Pergerakan lembaga survei mulai bermunculan dengan gaya masing-masing di tahun politik ini terutama jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Ada lembaga survei yang bisa dipercaya dengan tingkat akurasi hasil survei yang tinggi dan ada juga yang mencurigakan. Tak lupa, juga ada hal-hal yang memang perlu diperhatikan terhadap sebuah hasil survei politik.
Terlepas dari apapun hasil survei politik misalnya, ternyata ada satu bagian yang amat penting keberadaannya dari sebuah survei yakni data mentah. Terkait hal ini, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pun menyarankan agar lembaga survei di Indonesia mau membuka data mentah dari setiap survei yang dirilis. Tujuannya jelas yakni untuk memperlihatkan sisi transparansi survei tersebut.
“Jadi, ada hal yang penting dilakukan yakni berani atau tidaknya sebuah lembaga survei untuk membuka data mentahnya dari setiap hasil survei yang dirilis. Biar bisa dibaca publik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Agar bisa dibuktikan transparansinya,” kata Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte di sela Workshop Jurnalis Melek Politik yang digelar AJI Jakarta, Persepi, dan CSIS di Pakarti Center, Jakarta Pusat, Jumat, 16 November 2018.
Menurut Philips, keterbukaan sebuah lembaga survei terhadap publikasi data mentahnya sudah dilakukan di luar negeri dan memang sudah biasa. Namun, hal itu belum terjadi di lembaga-lembaga survei Indonesia. Maka dari itu, sekali lagi ia menegaskan bahwa data mentah memang sangat penting di publikasikan.
“Survei itu kan harus transparansi, ada cara lain yang lebih efektif dan bermanfaat untuk banyak hal agar dimuat dan orang-orang bisa mengkaji, ya siapa pun yang merilis ke publik berarti mereka patut menyertakan data mentahnya itu,” ujar sosok yang juga ketua Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) itu.
Philips pun mengatakan bahwa pentingnya untuk membuat data mentah terpublikasi kepada publik secara terbuka, yang tujuannya pun cukup jelas yakni agar publik mengetahui kredibilitas sebuah lembaga survei. Ia pun menyarankan agar KPU bisa membuat peraturan untuk lembaga survei agar mempublikasikan data mentah survei yang dilakukan oleh lembaga survei tersebut.
“Apalagi dalam konteks event-event penting seperti pilpres itu bisa melalui KPU, dan “KPU bisa membuat kewajiban bagi lembaga survei yang merilis hasil surveinya dengan menyertakan data mentahnya, survei itu kan harus transparansi,” ucapnya.
Baca Juga: Hasil Survei Politik, Sebuah Tolak Ukur Namun Bukan Penentu Kemenangan Pemilu
Selain itu, Philip juga juga menyarankan agar Badan Pusat Statistik (BPS) juga bisa mengambil peran terutama untuk membuka dan mengratiskan data-data yang memiliki dampak luas kepada masyarakat. Ia menilai data tersebut dapat dikritisi oleh masyarakat sebagai data pembanding untuk melihat suatu kebijakan atau klaim khusunya menjelang Pemilu. “Data sensus dan BPS harusnya dapat diakses secara gratis dan dibuka karena gunakan pajak,”katanya.
“Misalnya saja sensus tentang lapangan kerja yang harusnya bisa dibuka dan gratis, akibatnya kebijakannya dapat dikritisi oleh publik,” ujarnya.
Di sisi lain, ternyata hasil sebuah survei politik belum tentu bisa mempengaruhi persepsi publik dalam menentukan pilihan terhadap calon pemimpinnya. Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, yang menilai sikap seseorang atau masyarakat terhadap pilihan politiknya bukan berasal dari hasil sebuah survei.
“Jadi begini ya, intinya, kalau dari data yang kami rilis, lembaga riset, lembaga survei itu enggak punya dampaknya terhadap perilaku pemilih di tingkat massa. Pertama, jelas masyarakat atau pemilih yang mengakses hasil survei jumlahnya enggak banyak. Mereka yang peduli dengan hasil survei kan hanya sebagian kecil dari populasi pemilih saja,” kata Burhan di sela acara yang sama di Kantor CSIS di Pakarti Center, Jakarta Pusat.
Burhan pun lanjut menjelaskan faktor kedua, bahwa hasil survei dari sebuah lembaga survei masing-masing punya perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Kondisi itu pun jadi salah satu alasan mengapa akhirnya hasil survei tersebut tidak menyeluruh di masyarakat.
“Kedua, hasil survei dari lembaga survei kan beda-beda, jadi terjadi pluralitas hasil survei, dan membuat dampak rilis satu lembaga survei enggak bersifat homogen. Jika itu terjadi, maka memang lembaga survei tidak punya dampak ke perilaku pemilih,” ujarnya.
Lebih jauh, Burhan membeberkan bahwa dua faktor tersebut sudah terbukti dengan adanya dua teori yakni yaitu teori bandwagon effect dan underdog effect. Perlu diketahui bahwa kedua teori tersebut bisa menjelaskan mengenai perilaku atau sifat pemilih. Kedua teori tersebut punya perbedaan jelas.
Bandwagon effect adalah perilaku pemilih yang memilih calon presiden atau partai politik yang dianggap pemilih ikut ke rombongan pemenang. Sementara underdog effect adalah pemilih yang cenderung memilih calon presiden atau kepala daerah atau parpol yang selalu diposisikan kalah menurut lembaga survei.
“Seperti kita lihat bahwa banyak lembaga survei yang memprediksi si calon atau partai politik akan mendapat suara rendah sehingga pemilih cenderung bersimpati kepada parpol yang suaranya kecil. Nah, pertanyaannya, apakah itu terbukti? Data saya enggak menunjukkan itu,” ujarnya.
“Jadi data saya menunjukkan, baik underdog maupun bandwagon effect tidak bekerja untuk menarik perilaku pemilih di tingkat pasar,” katanya.