Banjir mulai surut di berbagai titik dan warga berangsur-angsur kembali ke rumah. Data teranyar dari BNPB mencatat bahwa hingga kini (3/1) sebanyak 43 orang telah meninggal dunia dan lebih dari 187 ribu orang terpaksa mengungsi akibat banjir Jabodetabek. Memang penduduk Ibukota akrab dengan marabahaya, tapi air bah kali ini seolah lebih ganas daripada biasanya.
Peristiwa banjir tentu tak sekadar disebabkan amuk alam. Ia diperparah oleh persiapan yang tak memadai dan kebijakan pembangunan yang keliru. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, banyak disorot akibat respon Pemprov yang dinilai lamban serta serangkaian blunder kehumasan yang ia perbuat. Pihaknya pun terlibat silat lidah dengan berbagai figur penting dalam pemerintahan.
Kemarin (2/1), Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa selain disebabkan kerusakan ekologi, banjir juga disebabkan “kesalahan kita yang membuang sampah di mana-mana.” Pendapat ini kontan disanggah oleh Anies. Ditemui awak media di kawasan banjir Kampung Pulo, ia menyampaikan bahwa banjir yang ekstrem terjadi akibat curah hujan tinggi. “Apakah ada sampah di bandara?” tanya Anies, menyindir. “Rasanya tidak. Tapi kemarin bandara Halim tidak bisa digunakan.”
Selain mempersoalkan cuaca ekstrem, Anies pun menyampaikan agar pemerintah kota Bogor “mengendalikan” banjir kiriman dari wilayah tersebut. Sontak, pernyataan ini disambut oleh celetukan yang cemerlang dari Bupati Bogor, Ade Yasin. “Mengendalikan air bagaimana maksudnya?” tanya beliau. “Saya bukan Avatar!”
Adapun Gubernur Anies tampak menepi dari segala keributan ini. Hari ini (3/1) ia mengunjungi pengungsian di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, dan menyampaikan observasi yang luar biasa. “Anak-anak senang main,” tuturnya. “Ada banjir juga dianggap kolam renang.” Apakah beliau habis mendengarkan “Hoppipola”?
Pernyataan agak menarik justru datang dari Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Pihaknya berpendapat bahwa penanganan banjir Jabodetabek tidak optimal sebab pembangunan prasarana pengendalian banjir mandek. Sejak 2017, tuturnya, proses normalisasi terhadap sungai-sungai seperti Ciliwung dan Cisadane tersendat akibat lambatnya proses pembebasan lahan.
Lantas, apakah penyebab banjir ekstrem Jabodetabek di 2020? Apakah karena masyarakat suka buang sampah sembarangan? Apakah karena cuaca ekstrem yang di luar kendali? Apakah karena pembangunan infrastruktur yang keteteran? Atau justru, karena tidak hadirnya sosok yang dapat mengendalikan keempat elemen alam dan menaklukkan negeri api?
Saling Sengkarut Kebijakan
Seperti biasa, jawabannya tidak sederhana. Berbagai faktor saling berkelindan dan berujung pada bencana banjir yang lebih garang dari biasanya.
Sebetulnya, pernyataan tersirat dari kamp Anies bahwa banjir kali ini disebabkan oleh cuaca ekstrem masuk akal. Menurut pemaparan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan pada 2020 disebut sebagai yang tertinggi sejak tahun 1866. Tercatat, curah hujan mencapai 377 mm/hari — melebihi angka 340 mm/hari pada banjir besar 2007 yang menewaskan 48 orang dan menimbulkan kerugian Rp 5,1 triliun.
Namun terlepas dari cuaca ekstrem, kesiapan infrastruktur penanganan banjir DKI Jakarta dipertanyakan. Persoalan mandeknya pembebasan lahan untuk naturalisasi bantaran sungai sudah diwanti-wanti oleh Kementerian PUPR sejak lama. Pada 19 Juli 2019, harian Kompas mengutip staf khusus Menteri PUPR yang memperingatkan bahwa masalah pembebasan lahan di bantaran Ciliwung “akan menyebabkan banjir mengancam Jakarta di musim penghujan nanti.”
Laporan terpisah dari Kompas pun menyatakan bahwa jumlah sumur resapan yang dibutuhkan untuk mengurangi dampak banjir di DKI Jakarta jauh di bawah semestinya. Saat laporan tersebut naik cetak Desember lalu, DKI Jakarta hanya punya 2.000 sumur dari kebutuhan 1,8 juta sumur. Lebih parahnya lagi, sebanyak 1.794 di antaranya baru dibangun pemerintah pada tahun 2019. Sistem kebut semalam mungkin ampuh bagi mahasiswa tingkat awal, tetapi ia bukan taktik jitu untuk pencegahan bencana.
