu dicari Bing, pengusaha yang punya lapangan golf itu, lho,'” ujarnya.
Dia melanjutkan, “Tapi yang bisa saya katakan cuma itu. Saya tidak bisa bilang dia produser atau apa, sebab tak punya bukti hitam di atas putih. Kamu datang saja ke NAM Centre Kemayoran, kantor Bing, tanyakan langsung. Di sana ada kapal besar yang dulu dibuat untuk produksi Cheng Ho.“
Sehari sebelum berjumpa Slamet, saya bersama Joan Aurelia dan Restu Diantina sudah mewawancarai Mawardi, bukan nama sebenarnya, seorang bekas karyawan NAM Mitra.
Perusahaan penyedia akomodasi, biro perjalanan wisata, sekaligus event organizer ini terdaftar di Kemenkumham dengan alamat di Jakarta Barat. Namun, kata Mawardi, dia berkantor di NAM Centre Kemayoran, gedung milik Non-Aligned Movement Centre for South-South Technical Cooperation (NAM CSSTC).
Berkat keterangan Mawardi, saya mafhum bahwa peran Gunawan bukan sekadar menyekolahkan Livi ke luar negeri atau memberinya tanggung jawab besar dalam film serial berbujet melimpah.
“Semua press release dan copy untuk medsos harus mendapat persetujuan Pak Bing,” ujarnya. “Setiap kata ditimbang dengan cermat. Satu rilis bisa direvisi sampai puluhan kali.” Sekali waktu, kecermatan yang obsesif itu membuat seorang desainer grafis berhenti bekerja hanya dalam tiga hari. Saya bergidik mendengarnya.
Mawardi tahu karena sesekali dialah yang membuat pengumuman-pengumuman itu. Menurut pengakuannya, dia bahkan ikut menciptakan brand Livi Zheng sebagai “anak bangsa yang sukses mendunia.”
“Apakah informasi tentang Brush with Danger dan Academy Awards, misalnya, sengaja dibuat kurang jelas dan dibiarkan bertumpang-tindih?” tanya Restu kepada Mawardi.
“Semua dirancang,” katanya. “Pegawai-pegawai NAM, termasuk saya, bahkan pernah disuruh Pak Bing membuat 50 akun di situs IMDB dan memberikan rating bagus untuk Brush with Danger.“
Kartini, bukan nama sebenarnya, bekas karyawan divisi legal NAM Mitra, mengafirmasi pernyataan-pernyataan Mawardi sekalipun masa kerja mereka berbeda, dan keduanya tak mengetahui peran satu sama lain dalam pembuatan laporan ini.
“Saya bertugas mengurus dokumen-dokumen hukum perusahaan, tapi malah disuruh-suruh mengerjakan promosi film Livi,” ujar Kartini. “Sampai ikut menyebarkan brosur ke mal-mal.”
Mawardi mengatakan urusan-urusan Livi dievaluasi setiap hari oleh Gunawan dan orang-orang kepercayaannya. Suatu ketika, katanya, Livi dimarahi Gunawan sampai menangis hanya karena mengeluarkan pernyataan yang tak sesuai skenario kepada publik.
Yang Dibicarakan Livi Selain Prestasi
Kesaksian para sumber tentang “penyutradaraan” Gunawan membantu saya memahami tingkah ganjil Livi Zheng saat kami berjumpa. Pertama, dia menjawab sebagian besar pertanyaan hanya dengan dua cara, yaitu mengulang-ulang informasi yang sudah kami dapatkan dari tempat lain atau mengaku lupa.
Livi lupa kisah film pendek pertamanya. Livi lupa judul film-film Bruce Lee, yang menurut pengakuannya sendiri telah membuatnya jatuh cinta kepada sinema. Livi lebih menyukai film-film Teguh Karya dibanding Syumanjaya atau Usmar Ismail, tetapi tak bisa memberikan alasan selain “Ya, lebih suka aja.”
Kedua, Livi fasih membicarakan serba-serbi teknis produksi film, misalnya mencari lokasi-lokasi berpemandangan elok, namun kelimpungan saat diajak membahas urusan-urusan konseptual.
Adam bertanya, “Siapa sutradara yang kamu ingin ikuti jejaknya?”
“Ya, tadi itu, Bruce Lee,” jawab Livi.
Tahan sebentar. Hanya ada satu film yang diselesaikan Bruce Lee sebagai sutradara: Way of The Dragon (1972). Adapun Fist of Fury (1972) dan Enter the Dragon (1973), mahakaryanya sebagai aktor, masing-masing disutradarai oleh Lo Wei dan Robert Clouse.
