Sejarah

Jejak Harmoko, Pewarta Hingga Jadi Orang Kepercayaan Orde Baru

Irfan — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi Menteri Penerangan era Soeharto, Harmoko. Foto: Asumsi.

Menteri Penerangan era Soeharto, Harmoko, meninggal dunia pada Minggu (4/7/2021) malam. Pria kelahiran 7 Februari 1939 itu wafat tak lama setelah dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto setelah sebelumnya mengalami penurunan kesadaran. Hari ini, Harmoko akan dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata.

Kabar kepergian pria bernama asli Harun Muhammad Kohar bin Asmoprawiro ini cukup menarik perhatian. Soalnya, bagi sebagian orang Indonesia terutama yang besar di dekade ’80 ke-’90, nama Harmoko cukup melegenda.

Di era kepemimpinan Orde Baru Soeharto, ia adalah sosok penting. Tak heran gambar dirinya di sebelah sang Jenderal cukup mudah ditemukan. Selain itu, ia juga kerap hadir di layar kaca masyarakat Indonesia. Ia pun kerap dikenal dengan kalimat legendaris, ‘Menurut Petunjuk Bapak Presiden’.

Wartawan yang Membungkam Wartawan

Harmoko memulai karier sebagai seorang kartunis dan pewarta di Harian Merdeka. Kariernya di dunia media, dimulai sejak usianya masih cukup muda. 

Kiprahnya sebagai pewarta memang cukup moncer. Ia bahkan tidak hanya berkecimpung di satu media, tetapi berpindah-pindah mulai dari Harian Angkatan Bersenjata, API, lalu menjadi pemimpin redaksi di media berbahasa Jawa, Merdiko, dan mengasuh harian Mimbar Kita. Hanya butuh waktu sekitar sepuluh tahun baginya untuk kemudian mendirikan media sendiri, Pos Kota. 

Jelang masa jayanya bersama Orde Baru ia lantas memimpin organisasi Persatuan Wartawan Indonesia selama satu dekade sejak 1973. Periode panjangnya memimpin PWI membuat pengaruh di kancah media massa cukup menggurita. Ia menjadi pengurus Serikat Grafika Pers, Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Penerbit Surat Kabar (SPS), Wakil Ketua Konfederasi Wartawan ASEAN, anggota Dewan Pers, hingga anggota Badan Sensor Film. 

Bagusnya portofolio Harmoko di kancah media massa ini membuatnya lantas naik panggung sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia pada 1983. 

​Baca Juga: Kiprah Dalang Ki Manteb Sudarsono Sebelum Wafat Karena COVID-19 | Asumsi

Di masa inilah paradoksnya sebagai orang media yang kerap membredel media mengemuka. Lewat Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Harmoko menjadi penentu sebuah media layak terbit atau tidak. 

Dengan senjata SIUPP ini, media yang keras pada pemerintah, dengan mudah dibungkam. Beberapa media yang kena tutup di zaman Harmoko adalah  Sinar Harapan yang SIUPP-nya dibatalkan pada Oktober 1986 akibat tajuk ‘Pemerintah Akan Cabut 44 SK tata Niaga Bidang Impor’, dan penutupan Harian Prioritas setahun setelah Sinar Harapan. 

Pembredelan lain oleh Harmoko yang cukup monumental adalah terhadap majalah Tempo, Detik, dan Editor pada 1994. Mengutip Tempo Interaktif, keputusan pemerintah menutup majalah Tempo, Editor, dan Detik diumumkan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko. 

Namun, alih-alih menjadi titik nadir, pembredelan tiga media ini justru menjadi tonggak perlawanan pers pada Orde Baru, dan perjuangan kebebasan pers di Indonesia. Tempo yang saat itu menolak keputusan pembredelan menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan yang akhirnya dimenangkan Tempo ini adalah momen pertama kalinya media membangkang pada kebijakan bredel. 

Dalam ‘Semangat Sirnagalih’, pembredelan ini juga memunculkan Deklarasi Sirnagalih 7 Agustus 1994, yang kemudian menjadi cikal bakal pendirian organisasi wartawan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pada deklarasi yang ditandatangani oleh 58 jurnalis itu, Ahmad Taufik, Ketua Presidium AJI 1994-1995 sempat menyatakan kalau mereka sudah tak percaya lagi pada PWI. 

