Sudah hampir delapan bulan, suasana mencekam di Kabupaten Nduga, Papua, tak kunjung reda. Sejak peristiwa penembakan 31 pekerja Trans Papua pada Desember 2018 lalu, Nduga masih rawan bentrok antara kelompok bersenjata dengan aparat TNI-Polri. Terbaru, satu personel TNI tewas tertembak.
Prada Usman Hambelo dilaporkan tewas di Nduga pada Sabtu (20/07/19) pukul 14.10 WIT. Peristiwa penembakan ini berawal saat aparat pengamanan pembangunan jembatan Sungai Yuguru, Kabupaten Nduga, yang menjadi bagian dari proyek Trans Papua, sedang istirahat diserang oleh kelompok bersenjata dari semak belukar.
Kelompok bersenjata itu muncul sangat dekat, sekitar 300 meter, dari lokasi peristirahatan prajurit. “Kejadiannya sangat singkat. Serangan dilakukan dengan tembakan berentet secara hit and run. Pelaku diperkirakan 4-5 orang,” kata Kapendam XVII Cenderawasih, Kolonel Infanteri Muhammad Aidi, pada Minggu (21/07).
Pasukan TNI berusaha membalas tembakan dan melakukan pengejaran terhadap kelompok bersenjata itu. Namun, dengan pertimbangan keamanan karena medan belukar yang sangat tertutup dan banyak jurang yang curam, pengejaran dihentikan.
Setelah serangan itu, pasukan TNI kemudian melakukan konsolidasi dan pengamanan kawasan setempat. Setelah dilaksanakan pengecekan personel, ternyata satu orang prajurit atas nama Prada Usman Hambelo mengalami luka tembak di bagian pinggang sebelah kanan.
Baca Juga: Kronologi 31 Pekerja Trans Papua Ditembak Mati KKB
Kejadian tersebut segera dilaporkan ke satuan atas untuk mendapatkan bantuan helikopter dalam rangka evakuasi, karena satu-satunya sarana angkutan menuju ke TKP hanya dengan helikopter. “Namun karena cuaca hujan di wilayah Nduga, proses evakuasi tidak dapat dilaksanakan hingga malam hari,” kata Aidi.
Berdasarkan laporan dari lokasi, pada pukul 14.10 WIT Prada Usman Hambela akhirnya mengembuskan napas terakhir.
Anggota KontraS Divisi Internasional Fatia Maulidiyanti menyebut konflik bersenjata yang terus berulang di Nduga berdampak buruk terhadap masyarakat. Sampai hari ini, banyak masyarakat Nduga terpaksa mengungsi dari wilayahnya dan tinggal di tempat-tempat yang sangat tidak layak.
“Isu ini kan sudah lama, sejak delapan bulan yang lalu. Kemudian kasus ini terus tereskalasi, karena ini sebenarnya tuh berangkat dari adanya dispute antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dengan TNI Polri di sana,” kata Fatia saat berbincang dengan Asumsi.co, Selasa (23/07/19). “Data terakhir itu ada sembilan anggota militer yang jadi korban penembakan, itu datanya per dua hari yang lalu ya.”
Eskalasi konflik itulah yang berdampak buruk kepada masyarakat Nduga. Fatia mengatakan, “Pada akhirnya menimbulkan beberapa bentuk kekerasan kayak penembakan, pembunuhan, penculikan, dan lain sebagainya. Sekarang itu sudah terdapat sekitar 5.000 pengungsi di rumah-rumah warga.”
Fatia menjelaskan bahwa pengungsi tersebut bukan ditampung di shelter pengungsi atau kamp, tapi di tempat yang bukan khusus pengungsi, sehingga tidak layak untuk ditinggali. “Mereka memang mengungsi di rumah-rumah warga dan itu memang sangat nggak proper karena di satu rumah itu bisa berisi 30 orang, bahkan ada yang mencapai ratusan orang di satu rumah,” ujar Fatia.
Menurut Fatia, 5.000 pengungsi itu bukan jumlah sebenarnya, karena diduga ada sekitar 30.000 pengungsi internal yang ada di sana. Sisa pengungsi yang belum terdeteksi itu disinyalir masih tinggal di hutan-hutan karena merasa takut.
“Lebih parahnya lagi yang jadi korbannya itu adalah anak di bawah umur. Jadi beberapa anak di bawah umur juga jadi korban penembakan, jadi juga ada yang jadi child soldier gitu. Mereka sudah disuruh pegang senjata.”
Tak hanya itu, selain anak-anak, Fatia menyebut juga ada perempuan yang juga menjadi korban kekerasan di sana. Terlebih lagi masih banyaknya shelter dan jumlah pengungsi yang tidak terkoordinir.
