Isu Terkini

Harapan Selalu Ada, Bahkan di Pekuburan Pondok Ranggon

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image

Foto: Faisal Irfani/Asumsi.co

David menegapkan tubuh ketika jenazah mertuanya diturunkan ke liang lahat. Tak ada tangis di pipinya, namun saya menduga—dari caranya memandang—bahwa dia masih tak percaya COVID-19 telah merenggut salah satu orang yang paling dikasihinya dari dunia ini.

Hening, lalu David mengumandangkan azan. Sang mertua beristirahat dalam peti kayu berwarna putih yang terbungkus plastik.

Srok… srok… srok.

Alangkah nyaring bunyi tanah yang ditumpahkan ke dalam lubang, pikir saya.

“Turut berduka, Pak,” kata saya kepada David, yang sehari-hari bekerja sebagai pengusaha katering, saat kami meninggalkan pusara mertuanya. Saya menengok ke belakang sekali lagi. Tak ada taburan bunga, tak ada sanak-saudara yang bangkit dengan susah payah setelah mengucapkan doa bersama-sama.

“Terima kasih, Mas,” katanya. Saya hampir tak mendengar jawaban itu.

David berlalu dengan isi kepala dan dada yang tak dapat saya timbang. Sementara itu, para petugas TPU (Taman Pemakaman Umum) Pondok Ranggon meneruskan pekerjaan mereka. Sebongkah peti baru dikeluarkan dari mobil ambulans. Empat orang berpakaian APD (Alat Perlindungan Diri) menyambutnya.

“Ini Islam, ya,” kata seorang petugas yang saya kira menangani urusan administrasi.

Peti itu akan dikuburkan tepat di samping makam mertua David. Prosesinya sama: peti diturunkan dengan tali tambang dan tanah merah kembali diuruk. Saya kembali mendengarkan bunyi konstan yang memekakkan itu.

***

“Capek banget, Bang,” kata Rahmat, diselingi napas yang tak teratur. Berkali-kali dia menyeka keringat yang mengucur deras di wajahnya. Di tepi area pemakaman, di bawah tenda yang didirikan seadanya, penggali kubur itu merebahkan badan.

“Udah sejak pagi di sini. Gali makam, kubur, gali lagi. Terus kayak gitu,” katanya lagi.

Telepon genggam Rahmat berbunyi. Sayup-sayup, saya mendengar suara seorang perempuan dari speaker gawai tersebut. Ia hendak memastikan bahwa kawan saya berbincang baik-baik saja.

“Belum sempat makan, masih ada sisa kerjaan,” Rahmat menjawab. Nada suaranya lembut.

Setelah sambungan telepon ditutup, Rahmat memberitahu saya bahwa ia memang kerap membandel: lupa mengisi perut karena sibuk bekerja. Padahal, makan teratur adalah kunci untuk menjaga ketahanan fisik, lebih-lebih bagi pekerja yang menguras tenaga seharian.

Kata Rahmat, sesekali istrinya menyiapkan bekal agar ia tak perlu menunggu jatah ransum atau membeli nasi bungkus ke luar kompleks pekuburan. Rahmat mungkin senang tinggal membuka rantang dan makan, tapi saya kira istrinya jengkel sekali kepadanya.

Namun, saya bisa membayangkan betapa berat pekerjaan Rahmat. Tak hanya mengayun pacul, sebagai kepala regu, ia pun harus memastikan bahwa seluruh proses pemakaman berjalan sebagaimana mestinya. Dia bertanggung jawab atas kerja 24 orang anak buahnya.

Sama seperti semua orang, Rahmat tak pernah mengira bahwa 2020 akan menjadi semuram ini. Ketika COVID-19 terdeteksi pada awal Maret, Rahmat mengira penyakit tersebut tak lebih gawat dari flu biasa.

Ternyata Rahmat salah. Sampai hari ini, COVID-19 telah jadi musuh tak kasatmata yang telah membunuh lebih dari satu juta orang dan berdampak besar bagi hidup orang-orang sedunia.

