Tim Advokasi untuk Demokrasi menyoroti hasil laporan Komnas HAM terkait Aksi Reformasi Dikorupsi yang berlangsung pada 24-30 September 2019 lalu. Pemaparan temuan-temuan Komnas HAM dalam laporan tersebut dinilai tidak jujur, utuh, dan jelas, sehingga masih jauh dari harapan.
Aksi Reformasi Dikorupsi sendiri berlangsung di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Sejumlah tuntutan disuarakan terutama terkait Rancangan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) dan Rancangan Kibat Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Terkait aksi yang berujung ricuh itu, ada lima upaya yang dilakukan Komnas HAM. Antara lain seperti audiensi dan pengaduan; pembentukan tim pascaaksi; pemantauan lapangan; pemanggilan dan klarifikasi; serta media monitoring. Namun, hal itu dianggap tak cukup.
“Dari laporan Komnas HAM, kita tidak mendapatkan laporan dalam bentuk hard copy yang naratif. Kita hanya mendapatkan laporan dalam bentuk persentase,” kata Kepala Advokasi LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora dalam konferensi pers yang berlangsung di kantor Kontras, Kwitang, Jakarta, Jumat (31/01/20).
Nelson menyebut pihaknya masih menunggu Komnas HAM untuk membuka seterang-terangnya laporan tersebut agar bisa dilihat seperti apa narasi dari Komnas HAM. Ia menolak hanya diberikan data persentase saja, tanpa penjelasan yang harusnya jauh lebih rinci.
Dalam laporan Komnas HAM yang dikeluarkan pada 9 Januari 2020 terkait aksi tersebut, setidaknya ada total 1.489 orang di Jakarta yang ditangkap. Dari jumlah orang yang ditangkap tersebut, ada 94 orang yang berasal dari kalangan swasta, 328 orang umum, 648 pelajar, 254 mahasiswa, dan 165 orang tidak bekerja atau preman per 15 Oktober 2019.
Baca Juga: 24 September: Potret Aksi #ReformasiDikorupsi di Senayan
Dari total 1.489 orang yang ditangkap saat kerusuhan aksi berdasarkan data Polda Metro Jaya tersebut, Komnas HAM menulis para terduga pelaku adalah ‘diamankan’. Padahal dalam KUHAP tidak ada istilah diamankan. Nelson juga mengkritik penyebutan status pekerjaan peserta aksi dalam temuannya yang disebut preman atau tidak bekerja.
“Dia menyamakan orang-orang tidak bekerja sebagai preman. Memangnya orang tidak bekerja tidak boleh ikut aksi? Jika dia (demonstran) merasa RKUHP tidak sesuai dengan prinsip negara hukum, kenapa Komnas HAM menyamakan seperti itu?” ujarnya.
Menurut Nelson, Komnas HAM tidak menggunakan instrumen HAM dalam temuan ini. Misalnya menggunakan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Lalu, ada total 1.109 orang yang dibebaskan karena terbukti tidak bersalah, 92 orang diversi, 218 orang ditangguhkan, 70 orang ditahan, dan 380 orang berstatus tersangka. Lebih lanjut, dari 380 tersangka tersebut, tercatat memiliki peran yang diduga membawa senjata tajam sebanyak dua orang, hingga perusak pos polantas dan pembawa bom molotov sebanyak dua orang.
Ada pun yang melempar batu ke petugas tercatat ada 91 orang, kemudian yang mendokumentasikan dan menyebarkan peristiwa ada 17 orang, peserta aksi 133 orang, dan yang dinilai tidak mengindahkan perintah petugas ada sebanyak 133 orang. Menurut Nelson, dari laporan itu, tak satupun data yang menunjukan apa yang sudah dilakukan Komnas HAM dalam kasus tersebut.
Baca Juga: Aksi Mahasiswa 24 September 2019: Tidak Semua soal Ekonomi
Dari segi substansi, Komnas HAM dinilai kurang mengakomodasi instrumen HAM, terutama terkait data yang nyaris keseluruhannya hanya didapatkan dari pihak kepolisian saja, khususnya Polres Metro Jakarta Barat, perihal kerusuhan demonstrasi periode 24-26 September 2019.