Dua karya Livi, Brush with Danger dan Insight–yang diberitakan “akan segera tayang di bioskop” sejak 2016 namun tak kunjung beres–merupakan film laga. Jika Livi memilih model berdasarkan keberhasilan menyutradarai film aksi, kenapa bukan Tsui Hark atau John Woo?
Itu pertanyaan iseng-iseng saja, maka saya tak menyampaikannya kepada Livi. Yang saya tanyakan: “Kalau hanya bisa menyutradarai satu film saja seumur hidupmu, karya seperti apa yang akan kamu buat?”
“Bali: Beats of Paradise,” jawab Livi.
Aduh.
Tentang visi besarnya sebagai sutradara, Livi memberi jawaban yang sedikit lebih panjang namun tak kehilangan daya pukaunya: “Saya sedih banyak orang yang belum tahu Indonesia,” katanya. “Saya ingin membantu memperkenalkan Indonesia ke masyarakat dunia.”
Ketiga, Livi tampak gusar menjelang akhir wawancara kami. Menurut Joan, yang mengantarkannya sampai ke mobil, Livi membanting laptopnya sesaat setelah memasuki Toyota Alphard putih itu. Mungkin dia jengkel lantaran khawatir terlambat ke pertemuan berikutnya, seperti dikatakannya berulang-ulang saat berusaha menelepon sopirnya. Namun, mungkin pula pembicaraan kami sebelum itu mengesalkannya.
Tak lama setelah alat perekam dimatikan, Livi sekonyong-konyong meminta agar kami tak mempercayai “hoaks-hoaks” tentang dirinya. Dia tak berkenan menyebutkan hoaks itu barang sebiji, maka saya mengatakan “apa, sih, hoaksnya?” dan “kasih tahu, dong” berulang-ulang, dengan kegigihan anak kecil yang minta dibelikan Kinder Joy.
Apakah “hoaks-hoaks” itu tulisan-tulisan Limawati Sudono untuk GeoTimes, yang membuat Livi kini dibicarakan dengan cara berbeda?
Di Twitter, sutradara Joko Anwar menyebarkan tautan artikel Limawati sambil berkomentar, “Ini tidak akan terjadi dan orang-orang seperti ini tidak akan ada kalau wartawan mau cek dan ricek.” Sutradara Ernest Prakasa melakukan hal yang sama, dengan komentar yang lebih ringkas, “Dibaca yuk.”
Sebagaimana banyak orang lain, terutama para wartawan, saya berterima kasih untuk apa-apa yang telah dilakukan Limawati. Paling sedikit, dia menunjukkan bahwa kita tak semestinya silau di hadapan “reputasi internasional,” lebih-lebih yang kebenarannya belum teruji.
Salah satu jurnalis yang mengikuti jalan Limawati ialah Stella Azasya dari IDN Times. Dalam laporannya, Stella mengisahkan bagaimana Livi menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan hasil risetnya. “Livi ingin wawancara dihentikan bahkan sebelum kami memulai. Boro-boro bertanya soal artikel yang diterbitkan GeoTimes, soal pernyataannya yang mengatakan berita itu ‘tidak akurat’ saja dia enggan menjawab rinci,” tulisnya.
Gunawan Witjaksono dan Jejaring Perusahaan
“Kalau begitu, biar Bing yang menjelaskan,” kata Slamet Rahardjo setelah saya menyampaikan keterangan-keterangan Mawardi dan Kartini kepadanya. “Dia harus bertanggung jawab,” ujarnya. “Kasihan Livi. Anak itu punya masa depan.”
Tetapi, mula-mula, siapakah Gunawan Witjaksono alias The Hok Bing?
17 April 2006, Tempo menerbitkan serangkaian laporan investigasi tentang Gunawan dan pengembangan wilayah Kemayoran. Perusahaan Gunawan mendapatkan hak untuk membangun lahan seluas 17,6 hektare. Urusan ini ditampilkan Tempo sebagai soal gawat yang melibatkan tokoh-tokoh besar, dana pensiun para pekerja yang tak berdaya, serta rencana ambisius untuk membangun pusat bisnis di jantung Jakarta.
