Sains

Es di Kutub Makin Cepat Mencair Picu Fenomena Pengungsi Iklim

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Unsplash

Mengkhawatirkan! Es di kawasan pesisir Arktik atau Kutub Utara saat ini kabarnya mencair dua kali lebih cepat dibandingkan sebelumnya akibat perubahan iklim yang ekstrem. Kenaikan permukaan laut yang bisa menenggelamkan daratan di Bumi semakin menjadi ancaman nyata. 

Dipicu Pemanasan Global

Mengutip CNN, hal ini diungkapkan hasil studi terbaru yang dipimpin oleh para peneliti di Universitas College London (UCL) Inggris. Penelitian menyimpulkan es di wilayah pesisir Kutub Utara saat ini, semakin menipis di kisaran 70% hingga 100% lebih cepat dari konsensus yang ditetapkan.

Profesor UCL Julienne Stroeve, melalui jurnal ilmiah The Cryosphere yang dikutip sumber yang sama, mengungkapkan semakin cepatnya es di Kutub Utara meleleh diketahui usai para peneliti melakukan penelitian pada kedalaman salju di atas es.

Pengamatan terhadap hal ini, kata dia sebenarnya sudah dilakukan selama beberapa dekade saat Bumi ini dianggap mulai menghangat akibat pemanasan global.

Baca juga: Waspada Fenomena Api Zombi yang Picu Kerusakan Iklim Global

“Kami percaya perhitungan baru kami adalah langkah visioner yang besar dalam hal menafsirkan data yang kami miliki dari satelit secara lebih akurat,” kata Profesor Stroeve.

Masih dalam riset yang sama, ia mengklaim wilayah Arktik saat ini kondisinya memanas tiga kali lipat pada tingkat global. Padahal jutaan kilometer persegi es yang ada di Kutub Utara berperan penting untuk menjaga Bumi supaya senantiasa dingin. 

Manfaatkan Satelit Antariksa

Pemimpin penelitian ini, Robbie Mallett mengatakan para ahli meneliti ketebalan es di Arktika dengan menghitungnya melalui pengukuran ketinggian es di atas air. 

Namun, pengukuran itu terdistorsi oleh salju yang mengapung. Maka, para peneliti menyesuaikannya dengan menggunakan peta kedalaman salju di Kutub Utara yang diklaim UCL tak memperhitungkan dampak perubahan iklim.

“Penghitungan ketebalan es laut sebelumnya didasarkan pada peta salju yang terakhir diperbarui 20 tahun lalu,” ujar Mallet.

Ia pun tak dapat membendung kekhawatirannya atas hasil penelitian ini yang menunjukkan kedalaman salju yang menurun untuk pertama kalinya, menunjukkan es Bumi mencair lebih cepat mengalir ke laut daripada biasanya. 

“Memanfaatkan satelit Badan Antariksa Eropa (ESA), para peneliti menghitung waktu yang dibutuhkan gelombang radar untuk mengetahui pantulan dari es, yang memungkinkan peneliti untuk menyimpulkan ketebalan total es,” jelas dia.

Tim UCL juga menggandeng Colorado State University, Amerika Serikat saat menerapkan model penghitungan salju untuk penelitian ini.

Model penghitungan ini, kata dia dilakukan dengan mengukur kedalaman dan kepadatan salju menggunakan suhu udara, hujan salju, hingga data gerakan es. 

Tujuannya, untuk melacak berapa banyak salju yang terakumulasi di es laut saat bergerak di sekitar Kutub Utara dan memungkinkan para ilmuwan mengukur tingkat keseluruhan fenomena penurunan ketebalan es, serta variabilitasnya dari tahun ke tahun. 

“Ketebalan es laut dari seluruh wilayah dianggap sangat penting karena merupakan indikator sensitif kenormalan Arktik. Es yang lebih tebal berfungsi sebagai selimut isolasi, untuk memfilter lautan dari pemanasan atmosfer di musim dingin dan melindungi lautan dari sinar matahari di musim panas,” terangnya.

Fenomena mencairnya es Kutub Utara yang lebih cepat juga berpotensi memicu ketegangan geopolitik antar negara-negara di dunia. Pasalnya, banyak negara melihat sumber daya di Arktik yang belum dimanfaatkan dengan menerapkan pengelolaan maritim terbaru.