“Di Jakarta, sumber dari Polres Metro Jakarta Barat. Bagaimana mungkin lembaga negara yang dibentuk melalui undang-undang (Komnas HAM), mendapatkan hasil temuan dari data polisi saja?” kata Nelson.
Nelson menyebut kalau Komnas HAM kesulitan mendapatkan data, maka jangan hanya ambil data dari kepolisian sepihak. Terkait hal itu, harusnya Komnas HAM bisa meminta data dari Koalisi Masyarakat Sipil sebagai penunjang, meski Nelson sendiri menyebut bahwa pihaknya sudah menyampaikan data ke lembaga tersebut.
Data yang didapat hanya dari kepolisian saja, lanjut Nelson, tentu bisa menjadi alasan kalau pihak kepolisian sendiri akhirnya akan sangat tertutup. Tetapi, Komnas HAM tak menyebutkan hal tersebut. “Komnas HAM juga menyebut bahwa “telah terjadi pelanggaran prosedur tetap (protap)” oleh kepolisian. Padahal yang terjadi adalah penyiksaan (torture) terhadap massa aksi maupun orang-orang yang mendokumentasikan aksi yang ditangkap.”
Selanjutnya, terkait kategori audiensi dan pengaduan, Nelson menjelaskan bahwa harusnya tim Komnas HAM dibentuk sebelum atau saat demonstrasi berlangsung, bukan justru pascakejadian. Hal itu hanya akan percuma karena Komnas HAM tak akan mendapatkan informasi yang aktual dan independen.
Dalam temuannya, Komnas HAM menerima sembilan audiensi tanpa menyebutkan siapa, kapan dan perihal audiensi yang dilakukan. Selain itu, pembentukan tim pun tidak diketahui jumlah anggotanya dan seperti apa mekanisme kerjanya.
Sementara itu pada kesempatan yang sama, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma menilai Komnas HAM tak bekerja maksimal dalam membuat laporan itu. Padahal, lanjutnya, aksi itu terjadi pada bulan September, sementara laporannya baru dikeluarkan pada Januari ini.
“Artinya ada rentang waktu tiga bulan, baru satu laporan dikeluarkan. Ini mencerminkan bahwa Komnas HAM tidak bekerja secara maksimal karena ini menyangkut dengan indikasi adanya pelanggaran HAM,” kata Feri.
Baca Juga: Catatan AJI 2019: Polisi dan Kekerasan terhadap Jurnalis
Lebih lanjut, Feri mengungkapkan bahwa semestinya Komnas HAM mengeluarkan laporan dua minggu pasca-peristiwa tersebut. Hal itu dilakukan agar dokumen Komnas HAM bisa digunakan untuk proses lebih lanjut. Baik berupa perbaikan di institusi negara, pemenuhan hak para korban, maupun proses hukum terhadap para pelaku kekerasan.
“Seharusnya laporan Komnas HAM itu menjadi rujukan, apakah satu peristiwa terdapat pelanggaran HAM atau tidak,” ujarnya.
Feri pun menyayangkan lantaran laporan itu dianggap minim fakta dan lebih banyak memasukkan teori tentang HAM saja. Laporan itu hanya memuat fakta adanya aksi demonstrasi saja, dan tak memuat fakta adanya dugaan pelanggaran HAM. Seharusnya sebagai penyelenggara negara Komnas HAM harus menyampaikan apakah ada pelanggaran HAM atau tidak.
“Karena kunci pemantauan di Komnas HAM yang dimandatkan UU Nomor 39 tahun 1999 adalah mencari indikasi dugaan pelanggaran HAM dalam 1.489 orang yang ditangkap itu,” ucapnya.
Menurut Feri, tak komprehensifnya laporan Komnas HAM tersebut tampak dari tak diuraikannya kekerasan yang dialami oleh peserta aksi. Laporan tersebut juga berbeda dengan fakta yang ditemukan Kontras secara langsung di lapangan. “Kita sudah meratifikasi konvensi antipenyiksaan, seharusnya itu menjadi rujukan. Ada lima orang yang meninggal, lalu bagaimana memperoleh hak atas keadilan. Itu harusnya dijelaskan oleh Komnas HAM,” kata Feri.