Ketakutan Rahmat berlipat ganda tatkala TPU Pondok Ranggon, tempatnya bekerja, ditunjuk sebagai pemakaman korban COVID-19 di Jakarta, bersanding dengan Tegal Alur yang berlokasi di sisi barat. 80% dari keseluruhan pegawai TPU itu dialokasikan untuk mengurus makam.

Mulanya, TPU Pondok Ranggon hanya menerjunkan dua regu. Setiap tim bekerja selama dua minggu secara bergantian. Akan tetapi, seiring pertumbuhan jumlah kasus positif dan korban jiwa, dua regu lain diturunkan pula. Masing-masing regu bertugas sepekan, setiap hari, dari pagi hingga malam.

“Ini yang melelahkan karena kita enggak ada shift. Anggota dalam satu regu turun semua, enggak ada gantian,” kata Rahmat.

Secara garis besar, setiap regu petugas pemakaman COVID-19 dibagi untuk menangani dua pekerjaan. Pertama, menyiapkan lahan dan liang kubur. Kedua, mengangkut peti jenazah dari ambulans Palang Hitam.

Pekerjaan pertama diisi banyak personel, dan mereka tak diharuskan memakai APD. Untuk tugas kedua, hanya ada empat hingga lima orang yang wajib mengenakan APD karena mereka bersinggungan langsung dengan peti jenazah yang mungkin saja telah terkontaminasi virus.

Sugiyanto, seorang petugas yang ditempatkan di unit pengangkatan peti, mengaku takut dan was-was setiap kali mulai bekerja.

“Karena ada virus ini jadi bawaannya begitu,” ujarnya. “Virus ini lebih seram ketimbang roh-roh halus.”

Kata Rahmat, ia tak boleh ada kompromi pada protokol. Pernah sekali waktu peti jenazah tak dilapisi plastik. Rahmat seketika meminta para petugas Palang Hitam mengembalikannya.

“Itu nggak tahu kenapa bisa kosongan gitu. Entah dari pihak rumah sakit atau siapa, saya juga kurang tahu,” katanya. “Bahkan ketika ada plastik yang bolong sedikit saja kami minta perbaiki. Kami nggak mau petugas kena virus hanya karena kesalahan sekecil itu.”

Wajar belaka bila Rahmat tak ingin ada celah. Sekali luput, segalanya dapat berantakan. Dalam sepekan mereka mengurus hingga puluhan jenazah korban COVID-19. Rekor terjadi pada 11 September silam: 40 peti.

“Itu tekanannya besar banget. Sehari kayak enggak habis-habis,” kata Sugiyanto. “Rasanya seperti enggak bisa napas.”

Para petugas TPU Pondok Ranggon berharap rekor pemakaman tidak terpecahkan. Tapi, potensinya tetap ada jika melihat pergerakan kasus positif di Jakarta yang belum memperlihatkan tanda-tanda penurunan yang stabil.

Tingginya kasus positif memperbesar risiko jatuhnya banyak korban baru, yang kemudian berdampak juga di lapangan dalam wujud makin menyempitnya lahan pemakaman yang tersisa. Di Pondok Ranggon, area pemakaman yang disediakan untuk kelompok Islam sudah nyaris penuh.

Rahmat menjelaskan solusi sementara adalah memakai lahan kelompok non-Islam yang sejauh ini masih menyisakan ruang, seraya menunggu perluasan area yang dicanangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta rampung.

“Kami tetap berharap, sangat berharap, enggak ada lonjakan korban lagi,” katanya. “Kalau makin ke sini makin banyak, ini bakalan penuh.”

Sengkarut masalah yang muncul di Pondok Ranggon menegaskan betapa penyebaran virus COVID-19 di Jakarta masih jauh dari kata selesai.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentu paham situasi tersebut. Pertengahan September lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di atas kertas.

Kebijakan itu berlangsung kurang lebih sebulan, dengan hasil berupa, menurut klaim Anies, “laju penyebaran virus yang mulai bisa dikendalikan.” Hasil inilah yang lantas membikin Anies mengendurkan rem pembatasan sosial dan kembali lagi ke PSBB transisi, dari awal Oktober kemarin sampai sekarang, walaupun sebetulnya masa transisi—lagi-lagi—mendorong penyebaran virus bergerak tak tentu. Dalam rentang 11-14 November, tren kasus positif COVID-19 di Jakarta kembali naik.

