Isu Terkini

Kenapa Kita Bisa Kena ‘Jebakan’ Pandji?

Dinda Sekar Paramitha — Asumsi.co

featured image

Beberapa waktu lalu, jagad media sosial, terutama Twitter, ramai dengan “tipuan” Pandji Pragiwaksono dalam memasarkan tur standup comedy nya untuk akhir 2018 sampai awal 2019. Semua ini berawal dari baliho Pandji yang bikin warga Yogyakarta dan Bandung heboh.

Di baliho itu ada foto Pandji dengan kemeja batik, berpose tegap, lengkap dengan teks “Berani” dan “Berwawasan”, plus alamat situs pilihpandji.com. Tampilannya tipikal baliho anggota calon legislatif (caleg) banget, deh. Enggak heran kalau saat itu orang-orang mengira Pandji bakal serius maju nyaleg.

Bahkan sebelum misteri itu terkuak, Asumsi pun sempat mewawancarai Pandji mengenai rencana “nyaleg” ini. Ternyata, kita semua ketipu. Rupanya baliho itu merupakan salah satu siasat Pandji dan timnya dalam mempromosikan tur standup comedy dia di beberapa negara. Tapi kenapa, ya, strategi ini bisa menipu banyak orang?

Oke, mari kita mulai dengan bahas rekam jejak Pandji di dunia politik Indonesia. Pandji dikenal sebagai sosok yang menanamkan nilai pentingnya peduli terhadap negara melalui karya-karyanya, termasuk peduli dengan keadaan politik Indonesia. Mulai dari lagu-lagu rap sampai buku-buku yang sudah diterbikan, semua ada pesan-pesan penting untuk menjaga dan acuh terhadap Indonesia. Sebagai komika tunggal juga banyak banget nilai-nilai kebangsaan yang Pandji sisipkan.

Bahkan dia juga enggak pernah ragu menyampaikan pendapat politiknya dalam blog pribadinya. Dukungan terhadap tokoh politik tertentu juga dinyatakan dalam blog-nya, misalnya ketika ekonom Faisal Basri maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012 lalu melalui jalur independen. Atas dasar enggak punya hutang kepada partai pendukung, Pandji pun mendukung Faisal Basri untuk menjabat DKI 1.

Lalu pada 2017 kemarin, ia juga terlibat secara langsung di kancah politik terbukti dengan menjadi juru bicara resmi Pilgub DKI untuk pasangan Anies Baswedan–Sandiaga Uno. Melihat kontribusi Pandji di dunia politik Indonesia, wajar banget kalau kita mengira dia memutuskan untuk nyaleg.

Sebagai salah satu pengikut “kultus Pandji” sejak awal-awal Twitter ada, jujur, saya kagum dengan pemikiran-pemikirannya. Pandji merupakan salah satu orang yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi orang-orang di sekitarnya. Dia bisa bikin orang-orang untuk belajar darinya dan bahkan punya paham yang sama.

Pemikiran-pemikiran Pandji terhadap politik Indonesia juga kritis dan banyak yang masuk akal. Tapi baliho nyaleg itu emang di luar ekspektasi banget, sih. Ditambah lagi video Asumsi terlihat cukup meyakinkan. Tapi aneh, kenapa harus pake countdown gitu, ya, di situsnya? Well, bukan Pandji namanya kalau enggak bikin orang penasaran.

Berlandaskan dari countdown dan video Asumsi, saya pun makin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata bener aja, lho! Kita semua dikerjain sama Pandji. Saya enggak bisa bayangin gimana ekspresi gembira dan puas Pandji andai bisa ngomong, “Kena Deh!” ke khalayak sosial media.

Sebenernya, dari awal itu Pandji enggak pernah declare kalau dia bakal maju nyaleg. Begitu pula di video Asumsi. Misalnya pas ditanya kenapa pasang baliho di Bandung dan Jogja, Pandji bilang kalau image dia di Jakarta sejak Pilkada kemarin itu jadi berubah dan dia juga pengin liat peluang untuk “berjuang” itu lebih bagus di mana.

Enggak bisa bohong, selama Pilkada DKI kemarin memang banyak orang yang beranggapan bahwa Pandji sudah berubah. Tapi, Pandji ya Pandji. Selesai hiruk pikuk Pilkada, ia tetap berkarya dan enggak keliatan baper terhadap anggapan itu. Bener sih, politik itu enggak boleh baper.

