Isu Terkini

Franz-Magnis Suseno Mencari Makna Kebangsaan

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Franz-Magnis Suseno datang ke Indonesia pada 1961 untuk belajar filsafat dan teologi di Yogyakarta. Ia, yang saat itu berusia 25 tahun, memutuskan untuk tak kembali lagi ke tanah airnya, Jerman. Dua pertiga hidup telah dijalaninya di Indonesia.

“Saya ingin membantu gereja katolik Indonesia dan saya cukup asyik dan terpesona oleh budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa,” tutur laki-laki yang akrab dipanggil Romo Magnis ini kepada Asumsi.

Keputusan untuk berganti kewarganegaraan pun bukan hal yang terlalu dipusingkannya. “Di Indonesia saya sudah dilibatkan oleh banyak pihak untuk mengisi materi pendidikan, diskursus, dan lain-lain. Sudah waktunya saya tidak perlu memperbarui izin tinggal, izin kerja, dan segala macam lagi,” ujar Romo Magnis.

Romo Magnis mulai mengurus status warga negara Indonesia pada 1970, dan mesti menunggu selama 7 tahun hingga kewarganegaraannya resmi berganti. Sebelum statusnya resmi pun Romo Magnis telah secara tekun mempelajari bahasa Jawa untuk membantu berkomunikasi dengan warga setempat. Ia juga menambahkan “Suseno” di belakang nama aslinya, Franz Graf von Magnis.

Ia mengaku tidak peduli dengan paspor Jermannya yang punya posisi lebih kuat di mata dunia daripada paspor Indonesia, dan justru senang ketika status kewarganegaraannya di Indonesia sudah sah. “Kalau saya punya pertimbangan seperti itu, sedari awal saya tidak datang ke Indonesia,” tegas Romo Magnis.

Saking tertariknya dengan budaya Jawa, Romo Magnis menerbitkan buku yang khusus menganalisis sejarah, tata krama, hingga pola pikir masyarakat Jawa pada 1981. Dalam buku berjudul Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa itu, Romo Magnis membandingkan tingkah laku dan kebiasaan masyarakat Jawa dengan “etika Barat”.

Patriotisme Semu Masyarakat Indonesia

Romo Magnis banyak menulis tentang makna kebangsaan, budaya, dan politik di Indonesia. Tulisan-tulisannya banyak diterbitkan di koran harian sejak tahun 90-an. Kini, walaupun telah berusia 83 tahun, Romo Magnis masih menulis.

Artikelnya yang terbaru, “Golput,” terbit di Harian Kompas pada Maret 2019. Romo Magnis menentang keras sikap orang-orang yang memilih untuk tidak memilih pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden Indonesia.

Mengatakan orang-orang golput sebagai orang yang bodoh, berwatak benalu, atau secara mentak tidak stabil, tulisannya ini mengundang banyak kritik. Maka, Romo Magnis pun menyesali perkataannya, mengaku telah melakukan “blunder” dan seharusnya tidak menggunakan kata yang sekeras itu.

Sepanjang hidupnya di Indonesia, Romo Magnis mengalami masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Dedikasinya terhadap Indonesia terlihat dari tulisan-tulisannya yang banyak mengupas demokrasi dan kebangsaan. Bukunya yang berjudul Etika Politik menjadi acuan pokok bagi mahasiswa filsafat dan ilmu politik di Indonesia. Ia pun menjabat sebagai direktur pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan telah mendapatkan banyak penghargaan dan anugerah.

Namun, Romo Magnis tak serta merta menyebut dirinya seorang nasionalis. “Orang yang berwarga negara Indonesia akan merasa dirinya nasionalis karena itu negaranya. Namun, orang-orang yang tidak berkewarganegaraan Indonesia juga bisa punya simpati dan keinginan untuk membantu. Indonesia punya banyak teman dan ahli luar negeri yang menulis banyak tentang Indonesia dan menjadi sahabat Indonesia, tetapi bukan nasionalis,” sebut Romo Magnis.

Ia mencontohkan Benedict Anderson, seorang peneliti asal Irlandia yang punya perhatian khusus terhadap Indonesia. Ia menulis tentang perkembangan politik Indonesia, terkenal karena kritik-kritiknya terhadap Orde Baru, bahkan pernah dilarang masuk ke Indonesia oleh Soeharto hingga Orde Baru runtuh.

Kepedulian Romo Magnis terhadap Indonesia sebagai negaranya ia lakukan dengan melontarkan kritik-kritik, termasuk kepada sikap patriotik semu masyarakat dan petinggi-petinggi Indonesia.

