Masih ingat Michael Kimmel? Orang ini punya rekam jejak panjang di bidang kajian kesetaraan gender. Banyak penelitian dan upaya yang sudah dilakukannya sepanjang hidup untuk kesetaraan.
Jurnal interdisipliner buatannya, Men and Masculinities, bahkan telah jadi semacam kitab suci bagi para lelaki peneliti, aktivis, dan sekutu feminisme sedunia. Jurnal itu kerap menelanjangi soal-soal maskulinitas dan semua tentang lelaki secara total. Ya, semacam “bocoran” tentang kenapa lelaki menyebalkan.
Kimmel juga hampir mendapat penghargaan bergengsi dari American Sociological Association’s Jessie Bernard pada 2018 karena kontribusinya yang besar terhadap kajian feminisme. Namun, dia keburu ketahuan melakukan pelecehan seksual. Penghargaan pun ditunda, kemudian dibatalkan.
Sekali lagi, pelecehan seksual, saudara-saudara. Akademisi termahsyur yang dikenal berkat kajian-kajiannya atas feminisme beneran bisa ngelakuin pelecehan seksual?
Oh, tentu saja bisa. Lalu, bagaimana reaksi sang profesor saat dia di-call-out?
Jangan mengira Kimmel akan berperspektif korban, mengakui kesalahan, dan menyerahkan diri kepada pihak berwajib. Si tua ini justru balik menyerang. Dia menantang semua pihak yang mendakwa dirinya telah melakukan tindakan keji itu untuk membeberkan bukti-bukti.
Dilansir dari The Guardian, Kimmel bilang ke Chronicle of Higher Education yang intinya gini: “Coba kasih saya bukti bagian mana yang saya lakukan yang termasuk pelecehan seksual?”
Buat seseorang yang paham soal kesetaraan gender luar-dalam, mestinya pertanyaan itu tidak terlontar sama sekali. Murid-murid dan para koleganya dijamin mengkeret menanggung malu.
Dalam kasus kekerasan seksual, menggunakan perspektif korban adalah perkara wajib. Hal urgen yang mesti dilakukan waktu menangani kasus kekerasan seksual adalah mendengarkan korban beserta semua aduannya terlebih dahulu. Setelah itu, baru boleh kita bicara soal pembelaan pelaku. Artinya, pembuktian kasus kekerasan seksual mestilah dipusatkan pada aduan korban, bukan pledoi si pelaku.
Sebagai respons atas ucapannya yang kurang ajar itu, Michael Flood sampai-sampai menerbitkan artikel berjudul When profeminist men are alleged to have perpetrated abuse or harassment yang berisi langkah-langkah yang mesti dilakukan oleh siapa pun saat mendapat tuduhan kekerasan seksual.
Apakah tak ada harapan bagi lelaki untuk menjadi seorang feminis?
Jauh sebelum kasus ini terjadi, Raewyn Connel pernah bilang bahwa sadar maupun tidak lelaki mendapatkan manfaat dan kenikmatan dari patriarki. Istilahnya patriarchal dividend. Ketidaksadaran itu, yang kemudian mengkristal jadi keengganan memeriksa privilege, yang bikin kebanyakan lelaki bisa dengan lempang bersikap kurang ajar terhadap perempuan.
Lelaki tak butuh Kementerian Pemberdayaan Perempuan untuk bisa eksis, misalnya. Lelaki juga tak perlu melewati lapis-lapis nilai dan moral untuk bisa berekspresi. Sedikit nakal menyerempet kriminal? Bebas, asal tidak tertangkap. Kalau perempuan?
Celakanya, duduk berlumur kenyamanan di kursi patriarki malah bikin laki-laki jadi lupa daratan dan bertindak seenak jidat. Tindakan seenak jidat ini tak jarang malah dilakukan oleh abang-abang yang doyan ngaku sebagai feminis.
Akhirnya, muncullah fenomena di mana feminisme dijadikan alat buat mendekati perempuan, sepik-sepik iblis penarik simpati perempuan, dan seterusnya.
Bagi lelaki, patriarki tidak terasa seperti sebuah ancaman, sehingga perjuangan untuk meruntuhkannya adalah sebuah pilihan belaka. Situasi lain dihadapi para perempuan. Bahaya patriarki menyangkut betul nasib hidup-mati mereka. Sehingga melawannya adalah sebuah keharusan.
Dea Safira pernah bilang dalam bukunya Membunuh Hantu-Hantu Patriarki, bahwa lelaki yang tidak melakukan pelecehan seks itu bukan sosok yang hebat. Mereka tak perlu dipuji, karena memang begitulah seharusnya manusia berlaku. Begitu pula dengan lelaki yang turut memperjuangkan kesetaraan.
Sumpah mati, bukannya bikin kedudukan jadi setara, pengidolaan semacam itu malah bikin mereka jadi duduk di singgasana yang lebih tinggi.
Lagipula, tak sepatutnya kita menyebut seorang lelaki sebagai feminis berdasarkan klaim semata. Rekam jejaknya mesti diperiksa dari ujung ke ujung. Apakah dia selalu mendengarkan pendapat perempuan? Apakah kalau pacaran masih jadi pengatur tunggal? Apakah sudah benar-benar bisa bersahabat dengan kawan-kawan LGBTQ+?
Dengan kata lain, satu-satunya cara untuk membuktikan “ke-feminis-an” seorang lelaki adalah menunggu dia mati.