Lagi-lagi, penggrebekan di kamar hotel terjadi. Polisi, wartawan, dan anggota DPR RI Andre Rosiade ramai-ramai mendatangi sebuah kamar hotel untuk mengekspos praktik prostitusi online yang katanya sedang marak terjadi di Padang.
Andre Rosiade disebut-sebut sengaja menjebak si pekerja seks. Kapolda Sumbar Stefanus Satake Bayu Setianto mengatakan penggrebekan dilakukan atas laporan dari Andre Rosiade. “Andre ini ingin ikut serta memberantas maksiat tersebut. Ia memancing dan memesan pekerja seks komersial dengan masuk ke aplikasi MiChat melalui akun temannya. Ia pun melakukan transaksi dan disepakati harga Rp800.000 di salah satu hotel di Kota Padang,” kata Bayu, dilansir Covesia.com.
Namun, Andre membantah dirinya sengaja melakukan penjebakan. “Yang memesan adalah warga yang melaporkan adanya prostitusi online, kemudian polisi perlu bukti dan akhirnya warga itu memesan dan kemudian digrebek,” kata Andre, dilansir Kompas.com.
Pekerja seks dengan inisial NN ditangkap dan dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang ITE. Sementara itu, laki-laki yang memesan jasa tidak ikut ditangkap. Identitasnya bahkan tidak diketahui hingga kini.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan NN diperlakukan tidak adil: ia dijadikan objek dan ditahan, sementara pengguna jasa tidak mendapat perlakuan sama. Ketua Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan Andre Rosiadi seharusnya ikut diperkarakan. “Polisi seharusnya memidanakan terlebih dahulu orang yang mengatur peristiwa itu. Justru dia [Andre] yang merencanakan. Dia otaknya. Korban dijebak tapi malah dipidana,” kata Isnur, dilansir Tirto.id.
Perlindungan terhadap Pekerja Seks
Ini bukan kali pertama pihak berwenang melakukan diskriminasi terhadap perempuan sebagai pekerja seks. Pekerja seks ditetapkan sebagai tersangka dan identitasnya diekspos, sementara identitas pembeli jasa ditutup rapat-rapat.
Dalam kasus prostitusi selebritas, misalnya, nama VA dan AS selaku pekerja seks diumbar oleh pihak kepolisian dan media. Menurut Koordinator Pelayanan Hukum LBH APIK, Uli Pangaribuan, perempuan akan selalu dirugikan karena posisinya yang paling rentan. “Setiap terjadi hal-hal seperti itu yang dirugikan siapa? Perempuan. Sementara orang yang memesan kena, nggak? Nggak. Karena perempuan paling gampang untuk dikriminalisasi. Dia kelompok rentan,” kata Uli kepada Asumsi.co lewat telepon (6/2).
Uli mengatakan prostitusi bukanlah persoalan moral, tetapi supply and demand. “Selama ada supply and demand, nggak mungkin dihapus. Yang meminta paling banyak siapa sih? Laki-laki, kan?” tutur Uli.
Selama demand tersebut ada, persoalan yang perlu disorot adalah keselamatan para pekerja seks. Legal atau tidak legalnya prostitusi bukan lagi soal menghukum dan mengkriminalisasi pekerja seks, tetapi memastikan mereka bekerja dalam keadaan aman dan terlindungi. “Kasih aturan regulasi yang bisa melindungi perempuannya. Bukan mengkriminalisasi,” lanjut Uli.
Menurut Human Rights Watch, misalnya, kriminalisasi prostitusi hanya akan melanggengkan stigma negatif kepada pekerja seks dan membuat hidup mereka berada dalam bahaya. Dalam praktiknya, mengkriminalisasi pekerja seks komersial membuat mereka lebih rentan menerima kekerasan dalam bentuk pemerkosaan, pelecehan, hingga pembunuhan. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh klien atau orang yang berpura-pura menjadi klien, tetapi juga oleh aparat penegak hukum.
Pekerja seks tidak bisa melaporkan kasus pemerkosaan atau perampokan yang mereka alami ke polisi, sebab mereka kerap dianggap tidak serius, atau berakhir ditangkap karena melakukan aktivitas ilegal. Bahkan, Human Rights Watch menemukan bahwa polisi justru turut melecehkan, memeras, dan memerkosa pekerja seks. Dampaknya, pekerja seks kerap mencari lokasi-lokasi tidak aman ketika bekerja demi menghindari polisi.
Studi “Sex Workers at Risk: Condoms as Evidence of Prostitution in Four US Cities” (2012) juga menunjukkan bahwa pekerja seks enggan untuk membawa kondom selagi bekerja. Sebab, kondom kerap dijadikan barang bukti oleh pihak berwenang untuk menangkap dan memidana pekerja seks. Akhirnya, pekerja seks rentan tertular HIV dan penyakit menular seksual lain karena berhubungan seks tanpa proteksi.
Oleh karena itu, menurut Human Rights Watch, mendekriminalisasi prostitusi adalah solusi yang efektif. Dengan melegalkan prostitusi, hak-hak pekerja seks dilindungi. Mereka dapat mengakses layanan kesehatan dan perlindungan hukum.