“Karena dalam sejarahnya, PWI hanya menjadi alat pemerintah untuk mengontrol pers, bukannya memperjuangkan idealisme pers,” katanya.

Terjun ke Politik

Dekade 1970 bisa dibilang jadi era mentasnya Harmoko. Di dekade ini, ia mulai berkecimpung di Politik dengan menjadi salah satu kader Golkar.

​Berkat kecakapannya, hanya butuh waktu sepuluh tahun untuk ia bisa bertengger sebagai salah satu elite di Partai Beringin itu. Hingga akhirnya, pada 1993, saat sudah menjabat sebagai Menteri Penerangan, ia mengambil alih kepemimpinan di Golkar lewat Musyawarah Nasional.

Naiknya Harmoko ke kursi nomor satu Golkar juga jadi sejarah sendiri. Soalnya, ia adalah orang sipil pertama yang memimpin Golkar. Sebelumnya, pimpinan Golkar selalu dijabat oleh kelompok militer.

Bersama Golkar pula ia menjabat sebagai Ketua DPR/MPR periode 1997-1999 yang mengangkat Soeharto selaku presiden untuk masa jabatannya yang ke-7. Namun dua bulan kemudian Harmoko pula yang memintanya turun ketika gerakan rakyat dan mahasiswa yang menuntut reformasi semakin agresif memaksa Soeharto mundur.

Sebagai Menteri Penerangan

Posisi Menteri Penerangan mungkin akan selalu menjadi hal yang paling diingat oleh masyarakat Indonesia tentang Harmoko. Naik jabatan pada 19 Maret 1983, Harmoko mengisi posisi ini selama tiga periode sampai 16 Maret 1997.

Selain penampilannya di TV hampir setiap hari dengan kalimat legendaris: ‘Menurut Arahan Bapak Presiden’, Harmoko juga dikenal dengan sejumlah program seperti gerakan Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan).

​Mengutip Detik, Kelompencapir adalah pertemuan untuk petani dan nelayan di Indonesia yang dimaksudkan untuk mendekatkan petani dan nelayan dengan pemerintah. Kegiatan ini menampilkan petani dan nelayan terpilih dari berbagai daerah untuk diadu dalam sebuah lomba berformat cerdas cermat.

Baca Juga: Pecah Rekor, 555 Kasus Kematian Akibat Covid-19 Dalam Sehari | Asumsi

Sebagai pendiri gerakan tersebut, Harmoko kerap hadir untuk membuka lomba-lomba Kelompencapir. Bahkan, ia juga kerap melontarkan pertanyaan kepada peserta. 

Gerakan-gerakan seperti itu kini sudah tiada namun dianggap cukup efektif membangun komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah.

​Selain itu, ia juga dikenal lewat kegiatan Safari Ramadan. Dilaksanakan biasanya selama 10 sampai 14 hari, kegiatan ini adalah agenda gandanya sebagai pimpinan Golkar juga Menteri Penerangan.

Saking seringnya kegiatan ini dilakukan, Kementerian Penerangan sampai menerbitkannya dalam bentuk buku berjudul ‘Kunjungan Kerja Menteri Penerangan RI Safari Ramadhan’ dan ‘Safari Ramadhan Menteri Penerangan’.

Kehidupan Setelah Reformasi

Usai runtuhnya Orde Baru dan tak lagi menjabat posisi strategis, kabar Harmoko mulai jarang terdengar. Apalagi, sejak kesehatannya semakin menurun di usianya yang juga semakin menua.

Tetapi, Harmoko pernah punya semangat untuk turun gunung. Pada 2008, setelah lama tak muncul sejak Soeharto lengser, Harmoko kembali ke kancah politik dengan mendeklarasikan Partai Kerakyatan Nasional.

Sayang, partai yang ia bentuk itu gagal lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum, sehingga tak bisa berlaga pada Pemilu 2009.

​Namun, semangat partai besutannya ini tak pudar. Pada 2015, PKN menggelar kongres perdana Cikini. Keputusan kongres ini adalah mengubah nama partai menjadi Partai Gerakan Perubahan Indonesia, disingkat Partai Garuda yang tampil di Pileg 2019 lalu.​​

Share: Jejak Harmoko, Pewarta Hingga Jadi Orang Kepercayaan Orde Baru