Padahal, Kementerian PUPR telah mencanangkan serangkaian pembangunan ambisius guna menyiasati problem banjir di Jabodetabek. Program Pengendalian Banjir Sungai Ciliwung telah melakukan “normalisasi” terhadap 16 km dari rencana keseluruhan 33 km bantaran sungai. Di hulu sungai Ciliwung, pemerintah tengah membangun bendungan Ciawi dan Sukamahi yang dicanangkan rampung pada akhir 2020.
Pemerintah juga mencanangkan pembuatan sodetan dari Ciliwung ke Banjir Kanal Timur (BKT) yang mampu mengalirkan air sebanyak 60 meter kubik per detik. Sodetan sendiri adalah tembusan dari satu aliran sungai ke saluran lainnya yang dibangun untuk mengurangi beban aliran air di suatu sungai.
Namun, Menteri Basuki mengeluhkan bahwa proyek-proyek akbar tersebut macet karena proses pembebasan lahan yang tidak lancar. Pihaknya mengklaim bahwa pembebasan lahan adalah tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta, sementara PUPR hanya berwenang mengurusi pembangunan fisik.
Persoalannya, kondisi di Pemprov DKI Jakarta pun tidak sepenuhnya baik-baik saja. Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam, menilai bahwa Pemprov “tidak serius” dalam menangani permasalahan banjir. Pantauan IBC menunjukkan bahwa anggaran bidang pembangunan dan lingkungan hidup tahun 2019 hanya mampu diserap 69 persen. Adapun anggaran untuk Dinas Sumber Daya Air, yang bertugas menurunkan genangan air, hanya terserap 66 persen. Per Oktober 2019, anggaran program pengendalian banjir dan abrasi senilai Rp 1 triliun pun belum terserap sama sekali.
“Menurut dokumen perencanaan pembangunan daerah, indikator kerja Gubernur adalah “mengurangi genangan air selama dua jam”, bukan mengurangi banjir.” Tutur Roy. “Masalahnya, apa yang disebut genangan air? Apakah air comberan termasuk?” Indikator keberhasilan ini, selain tidak tepat guna, dianggap kelewat menyederhanakan masalah banjir. Walhasil, tidak ada cara khusus untuk mengukur keberhasilan Gubernur DKI Jakarta dalam menangani problem banjir.
Pertarungan Dua Pendekatan
Sekilas, persoalannya cukup sederhana: pemerintah melalui Kementerian PUPR sudah gercep, tetapi Pemprov DKI tidak cekatan. Namun, pendekatan yang dicanangkan oleh PUPR pun tidak luput dari kritik.
Terdapat dua metode pengendalian banjir yang hangat diperbincangkan: normalisasi versus naturalisasi. Normalisasi adalah konsep yang lebih jamak digunakan dan punya sejarah lebih panjang. Mengacu pada Perda DKI Jakarta Nomor 6 tahun 1999 yang dikutip Tirto, “normalisasi” adalah upaya kapasitas badan sungai dapat menyesuaikan dengan debit air yang diinginkan dengan tetap mempertahankan pola alamiah sungainya. Penerapannya bisa berupa drainase seperti pada Permen Pekerjaan Umum Nomor 12 tahun 2014.
Adapun konsep naturalisasi lebih baru, tetapi kian populer. Naturalisasi dijabarkan lebih terperinci pada Pergub DKI Jakarta Nomor 31 tahun 2019 yang diterbitkan pada 1 April 2019. Naturalisasi, menurut Pergub tersebut, lebih mengandalkan “ruang terbuka hijau sebagai kapasitas tampungan air, pengendalian banjir, dan konservasi.”
Bagi Herlily, pakar tata kota dan dosen arsitektur Universitas Indonesia, pendekatan naturalisasi lebih efektif di jangka pendek maupun panjang. “Badan sungai meliuk-liuk secara alamiah karena bentuk tersebut mengerem aliran air,” tuturnya. “Makanya kalau bikin sodetan dan aliran tersebut diluruskan, justru berbahaya. Airnya lebih mudah luber dan mengalir amat kencang.”