Human Rights Watch juga menekankan kerja seks tidaklah sama dengan perdagangan manusia dan eksploitasi anak di bawah umur. Selama hubungan seks dilakukan secara konsensual oleh sesama orang dewasa, aktivitas seksual mereka tidak dapat dikriminalisasi. Selain Human Rights Watch, UN Women, Amnesty International, dan WHO juga mendukung dekriminalisasi kerja seks.
Kriminalisasi Pembeli Jasa
Ada pula yang menganggap dekriminalisasi kerja seks tidak benar-benar melindungi pekerja seks. Negara-negara Nordik seperti Swedia, Norwegia, dan Islandia memilih untuk melindungi pekerja seks dengan mengkriminalisasi pembeli. Negara Kanada, Perancis, Irlandia, dan Israel juga turut mengadopsi peraturan ini.
Menurut peraturan yang dinamakan model Nordik ini, relasi kuasa antara pekerja seks dan pembeli tidak pernah setara. Apalagi, pekerja seks kebanyakan adalah perempuan, sementara klien mereka sebagian besar adalah laki-laki—membuat ketimpangan gender yang berujung eksploitasi berisiko terus terjadi.
“Kalau memang mau menjerat, ya, harus jerat pelakunya dan muncikari. Jangan hanya perempuan yang dikorbankan,” tutur Uli.
Model Nordik ini didasarkan pada empat pilar: mengkriminalisasi pembeli, mendekriminalisasi pekerja seks, memfasilitasi dan memberdayakan pekerja seks sehingga dapat keluar dari prostitusi, dan meningkatkan awareness kepada publik. Harapannya, dengan mengkriminalisasi klien atau pembeli jasa, prostitusi bisa dihapuskan—atau setidaknya berkurang—tanpa mencelakakan dan menambah stigma negatif terhadap pekerja seks.
Julie Bindel dalam The Guardian mengatakan bahwa pekerja seks rentan dieksploitasi oleh muncikari atau germo mereka—dan dekriminalisasi prostitusi tidak melindungi pekerja seks dari itu. “Meligitimasi perdagangan seks dengan menghapus seluruh penalti kriminal bagi muncikari, pemilik bordil, dan pembeli tidak akan membantu siapa-siapa kecuali pihak pengeksploitasi,” kata Bindel.
Hasil studi Universitas Dipenogoro “Memutus Mata Rantai Praktik Prostitusi di Indonesia Melalui Kriminalisasi Pengguna Jasa Prostitusi” (2019) juga menganggap prostitusi tidak dapat disamakan dengan pekerjaan biasa. Sebab, prostitusi telah mereduksi individu menjadi komoditas. Oleh karena itu, mata rantai prostitusi mesti diputus dengan menurunkan permintaan atau demand dari pembeli jasa. Pada saat yang bersamaan, pekerja seks mesti didukung dan difasilitasi untuk keluar dari perdagangan seks melalui program-program pemulihan dan pemberdayaan.
Pro dan kontra terkait dekriminalisasi atau kriminalisasi masih terus berlangsung hingga kini. Beberapa menganggap model Nordik menimbulkan dampak negatif pada pekerja seks. “Ketika kamu mengklaim telah mendekriminalisasi pekerja seks tetapi masih mengkriminalisasi semua aspek lain di hidupnya, kamu masih membuat hidup mereka dalam bahaya,” kata aktivis perempuan di New York, dilansir Vox.com.
Sementara itu, asisten profesor sosiologi kesehatan masyarakat, Pippa Grenfell, mengatakan dekriminalisasi memang penting dan dibutuhkan, tetapi aspek-aspek lain juga mesti dibenahi. “Aksi politik lebih luas dibutuhkan untuk menghapus ketimpangan, stigma dan pengucilan yang dihadapi pekerja seks. Tak hanya di sistem keadilan kriminal, tetapi juga di sektor kesehatan, kekerasan rumah tangga, perumahan, kesejahteraan, pendidikan, lapangan pekerjaan, pendidikan, dan sektor imigrasi,” kata Grenfell dalam The Guardian.
Apa pun itu, orientasi peraturan terkait legalisasi prostitusi bukan lagi soal azab dan bencana alam, tetapi mesti berperspektif pekerja seks itu sendiri. Mengkriminalisasi pekerja seks, entah itu perempuan, transgender, dan laki-laki, tidak akan membuat “profesi tertua di dunia” ini benar-benar hilang. Masalah-masalah tambahan justru akan muncul: meluasnya penyebaran HIV, diskriminasi terhadap pekerja seks, hingga risiko kekerasan yang berakhir mengancam nyawa.
“Kenapa perempuan yang dikriminalisasi? Dia hanya bekerja dan dibayar. Kalau misalnya nggak banyak demand juga saya rasa akan berkurang, kan. Mereka [pekerja seks] adalah warga negara, ikut bayar pajak. Hak-hak mereka harus ikut diakomodir,” tegas Uli.