“Waktu itu ada sekolah buat anak-anak emergency dan itu dihancurin oleh orang yang tidak diketahui. Nah dari situ, ibu-ibu dikasih trauma healing kayak terapi tapi cuma bikin noken.”
Baca Juga: Daftar Catatan Merah Kekerasan di Nduga Papua
Sayangnya, menurut Fatia, trauma healing tersebut terfokus untuk anak dan perempuan atau ibu saja, tapi tidak ke kalangan bapak-bapak di sana. Padahal secara umum, lanjut Fatia, seluruh masyarakat di sana sangat butuh trauma healing karena mereka masih sangat takut bahkan untuk bepergian keluar rumah atau ke rumah sakit untuk berobat sekalipun.
Fatia menyebut KontraS bersama beberapa organisasi di Papua seperti KontraS Papua, serta Tim Relawan Nduga, Amnesty International Indonesia, AJAR, KontraS, dan YLBHI, terus memantau kasus kekerasan di Nduga. “Pada akhirnya Tim Relawan Nduga ini terbentuk. Itu tujuannya adalah untuk membangun kayak sekolah emergency, terus juga buat ngasih makanan, dan sebagainya. Kemarin juga sempat ada bantuan dari PMI daerah untuk ngasih makanan dan lain-lain.”
Namun, hingga saat ini bantuan tersebut masih terpusat di beberapa distrik saja sehingga tidak semua distrik yang mendapatkan humanitarian aid tersebut. Fatia menyebut ada sekitar 39 distrik yang ada di sana dan bantuan tersebut hanya terpusat di beberapa belas distrik saja.
“Itu kan tanggung jawab pemerintah pusat ya, salah satu yang jadi kendalanya mungkin yang pertama dari sisi dana karena kalau soal akses, itu akses di sana sudah baik. Yang kedua, mereka memang cuma memusatkan itu di kota-kota dan nggak berani masuk ke hutan karena terjalnya medan.”
Selain itu, bantuan tersebut juga, lanjut Fatia, belum berkelanjutan dan sudah berhenti. “Makanya sekarang itu banyak banget anak kecil terutama yang jadi kelaparan dan timbul penyakit yang disebabkan kurangnya pasokan makanan higienis, malnutrisi, lalu ada yang kena ISPA juga karena di Wamena itu ada tambang gitu.”
Fatia menyebut minimnya informasi dan pemberitaan soal konflik di Nduga memang dikarenakan tak ada akses masuk bagi jurnalis sehingga tak ada peliputan di sana. “Jadi nggak ada informasi terkait progres di Nduga setelah kemarin ada konflik antara TPNPB dengan aparat TNI Polri. Makanya nggak ada jurnalis yang bisa ngeliput kekerasan yang ada di sana.”
“Wartawan domestik saja nggak bisa masuk, apalagi wartawan asing. Itu jadi salah satu kendala kenapa informasi Nduga itu tidak jalan. Jadi Nduga ini seperti daerah yang terisolasi, nggak ada akses informasi, akses kemanusiaan pun sulit, dan tertutup banget.”
Fatia pun menyayangkan karena pemerintah tidak mau menyebut operasi yang dilakukan di Nduga itu sebagai operasi militer tapi sebagai operasi keamanan. Padahal dari unsur-unsurnya, lanjut Fatia, operasi di Nduga merupakan operasi militer yang dulu dilakukan seperti tahun 1998.
Lantaran konflik di Nduga ini sudah berkepanjangan dan tak ada tanda akan berakhir, Fatia menyebut berbagai organisasi koalisi pun bakal mempersiapkan rekomendasi. Nantinya, rekomendasi itu untuk mendesak negara segera mengambil tindakan untuk menghentikan eskalasi konflik.
“Sampai sekarang belum ada bantuan khusus lagi sebenarnya dari pemerintah pusat untuk bantuan kemanusiaan ke sana. Makanya kemarin teman-teman dari Papua juga sudah datang ke Jakarta dan ketemu dengan beberapa instansi negara salah satunya ke Komnas HAM.”
“Kita ingin Komnas HAM mendorong rekomendasi-rekomendasi untuk penyelesaian konflik bisa segera diberikan ke pemerintah. Komnas HAM juga akan menginisiasi pertemuan dengan beberapa organisasi internasional kayak IOM, UNHCR, ICRC, untuk memberikan bantuan kemanusiaan di Nduga.”
Selain itu, Fatia menyebut organisasi koalisi juga meminta pemerintah untuk segera memberikan bantuan kemanusiaan. Selain itu, yang lebih penting adalah harus ada mediasi seperti negosiasi di antara kelompok bersenjata tersebut dengan TNI-Polri.
“Ini harus segera dimediasi. Jadi harus ada pakta perdamaian antara aparat dengan kelompok bersenjata, karena ini yang membuat masyarakat di sana itu terdampak paling besar oleh kelompok-kelompok tersebut,” kata Fatia.