Persoalannya tentu tak henti di limpahan air yang meluber akibat bentuk saluran tak alamiah. Pembangunan kanal-kanal artifisial dengan beton sama saja membantai tanah, tanaman, dan pepohonan yang secara alamiah menyerap air. “Kita kerap kekeringan karena penyerapan air ke tanah sulit,” kritik Herlily. “Bila kita bikin kanal yang berbahan beton, semakin tidak tersimpan permukaan air tanahnya.”
Padahal, air hujan adalah “air bersih” yang seharusnya dapat dikelola dan dimanfaatkan secara lebih baik. Alih-alih sekadar dialirkan langsung ke got, bercampur dengan air limbah, dan dibuang ke samudra. “Kalau pun kita bikin waduk atau jadi menormalisasi 33 km bantaran kali, tapi di ujungnya tanaman dan alamnya gundul, percuma saja.” ucapnya. “Aliran air bertambah cepat dan teman-teman di Utara kasihan karena mandegnya di sana. Kalau ada banjir rob, selesai sudah.”
Bagi Herlily, pendekatan yang penting dilakukan adalah untuk “bersahabat” dan beradaptasi dengan alam, alih-alih melawannya dengan beton dan pembangunan infrastruktur raksasa. Ia mengambil contoh pembangunan Kemang Village, saat Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) di balik proyek tersebut mesti sidang di hadapan Tim Penasehat Arsitektur Kota (TPAK) sebanyak sembilan kali. Pasalnya, TPAK menuntut mereka mengakali resapan air alamiah yang hilang gara-gara pembangunan basement beton Kemang Village.
Lebih liar lagi, pembangunan Kelapa Gading dapat dijadikan reka-rekaan untuk pembangunan ramah lingkungan di masa depan. “Daerah tersebut memang kawasan dataran rendah, sehingga rentan banjir,” tutur Herlily. “Lalu, kenapa malah dibangun rumah beton? Kenapa tidak dibangun rumah panggung semuanya, sementara di bawahnya tetap basah? Kalau begitu, mereka nggak akan banjir dan harus mengoperasikan pompa.”
Mau tidak mau, pendekatan pembangunan yang berbeda mesti diperbincangkan lebih serius. Pasalnya, cuaca ekstrem seperti 2020 dapat berulang kembali di masa depan. Pemaparan dari BMKG mengungkapkan bahwa fenomena siklus hujan ekstrem semakin cepat terjadi. Apabila sebelumnya hujan ekstrem terjadi tiap 10-20 tahun sekali, ke depannya siklus hujan ekstrem diprediksi terjadi hanya dalam kurun waktu tiap lima tahun atau kurang.
“Kita harus menerima bahwa interval curah hujan ekstrem ini akan jadi hal yang wajar,” ucap Leonard Simanjuntak, Direktur Greenpeace Indonesia. “Dalam konteks makro, semua ini adalah dampak alamiah dari perubahan iklim. Dan hingga kini, Indonesia maupun negara-negara di dunia lamban menangani persoalan tersebut.”
Bagi Leonard, pendekatan naturalisasi maupun normalisasi sama-sama punya argumen kuat. Namun, infrastruktur sebaik apapun tidak akan bermakna apa-apa bila persoalan kuncinya — yakni perubahan iklim dan kerusakan lingkungan — tak segera ditangani. “Saat dampak perubahan iklim sudah tidak bisa diputarbalikkan, curah hujan 377 mm/hari seperti kemarin akan menjadi rutin.” Ujar Leonard.
Kabar buruknya, kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini justru akan kian memperparah dampak kerusakan lingkungan. Saat ini juga, pemerintah tengah menyusun peraturan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, yang turut melonggarkan persyaratan perizinan investasi. Salah satu dampak dari perubahan ini adalah dihapuskannya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Pemerintah berdalih bahwa langkah ini perlu untuk “memberikan kemudahan berusaha”. Namun, seberapa pentingkah kabar teranyar ini untuk Indonesia, negara yang tengah mengalami darurat ekologis?
“Wacana tersebut preseden yang amat buruk,” kritik Leonard. “Rem kita tinggal sedikit, dan mulai dipreteli semuanya. Tanpa AMDAL, tanpa izin lingkungan, tanpa KPK, akhirnya kita bablas. Kalau dibuat jadi cek kosong, industri ekstraktif yang tidak punya rem akan merusak semua yang tersisa.”
Itupun kalau masih ada yang tersisa, setelah Perang Dunia III meletus dan kita semua terpanggang.