“Andai saja waktu itu pemerintah enggak ngelonggarin PSBB, mungkin kondisinya enggak kayak sekarang,” kata Sugiyanto. “Masalahnya ada di situ.”

***

Sudah enam bulan lebih Azis berkutat dengan pemakaman jenazah COVID-19, dan selama itu pula kehidupan normalnya seperti lenyap ditelan Bumi.

“Bawaannya sekarang khawatir terus. Kayak enggak bisa santai,” ujar lelaki 37 tahun ini kepada saya. “Rasanya stres aja.”

Kecemasan Azis, dan kiranya para petugas Pondok Ranggon lainnya, tidaklah berlebihan. Bagi mereka, semakin hari kematian semakin akrab.

“Ini udah jadi obrolan rutin di lingkungan sini. Gimana kalau kami bawa virus ke rumah? Gimana kalau anak-anak kami tertular? Meski kami sampai sekarang sehat, ketakutan semacam itu enggak pernah hilang,” tambahnya.

Dan tekanan tak berhenti sampai di situ. Para petugas TPU Pondok Ranggon juga kerap mendapatkan perbuatan diskriminatif selama pandemi, baik dari lingkungan sekitar rumah masing-masing sampai dari orang yang tidak dikenal.

Rahmat mencontohkan pernah suatu waktu ketika dia keluar dari TPU sehabis bertugas dan berpapasan dengan orang, dia langsung dijauhi, seakan, mengutip pernyataanya, “Saya ini sarang virus.”

Pengalaman serupa dialami oleh Sugiyanto. Para tetangga yang dia kenal seakan menjaga jarak dengan dia seraya menaruh curiga bahwa dirinya membawa pulang virus Corona dan hendak menulari orang-orang di sekitarnya.

“Jujur, kalau ingat kayak gitu, sakit hati banget,” katanya. “Kami di sini kerja keras, nggak bisa banyak menghabiskan waktu dengan keluarga, dan berpeluang tertular, tapi sama lingkungan malah diperlakukan seperti itu.”

Jika sudah demikian, yang bisa dilakukan para petugas TPU ialah saling menguatkan. Setiap anggota senantiasa berpegang teguh pada keyakinan bahwa yang mereka jalani saat ini merupakan tugas yang menyangkut kepentingan banyak orang, dan tugas itu wajib ditempuh dengan tanggungjawab dan kebesaran hati.

Karena, seperti penuturan Azis, hanya mengeluh dan mengutuk keadaan tak berarti apa-apa. “Anggap ini tabungan untuk kehidupan di masa mendatang,” katanya lagi.

***

Terang berganti temaram. Hampir pukul enam sore dan azan Magrib berkumandang. Sekitar setengah jam setelah pemakaman terakhir, ambulans Palang Hitam tak lagi terlihat. Ini artinya, pekerjaan para pengubur jenazah untuk hari itu telah selesai.

Seorang komandan lalu meminta Rahmat mengumpulkan para anggota. Di bawah pancaran lampu diesel satu-satunya yang menyala di area pemakaman, mereka berbaris.

“Ayo, peregangan dulu,” ujar sang komandan, yang segera diikuti para anak buah di depannya.

Ketegangan di wajah para penggali kubur pun mulai mengendur. Sisa-sisa tekanan yang terkumpul sepanjang masa kerja perlahan terlepas, berganti gelak tawa yang memecah hening pemakaman.

Tak lama berselang, sang komandan meminta barisan dirapatkan. Samar-samar terdengar satu-dua petuah, ungkapan apresiasi, serta pesan tentang pentingnya menjaga kesehatan.

“Semoga besok enggak ada jenazah yang harus kita kebumikan. Semoga pandemi ini lekas berlalu,” katanya. Suara itu bergema di pemakaman, bergema pula dalam benak saya.

Tak ada yang benar-benar dapat memastikan apakah harapan tersebut akan terwujud. Namun, kini saya tahu bahwa ada cahaya di tengah kegelapan yang membutakan ini.

Share: Harapan Selalu Ada, Bahkan di Pekuburan Pondok Ranggon