Di sisi lain, negara-negara di wilayah Kutub Utara seperti Amerika Serikat (AS) dan Rusia telah sama-sama berjanji untuk memerangi perubahan iklim, deni menjaga perdamaian di kawasan itu seiring kepentingan strategis masing-masing negara meningkat.

Munculnya Fenomena Pengungsi Iklim

Pengkampanye Greenpeace Indonesia, Arie Rompas pun mengungkapkan kekhawatirannya atas hasil penelitian yang menunjukkan semakin agresifnya pencairan es di Kutub Utara.

“Ini yang paling mengkhawatirkan. Dampak dari perubahan iklim yang paling nyata adalah mencairnya es di Kutub Utara dan Kutub Selatan. Hal ini memang dipicu karena suhu rata-rata Bumi terus meningkat atau yang kita kenal pemanasan global,” jelas pria yang akrab disapa Rio ini melalui sambungan telepon kepada Asumsi.co, Sabtu (5/6/21).

Ia mengamini saat es yang ada di Kutub Utara dan Selatan terus mencair, bakal menyebabkan naiknya permukaan laut yang tak terkendali. 

“Artinya akan berimplikasi ke wilayah-wilayah pesisir, misalnya di pulau-pulau kecil di kawasan Pasifik itu mulai terdampak. Belakangan muncul fenomena pengungsi iklim karena masyarakat di pulau-pulau kecil yang ada di sana rumahnya mulai tenggelam, akibat kenaikan air laut yang disebabkan mencairnya es di Kutub Utara. Mereka jadi harus mengungsi ke tempat lain,” terangnya.

Indonesia, kata dia sebenarnya juga sudah mulai terdampak peningkatan air laut yang disebabkan mencairnya es di Bumi. Ia mencontohkan kawasan yang terdampaik seperti di Pantai Utara, Jakarta.

“Itu sudah mulai terjadi. Banjir rob yang mulai terjadi di sana, merulak tanda-tanda nyata memang permukaan air laut semakin meningkat. Situasi ini sebenarnya akan semakin parah jika kebijakan-kebijakan terkait lingkungan tidak disikapi secara serius,” tuturnya.

Daratan Bumi Bisa Semakin Tenggelam

Rio menegaskan, hal yang perlu diantisipasi saat ini mencegah terjadinya pemanasan global sampai ke tingkat 1,5 derajat Celcius, sebagaimana yang disepakati pada Kesepakatan Paris yang ditanda tangani secara global pada tahun 2015.

Baca juga: Lewat Beruang Pizzly Kita Tahu Krisis Iklim Itu Nyata

“Kalau kemudian tingkat laju pemanasan global tidak dihentikan, diprediksi setengah dari Kutub Utara akan mencair. Dampaknya sangat nyata bila terus mencair dan tidak dihentikan. Laju pemanasan globalnya mengganas, daratan Bumi semakin tenggelam,” tuturnya.

Atas kekhawatiran terjadinya pencairan es di Kutub Utara yang semakin ekstrem, ia mengajak seluruh pihak untu bertindak dan menyikapinya secara serius.

“Kesepakatan Paris harus dilakukan secara nyata. Artinya, kesepakatan menahan laju perubahan iklim di atas rata-rata sebesar 1,5 sampai 2 derajat Celcius harus dilakukan dengan upaya-upaya yang progresif,” ucapnya.

Mulai dari sekarang, ia mengingatkan politisi, pejabat pemerintah, pelaku industri sampai masyarakat biasa supaya lebih sadar menjaga Bumi dari ancaman isu-isu semacam ini, di tengah momen Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati setiap tanggal 5 Juni.

Menurutnya, selama ini masih banyak orang yang menyepelekan langkah kecil untuk menjaga lingkungan karena dianggap klise, padahal benar-benar berdampak besar sampai mencegah percepatan es di Arktik mencair.

“Kayak enggak membuang sampah sembarangan, hidup dengan cara-cara yang berkelanjutan, menggunakan transportasi publik yang ramah lingkungan harus terus dilakukan dan industri mesti berubah dari segi rencana pembangunannya, dengan tidak lagi mengeksploitasi alam dan menebang hutan,” tandasnya.

Share: Es di Kutub Makin Cepat Mencair Picu Fenomena Pengungsi Iklim