Tulisan berjudul “Akal Busyukus di Kemayoran” menyebut Gunawan sebagai “pengusaha minim modal yang berselingkuh dengan kekuasaan.” Tetapi itu sudah. Sukar sekali menemukan kabar lanjutan tentang Gunawan dan kegiatannya di Kemayoran. Gunawan pun pelan-pelan terlepas dari perhatian publik.
Satu dekade kemudian, ketika Kontan memberitakan tuntutan perusahaan properti PT Wisma Aman Sentosa (WAS) terhadap mitra-mitranya sesama pemilik PT Oceania Development (PT OD)–pemegang hak membangun lahan seluas 26 hektare di Kemayoran–jalan menuju Gunawan terbuka kembali.
Menurut dokumen-dokumen perusahaan keluaran Ditjen AHU Kemenkumham, Gunawan Witjaksono menguasai 18.778 lembar saham PT WAS dengan nilai keseluruhan Rp18,7 miliar meski tanpa jabatan. Direktur perusahaan tersebut, Sinta Kurniati Arifin, hanya kebagian saham selembar, sejuta rupiah, sementara komisarisnya Indri Ristiansyah tak mendapat jatah.
Pola serupa terjadi pula pada PT NAM Mitra, bekas tempat kerja Mawardi dan Kartini. Di perusahaan itu Sinta menjabat sebagai komisaris dan Indri sebagai direktur. Saham Sinta, sekali lagi, selembar dengan nilai sejuta saja.
Hampir seluruh saham NAM Mitra, dengan nilai Rp999 juta, dipegang oleh PT Rukmi Sanghya (PT RS), dan hampir seluruh saham PT RS senilai Rp650 juta dikuasai oleh Gunawan Witjaksono. Dalam perusahaan ini Sinta menjabat sebagai direktur dengan kepemilikan saham dua lembar seharga dua juta rupiah, ditemani komisaris tanpa saham bernama Moses Fernandez da Silva.
Nama terakhir disebut-sebut dalam laporan Tempo “Dari Apartemen, The Hok Bing Melangkah…” sebagai penasihat hukum PT Dana Pensiun Perkebunan Nusantara (PT Dapenus) yang kemudian malah bekerja untuk Gunawan.
Sinta dan Indri, menurut Mawardi dan Kartini, adalah orang-orang kepercayaan Gunawan di NAM Centre. Indri merangkap jabatan kepala divisi legal, sedangkan Sinta menjadi manajer Livi Zheng. Nama Sinta juga tercatat sebagai narahubung PT Negara Agung Film, rumah produksi yang menggarap Bali: Beats of Paradise.
Jika Sinta dan Indri menempati pos-pos utama perusahaan Gunawan yang terdaftar secara resmi di Indonesia, Lilik Juliati memainkan peran penting sebagai perantara (intermediary) dalam jejaring perusahaan lepas pantai (offshore) di British Virgin Island.
Pangkalan data “Offshore Leaks,” dikelola oleh International Consortium of Investigative Journalists, mencatat ada enam entitas bisnis yang terhubung dengan Lilik. Saya hanya akan membicarakan dua yang saya anggap paling signifikan.
Pertama, High Return Capital Ltd, di mana Gunawan Witjaksono menjadi pemegang saham sekaligus beneficial owner. Selaku beneficial owner, menurut hukum perdagangan, seseorang berhak menikmati keuntungan-keuntungan atas kepemilikan aset tanpa perlu dicatat sebagai pemilik resminya.
Gunawan juga menjadi pemegang saham “nominee” di Sharecorp Limited. Istilah itu menunjukkan bahwa seseorang terdaftar sebagai pemegang saham pada dokumen suatu perusahaan, tetapi tidak memiliki kekuasaan nyata atas perusahaan atau untuk mengklaim asetnya. Ini praktik umum untuk menyembunyikan identitas pemilik saham sebenarnya.
Yang kedua adalah Wide Profitline Inc. Sekalipun dinyatakan berstatus “Struck/Defunct/Deregistered,” laman tentang perusahaan ini tetap menampilkan nama-nama orang dan perusahaan yang pernah terdaftar sebagai pengurus serta pemegang sahamnya.
Ada nama tiga orang Indonesia yang secara terang-terangan dicantumkan sebagai pemilik saham Wide Profitline. Mereka adalah Roy Gosjen, Ahmaddin Ahmad, dan Hong Usman Effendy.