“Masyarakat masih terus mendengar kata-kata suci seperti demokrasi Pancasila, nilai-nilai kekeluargaan, sopan-santun Ketimuran, musyawarah mufakat, dst. Tapi pada waktu yang sama mereka menyaksikan kasus Marsinah dengan kekotoran luar biasa, kebohongan, penyiksaan, dsb,” tulis Romo Magnis dalam esainya “Mencari Makna Kebangsaan” (1994).

Romo Magnis merespons pembunuhan Marsinah, aktivis dan buruh pabrik yang diculik dan ditemukan tewas pada 8 Mei 1993, tiga hari setelah ia menghilang. Dua satpam dan tujuh pimpinan PT CPS tempat Marsinah bekerja ditangkap dan disiksa oleh aparat militer dan polisi supaya mereka mengaku telah merencanakan pembunuhan Marsinah.

“Maka tantangan terbesar yang kita hadapi adalah bagaimana mewujudkan keadilan sosial. Bukan tuntutan utopis yang diharapkan, melainkan tindakan nyata yang mengakhiri ketidakadilan berat yang dialami oleh masyarakat,” lanjut Romo.

Romo Magnis juga sering menuliskan esai di surat kabar untuk memperingati kemerdekaan Indonesia. Tulisannya yang berjudul “Demokrasi Pancasila” diterbitkan di harian Suara Karya untuk memperingati 50 tahun Proklamasi Kemerdekaan. Lewat tulisan ini, ia mengambil kesempatan untuk mengkritik sikap pejabat-pejabat Indonesia yang anti-kritik.

“Kiranya sudah waktunya untuk mengembalikan kepada masyarakat hak-hak untuk mengeluarkan pikiran, untuk berserikat, dan berkumpul secara bebas,” tulis Romo Magnis. Ia berpendapat menggunakan slogan “tidak sesuai dengan ketimuran” untuk membungkam kritik adalah cara yang sudah ketinggalan zaman.

“Budaya pejabat tersinggung adalah warisan feodal yang, sekurang-kurangnya, mulai pada tahun 2000, jangan ditoleransi lagi,” lanjutnya.

Musuh Komunisme

Romo Magnis datang ke Indonesia dengan niat membantu gereja Indonesia. Ia juga punya perhatian terhadap gerakan komunisme di Indonesia pada tahun 60-an. “Di Jerman, spesialisasi studi saya adalah Marxisme dan Leninisme. Saya merasa agak tahu tentang komunisme dan merasa barangkali gereja katolik di Indonesia butuh orang yang sedikit tahu tentang teori-teori komunisme,” ujarnya di wawancara.

Walaupun mempelajari Marxisme, ia tidak setuju dengan paham tersebut. Dalam artikel-artikelnya tahun 90-an, Romo Magnis berpendapat, “ideologi Marxisme-Leninisme yang totaliter dan anti-religius tak punya tempat di negara Pancasila.” Ia pun menerbitkan buku yang khusus mendedah pemikiran Vladimir Lenin dan Karl Marx. Buku Dalam Bayang-Bayang Lenin terbit pada 2003, sementara Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme terbit pada 1999.

Romo Magnis pun menertawakan sikap sekelompok masyarakat di Makassar beberapa waktu lalu yang malah merazia dan menyita bukunya. “Baru-baru ini buku-buku saya dirazia. Lucu sekali,” kata Romo Magnis sambil tersenyum.

Ia tidak setuju jika studi-studi tentang komunisme dilarang di negeri ini. Dalam tulisannya untuk harian The Jakarta Post pada 1995, ia mengamini peraturan MPRS No. 25 Tahun 1966 yang melarang kegiatan dan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme, tetapi menganggap mengkaji ajaran-ajaran tersebut secara kritis tidak sama dengan menyebarkannya.

Kebiasaan-kebiasaan pemerintah dan aparat negara untuk menuduh individu atau LSM yang memperjuangkan hak asasi manusia, bersimpati terhadap buruh, atau berdemo bersama petani-petani di kasus sengketa tanah sebagai komunis justru ia anggap kontra-produktif dengan niat negara untuk menghalau komunisme.

“Karena komunisme dilarang dan dianggap buruk, mahasiswa-mahasiswa justru jadi tertarik dan berbalik mengidealkan konsep Marxisme,” tulisnya. Romo Magnis justru mendorong terbukanya akses dan kesempatan untuk mempelajari secara saintifik teori-teori Marxisme. Ia berkata, “mengapa kita takut membiarkan intelektual-intelektual muda kita mengetahui sendiri apa yang baik bagi mereka?”

Share: Franz-Magnis Suseno Mencari Makna Kebangsaan