Covid-19

Isoman Sumbang Angka Kematian Tinggi, Epidemiolog: Banyak Kasus Lolos

Irfan — Asumsi.co

featured image
Pixabay

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan pasien isolasi mandiri menyumbang jumlah yang signifikan atas tingginya kasus kematian Covid-19 di Indonesia. 

Dalam konferensi pers yang digelar secara daring Senin (23/8/2021), Luhut menyebut, para pasien isolasi mandiri ini mengalami perburukan kondisi, namun terlambat dirujuk ke fasilitas kesehatan karena terbatasnya akses.

“Salah satu penyebab tingginya angka kematian adalah masih enggannya masyarakat untuk melakukan isolasi terpusat, sehingga terjadi perburukan ketika melakukan isolasi mandiri,” kata Luhut.

Oleh karena itu, Luhut meminta masyarakat yang terpapar Covid-19 agar melakukan isolasi terpusat, ketimbang isoman. Di layanan isolasi terpusat, Luhut mengatakan pemerintah telah menjamin obat-obatan, tenaga kesehatan, bahkan makanan.

“Lagi-lagi pemerintah terus mengimbau dan mengajak masyarakat yang terkonfirmasi positif Covid-19 agar dapat segera masuk ke dalam pusat-pusat isolasi yang telah disediakan. Izinkan saya menyampaikan bahwa positif Covid-19 bukanlah aib yang harus ditutupi,” ucap dia.

Luhut bukan sekali menyatakan hal ini. Pekan lalu ia juga mengeluhkan hal serupa. Pria yang menjabat sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali itu mengungkapkan isolasi mandiri jadi kelemahan dalam perawatan pasien Covid-19 di Indonesia. Untuk itu, ia meminta pemerintah daerah memaksimalkan fasilitas isolasi mandiri terpusat.

“Kalau kena (Covid-19) paling bagus itu masuk isoter. Karena di isoter itu semua ada. Dokternya ada, makannya bagus, obatnya cukup, pemeriksaan lainnya bagus,” ucap Luhut.

Mengutip CNBC Indonesia, Luhut juga membawa data. Menurutnya, persentase kesembuhan pasien isolasi mandiri di Kabupaten Bogor sebesar 51 persen. Sementara untuk pasien isolasi terpusat, bisa mencapai 99,9 persen. Bahkan, di Buleleng, Bali tingkat kesembuhan pasien isoter bisa mencapai 100 persen.

Pikirkan Faktor Pendukung

Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman, menyebut sebagai data statistik yang sangat penting, angka kematian tidak bisa dilihat dari satu faktor saja. Dalam kasus isolasi mandiri atau terpusat, ada sektor lain di luar kesehatan yang juga harus dipikirkan, misalnya sektor ekonomi.

“Bahwa ada orang tidak mau ke isolasi terpusat dan milih isolasi mandiri, bisa jadi ada support yang tidak tersedia. Dia misalnya tulang punggung keluarga, ketika dia masuk ke layanan isolasi terpusat siapa yang mikir keluarganya? Kalau tidak ada faktor dukungan tidak ada yang mau,” kata Dicky kepada Asumsi.

Baca Juga: Deretan Peringatan Jokowi dan Luhut pada PPKM Terbaru

Dicky tak menampik kalau pelayanan di tempat isolasi terpusat tentu lebih baik ketimbang isolasi mandiri. Namun, isolasi terpusat baru menutupi aspek kesehatannya saja dan belum berdampak pada aspek sosial ekonomi masyarakat.

“Kita juga harus membangun komunikasi risiko, mengurangi stigma, memberi opsi pada orang yang enggan (isolasi terpusat) ini bagaimana untuk bisa isolasi mandiri, tapi dengan potensi (kematian) yang kecil,” kata Dicky.

Lagi pula, angka kematian yang tinggi disebabkan oleh banyak hal, bukan cuma tentang di mana pasien menjalani isolasi. Untuk itu data kematian menjadi penting untuk dikaji. Menurut Dicky, setiap satu data kematian adalah berharga dan merefleksikan intervensi pemerintah dalam penanganan Covid-19.

“Perlu setiap daerah itu bukan hanya melaporkan angka, tapi apa yang menjadi catatan penting dari kematian itu. Ini memang menantang dan tidak mudah tapi bukan tidak mungkin. Dan itu yang harus kita lakukan,” ucap dia.

Dicky menambahkan: “Oleh karena itu satu angka kematian sangat bermakna dan harus menjadi studi kasus karena setiap kasus kematian ada banyak hal yang harus kita pelajari untuk perbaikan strategi.”

Banyak Kasus Lolos

Dicky sendiri beranggapan, tingginya angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia bukan sekadar soal isolasi. Tetapi karena banyaknya kasus positif yang lolos dari tracing dan testing. 

Menurut Dicky, hal ini terjadi cukup lama seiring testing dan tracing di Indonesia yang memang rendah. Ia memperkirakan setidaknya ada 50.000 kasus positif yang lolos atau tak tercatat.

“Pada awalnya enggak terlalu terlihat karena besarnya populasi muda kita. Selama lebih dari setahun ini kita mengalami pandemi senyap. Seiring waktu, orang yang paling rawan di masyarakat ini makin terekspos (kematiannya),” kata Dicky, seraya menambahkan kurangnya dukungan, dan tidak efektifnya isolasi karantina tadi jadi sebab lainnya.

“Tapi sistem deteksi dini yang tidak masif agresif tadi itu (yang paling memengaruhi),” ucap dia.

Oleh karena itu, ia kembali meminta agar pemerintah memperkuat 3T dan terus memperluas visitasi untuk melihat penilaian risiko. Saat visitasi, petugas harus melihat kelayakan tempat isolasi mandiri, serta akses terhadap obat dan kebutuhan sehari-hari, selain menemukan kasus baru. Jika semua itu tidak memenuhi syarat, maka pasien tersebut sebaiknya dirujuk ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat.

“Petugas visitasi ini juga harus melakukan pengecekan mengenai telemedicine dan kondisi pasien isoman. Agar ketika ada masalah bisa dirujuk. Ini yang mencegah perburukan atau fatalitas,” kata Dicky.

Share: Isoman Sumbang Angka Kematian Tinggi, Epidemiolog: Banyak Kasus Lolos