Roy Gosjen merupakan pendiri PT Istana Makmur Sejahtera (IMS-Group). Sementara itu, Ahmaddin dan Effendy adalah komisaris dan komisaris utama PT Pelita Propertindo Sejahtera (PT PPS). Namun, tak seperti Sinta atau Indri di perusahaan-perusahaan Gunawan Witjaksono, Ahmaddin dan Effendy memperoleh masing-masing 11 ribu lembar saham PPS senilai Rp11 miliar.
PT PPS membangun Apartemen Palazzo di Kemayoran. Namun, pada 2010, 41 orang pembeli Apartemen Palazzo menggugat perusahaan tersebut, sebab apartemen tak kunjung dibangun walaupun sudah disomasi berulang kali.
Dalam putusan pengadilan nomor 236K/Pdt.Sus/2010, majelis hakim menyatakan PT PPS telah pailit. Setahun kemudian, perkara masih mengejar Effendy. Kejaksaan Agung menetapkannya sebagai tersangka karena menyalahgunakan lahan untuk rusun Perum Perumnas menjadi lokasi pembangunan apartemen Palazzo.
Masih soal Apartemen Palazzo, PT IMS juga digugat PT Dana Pensiun Perkebunan (PT Dapenbun) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Oktober 2011. Putusan majelis hakim, dua bulan kemudian: 164 unit Apartemen Palazzo PT IMS adalah milik Dapenbun yang telah dibayar lunas. Dapenbun juga berhak atas denda keterlambatan penyerahan apartemen oleh PT IMS.
Saat membangun Apartemen Palazzo, PT PPS bermitra dengan PT OD yang saham terbanyaknya (50%) waktu itu dikuasai Lilik Juliati. Kemudian berturut-turut Ahmaddin Ahmad (30%) dan Hong Usman Effendy (10%)
Dalam rapat panitia kerja aset-aset negara di Komisi II DPR, 5 Oktober 2010, proyek apartemen yang macet itu dinyatakan telah merugikan negara. Kondisi pailit PT PPS berdampak kepada PT OD. Namun, Gunawan menolak tawaran dana Rp130 miliar dari perusahaan properti PT Agung Podomoro Group.
Dieqy Hasbi Widhana dari Tirto menulis, “Hingga rapat pemegang saham pada 27 Desember 2010, Gunawan masih emoh melepaskan 40% sahamnya kepada Agung Podomoro Group. Ia justru memilih agar PT PPS dibiarkan pailit.”
Kemudian pemain baru datang satu demi satu, mengucurkan dana, dan terlibat dalam rencana pembangunan Kemayoran. Berdasarkan dokumen tahun 2019 yang saya pegang, PT WAS milik Gunawan tinggal mempunyai 21% saham PT OD. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan PT Mitra Tirta Utama (PT MTU) dengan 40% saham, dan gabungan dua anak perusahaan PT Pikko Land Development (PT Lumbung Mas Sejahtera [LMS] dan PT Indo Prakarsa Gemilang [IPG]) dengan 29% saham.
Dan harus diingat pula bahwa sebagian pemilik saham PT MTU juga mempunyai saham di PT LMS dan PT IPG. Di atas kertas, Gunawan tampak kehilangan pengaruh. Mungkin ia bukan lagi yang terkuat di perusahaannya sendiri. Tetapi haruskah dia senantiasa menguasai, mengendalikan, sebagaimana terhadap putrinya?
Sebelum saya berpamitan, Slamet Rahardjo melakukan dua hal yang membuat saya terkesan. Pertama, dia mendoakan agar saya menjadi orang hebat seperti Arief Budiman atau Rosihan Anwar. Kemudian, dia memberitahu saya sumber kehebatannya sendiri, khususnya sebagai seorang aktor.
Tentu Pak Slamet tak perlu tahu bahwa saya tidak memiliki hasrat untuk menjadi hebat, sebagaimana hati saya jauh dari rasa iri. Namun, untuk orang-orang yang memerlukannya, saya dengan senang hati membagikan rahasia berharga itu di sini:
“Jangan pernah meminta, Dik. Orang harus terus memberi, memberi, memberi,” katanya.
=======
(Lihat peta interaktif jaringan bisnis Gunawan Witjaksono di sini)
=======
Laporan ini dikerjakan secara kolaboratif dengan Dieqy Hasbi Widhana, Joan Aurelia, Restu Diantina Putri, Aulia Adam, dan Fahri Salam dari Tirto.id. Kami menerima rahasia-rahasia menarik di balik karier Livi Zheng, serta menjamin kerahasiaan sumber. Sila kirim ke email: livikenzheng@protonmail.com
###