Isu Terkini

Komnas HAM: RUU Cipta Kerja adalah Kemunduran Besar bagi Demokrasi Indonesia

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI merekomendasikan agar pembahasan RUU Cipta Kerja dihentikan. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, lembaga itu menemukan setidaknya ada 10 poin yang menjadi permasalahan dalam RUU ini—masing-masing berkaitan dengan proses penyusunan yang tidak partisipatif, melanggar asas hukum, dan berpotensi untuk melanggengkan pelanggaran HAM.

Pertama, Komnas HAM menilai prosedur dan pembentukan RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011 tentang “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” pembentukan peraturan perundang-undangan mesti berbasis pada asas keterbukaan.

Kedua, terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior: Pasal 170 ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja menyatakan bahwa peraturan pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat undang-undang jika muatannya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja.

Ketiga, RUU Cipta Kerja akan membutuhkan setidaknya 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif. Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga menilai banyaknya peraturan pelaksana yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif ini berpotensi memicu terjadinya penyelewengan kekuasaan.

“Dari catatan yang kami dapatkan, pembentukan 516 peraturan delegasi ini terdiri atas 493 peraturan pemerintah, 19 peraturan presiden, dan 4 peraturan daerah. Jadi bisa dibayangkan begitu banyaknya peraturan yang nanti akan dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini di bawah presiden. Jadi, kewenangan kekuasaan presiden akan tinggi sekali,” ujarnya dalam konferensi pers (13/8).

Keempat, Komnas HAM menilai tidak ada jenis undang-undang yang sifatnya lebih tinggi dari undang-undang lainnya. Sementara itu, RUU Cipta Kerja yang menjadi payung bagi undang-undang lain seolah menjadi lebih superior, sehingga berpotensi menimbulkan kekacauan tatanan dan ketidakpastian hukum.

“Indonesia tidak mengenal undang-undang payung. Dalam UU No. 12 Tahun 2011, kita tahu di bawah Undang-undang Dasar adalah langsung Undang-undang. Tidak ada istilah Undang-undang payung. Kalau nanti ada, UU ini statusnya di mana? Bagaimana kedudukan dari UU Cipta Kerja ini nantinya? Ini persoalan yang utama.”

Kelima, RUU Cipta Kerja disebut sebagai kemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Hal ini terkait dengan isi RUU yang membuka seluas-luasnya praktik perjanjian kerja kontrak atau kerja waktu tertentu (PKWT), kemudahan dalam proses PHK, penurunan standar upah dan cuti, dan kemunduran dalam perlindungan hak untuk berserikat dan berorganisasi.

Keenam, kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat melemah. Hal ini tercermin dari ketentuan yang mengubah “izin lingkungan” menjadi “persetujuan lingkungan”, berkurangnya kewajiban AMDAL bagi kegiatan usaha, pendelegasian uji kelayakan lingkungan kepada pihak swasta, dihilangkannya Komisi Penilai AMDAL, dan perubahan konsep pertanggungjawaban mutlak yang mengurangi tanggung jawab korporasi dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

“Dengan adanya syarat AMDAL saja, masih banyak persoalan perusakan lingkungan akibat aktivitas proyek besar yang kita hadapi. Kalau AMDAL ditiadakan, akan begitu banyak perusahaan yang diduga tidak layak dari segi lingkungan tetap bisa beroperasi di Indonesia. Bisa bayangkan kerusakan lingkungan yang akan terjadi,” jelas Sandra.

Ketujuh, RUU Cipta Kerja memberikan wewenang untuk melakukan relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi atau lembaga yang mengawasi kebijakan tata ruang dan wilayah. Akibatnya, terdapat potensi untuk membahayakan keserasian dan daya dukung lingkungan hidup.

Delapan, Komnas HAM menilai RUU Cipta Kerja melakukan pemunduran atas upaya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kepemilikan tanah yang diatur dalam Undang No. 2 Tahun 2012 terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Objek yang bisa masuk dalam kategori kepentingan umum diperluas, padahal tidak terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak. Prosedur penitipan uang ganti kerugian ke Pengadilan Negeri juga dipermudah, sehingga berpotensi memicu meluasnya penggusuran paksa atas nama pembangunan.

“Sebagaimana kita tahu, mayoritas warga kita di pedesaan itu tidak punya surat sertifikat [bukti kepemilikan formal], tapi bukan berarti mereka bukan pemiliknya. Bisa dibayangkan betapa seriusnya, dampaknya bagi petani-petani kita, bagi masyarakat adat di pedesaan.”

Sembilan, Komnas HAM juga menilai RUU Cipta Kerja memperlebar ketimpangan akses dan kepemilikan sumber daya alam antara masyarakat dan korporasi. Kewajiban bagi korporasi untuk membangun kebun plasma untuk masyarakat sebesar setidaknya 20% dari luas izin HGU dihapuskan. Begitu pula dengan luas pengelolaan tanah yang tidak dibatasi dan jangka waktu hak pengelolaan yang diberikan hingga 90 tahun.

Sepuluh, politik penghukuman dalam RUU ini dinilai diskriminatif, sebab terkesan lebih menjamin kepentingan sekelompok orang atau pelaku usaha dibandingkan publik. Sanksi pidana penjara, misalnya, diubah menjadi sanksi administrasi. Sanksi penjara baru berlaku apabila sanksi administrasi tidak dibayarkan, dan berlaku atas hukum lingkungan, penataan ruang, bangunan gedung, pangan, dan monopoli usaha.

“Kalau proses penyusunan RUU Cipta Kerja ini dilanjutkan, ini suatu kemunduran besar. Kita bertahun-tahun membangun negara ini menjadi negara yang demokratis, yang menghormati HAM, negara yang peduli dengan lingkungan. Indonesia terpilih menjadi anggota dewan HAM di PBB. Kalau ini berlanjut dan diberlakukan, saya rasa ini akan betul-betul bertentangan dengan apa yang sudah dicapai bangsa Indonesia selama 75 tahun ini,” tegas Sandra.

“Maka, Komnas HAM secara tegas merekomendasikan untuk menghentikan penyusunan suatu UU yang tidak sejalan dengan prinsip HAM dan negara hukum yang baik.”

Share: Komnas HAM: RUU Cipta Kerja adalah Kemunduran Besar bagi Demokrasi Indonesia