Selain itu, dia juga bilang kalau ajakan untuk gabung kerja sama partai politik itu makin banyak sejak Pilkada DKI. Sekilas emang terdengar meyakinkan kalau Pandji itu mau nyaleg. Tapi emang dari video berdurasi sekitar 13 menit itu enggak ada sekali pun dia sebut kata “nyaleg” atau “nyalon”. Kalau baca kolom komen pun terlihat penonton percaya kalau Pandji mau maju di pertarungan sengit para calon legislatif 2019 nanti.

Tampak depan laman situs pilihpandji.com

Dari sini, bisa dilihat kalau media itu punya peranan sangat penting dalam membentuk opini publik. Kenapa opini publik bisa kebentuk lewat media? Menurut Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman, diskusi-diskusi yang kita lakukan setiap hari itu dapat menggiring orang-orang di dalamnya terhadap suatu opini yang sama. Inilah yang disebut dengan opini publik.

Teori Habermas ini dikenal dengan public sphere atau ruang publik. Menurut public sphere, setiap orang dapat mengutarakan pendapat mereka masing-masing dalam suatu wadah dan dapat memengaruhi pendapat anggota lainnya.

Seiring berjalannya waktu, media baru yang mengandalkan teknologi pun dipercaya menjadi sarana pembentukan opini publik baru, termasuk dalam media baru adalah berbagai jenis media yang mengandalkan internet, seperti media sosial. Contoh nyata dari perubahan teori ini bisa juga dilihat dari kolom komen wawancara Asumsi dengan Pandji di YouTube.

Contoh lainnya adalah semua mention Twitter yang diutarakan ke Pandji. Apalagi Pandji nge-like mention orang-orang yang memberikan pendapat mengenai “rencana nyaleg” dia. Akhirnya, orang-orang pun percaya kalau Pandji bakal bertarung di 2019.

Terlepas dari opini publik yang terbentuk, Pandji sebagai “sumber berita” juga punya peran penting. Menurut Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent, ada pihak-pihak tertentu yang memiliki peran untuk membentuk ilusi penting dalam memandang berita. Ilusi ini bisa terbentuk karena, misal, ada orang-orang yang sudah lelah bekerja seharian kemudian membaca berita. Kelelahan itu membuat mereka langsung menyerap berita yang dibaca tanpa analisa lebih lanjut. Alhasil, terbentuklah opini kita sesuai dengan para pemilik peran tersebut.

Untuk kasus ini, Pandji bisa disebut sebagai golongan pemilik kuasa membentul ilusi followers-nya. Tanpa analisa lebih dalam, Pandji akhirnya berhasil membuat banyak orang percaya kalau dia mau maju di pertarungan 2019 nanti. Ditambah lagi dukungan dari teman-temannya yang makin membentuk opini kita terhadap rencana nyaleg Pandji itu. Misal, twit Arie Kriting yang bilang kalau dia kecewa dengan keputusan Pandji. Pasti enggak ada yang nyangka kan kalau itu bagian dari strategi ini?

Belum lagi pemberitaan pemilu lagi gencar banget diberitakan. Mulai dari masa Pilgub DKI kemarin sampai Pilkada tahun ini, semua media ramai banget memberitakan topik ini. Nah, ini juga disebut agenda setting di mana media memiliki kemampuan mempengaruhi konsumennya mengenai isu-isu penting. Akibatnya, topik “pemilu” ini jadi nempel banget di keseharian kita.

Walhasil, “kampanye” Pandji ini jadi terseret-seret ke ranah politik. Lebih lagi Pandji sempat nyebutin kata “kampanye” tersebut di video Asumsi. Karena “kampanye” memiliki konotasi erat dengan pemilu dan media lagi sering banget bahas topik itu, enggak heran kalau orang-orang berpikir Pandji bakal maju nyaleg. Ditambah lagi peran Pandji yang baru banget jadi jubir Pilgub DKI kemarin.

Belajar dari fenomena ini, kita bisa ngeliat kalau media itu punya peran penting dalam ngebentuk persepsi banyak orang. Selain media, ada juga orang-orang yang berkuasa dalam menyusun berita. Yes, tanpa kita sadari, apa yang kita baca atau tonton itu sudah diatur semua. Jadi, penting banget untuk mencerna informasi yang beredar.

Mungkin dengan memulai bertanya, “Masa sih?” pada diri sendiri pun bisa membawa kita ke dalam lautan informasi lain untuk mendapatkan referensi lebih lanjut. Kalau untuk kasus Pandji kemarin, bisa dicoba untuk enggak komen apapun sampai countdown di website dia pun berakhir. Akhirnya, kemungkinan “kemakan omongan sendiri” jadi berkurang.

Dinda Paramitha adalah mahasiswi pascasarjana jurusan Communications and Media Studies di Monash University, Melbourne, Australia

Share: Kenapa Kita Bisa Kena ‘Jebakan’ Pandji?