Isu Terkini

Enggak Semua Chinese Indonesian Itu Kaya, Lho!

Rosa Cindy — Asumsi.co

featured image

Coba lakukan pencarian pada mesin pencari Google dengan kata kunci “keturunan Tionghoa kaya”. Dijamin, ada banyak tulisan yang menyuguhkan alasan Chinese Indonesian alias orang Indonesia keturunan Tionghoa (dipandang) kaya. Beberapa di antaranya bahkan terpublikasikan dari media-media ternama tanah air.

Kenyataannya? Enggak juga, lah!

Yup, sesuai judulnya, tulisan ini mau mematahkan pandangan kalau semua Chinese Indonesiansitu kaya. Kenapa begitu?

1. Enggak Semua Terlahir Kaya, Hanya Banyak Berjuang

Kalau baca beberapa tulisan mengenai alasan Chinese Indonesian cenderung lebih kaya, pasti ada alasan bahwa mereka pintar dan cermat mengatur keuangannya. Artinya, enggak semua Chinese Indonesian terlahir dengan sendok emas dan punya masa depan terjamin. Mereka hanya banyak berjuang.

Meski demikian, banyak berjuang juga bukan artinya selalu berhasil dan hidup bergelimang harta. Jatuh bangun pasti ada, dan perjuangan dari titik nol juga artinya mengalami masa-masa sulit.

2. Enggak Semua Chinese Indonesian Itu Kayak A Ling

Masih ingat A Ling, gadis perempuan yang jadi cinta pertama Ikal di buku dan film Laskar Pelangi? A Ling adalah anak dari pemilik Toko Sinar Harapan tempat Ikal membeli kapur papan tulis. Di sana lah cinta Ikal bersemi.

Tapi bukan itu intinya. A Ling, seorang keturunan Tionghoa, bisa bepergian dari Belitung ke Jakarta (yang sudah termasuk keren kala itu), tidak menjadi bukti bahwa semua keturunan Tionghoa itu kaya.

A Kiong, buktinya. Dia adalah sepupu A Ling, yang juga memiliki kesulitan ekonomi dan harus bersekolah bersama kawan-kawan Laskar Pelangi di gedung yang hampir roboh. A Kiong menjadi bukti bahwa enggak semua Chinese Indonesian adalah orang kaya.

3. Hampir Enggak Bisa Ujian Karena Nunggak Uang Sekolah

“Dulu papa usaha wartel, dan keempat anaknya ini masih dalam usia sekolah, jadi berat banget. Ya, gue hampir enggak boleh ikut ujian karena belum bayaran. Itu gue sedih banget sampai nangis,” kata Debora, seorang mahasiswi keturunan Tionghoa, mengenang masa-masa SD-nya.

“Dari kecil apa yang gue mau, enggak harus terkabul. Lihat temen punya, jadi pengin, tapi enggak bisa apa-apa. Apa-apa juga harus ingat saudara,” tutur anak bungsu dari empat bersaudara ini.

Kesulitan tersebut masih harus ditanggungnya hingga memasuki usia kuliah. Debora yang lebih berminat memasuki jurusan desain, terpaksa banting setir ke jurusan komunikasi untuk mempermurah biaya kuliahnya.

“Ini supaya kuliahnya enggak berhenti di tengah jalan karena biaya. Soalnya desain mahal banget, belum lagi beli alatnya,” katanya.

Hingga kini, kehidupan keluarganya ditanggung oleh ayahnya yang berprofesi sebagai karyawan. Demi membantu perekonomian keluarga, ibunya menerima pesanan makanan, seperti mie ayam dan nasi tim. Debora pun membantunya memasarkan di lingkungan kampus.

Cerita Debora harusnya mengingatkan bahwa enggak semua Chinese Indonesian hidup bergelimang harta. Ya, memang sih, ada juga yang merajai peringkat orang terkaya di Indonesia. Tapi itu hanya satu-dua-tiga-empat-lima orang di antara jutaan atau miliaran Chinese Indonesian lainnya yang bernasib seperti Debora dan keluarganya. Ketika yang kaya bisa goyang-goyang kaki menikmati hartanya, ratusan, ribuan (jutaan?) Chinese Indonesian juga enggak beda layaknya yang lain; bekerja dan berusaha untuk mencukupi kebutuhan harian dan masa depan.

Artinya, ada banyak Chinese Indonesian yang kaya. Ada banyak pula yang hidupnya biasa-biasa saja, dan tidak sedikit lainnya yang juga kesulitan secara ekonomi.

4. Minta Bantuan Gereja Untuk Sekolahkan Anak

Namanya juga hidup, segala peristiwanya selalu tidak terduga. Chinese Indonesian pun enggak beda layaknya manusia lain, yang mengalami pahit-manis kehidupan.

“Mamaku, kan, panitia dari Ayo Sekolah Ayo Kuliah [ASAK, gerakan bantuan dana untuk pendidikan warga tidak mampu, -red] di gereja. Waktu itu, ada satu orang ibu keturunan Tionghoa datang ke Mama. Dia minta tolong untuk dibiayakan sekolah anaknya. Suaminya tadinya karyawan, tapi kecelakaan dan berujung lumpuh di kedua kakinya. Akhirnya si ibu yang harus kerja freelance, serabutan sana-sini, untuk bayar biaya hidup sehari-hari. Katanya, untuk bayar kontrakan rumah tiga ratus ribu per bulan saja sudah susah, makanya minta bantuan ASAK untuk bayarkan sekolah anaknya,” cerita Daniel Steven, seorang keturunan Tionghoa lainnya.

Hal itu, lanjutnya, dilakukan ibu tersebut agar pendidikan anaknya tidak terputus.

Nah, kalau kalian enggak merasa bersalah untuk menghabiskan Rp300 ribu untuk make-up, kuota internet, atau ngopi di kafe, jangan bilang kalau semua Chinese Indonesian pasti orang kaya, ya!

5. Enggak Bisa Pukul Rata

Disebutkan Enny Sri Hartati, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), beberapa kejadian di negeri ini memperkuat posisi pengusaha keturunan Tionghoa untuk merajai daftar orang terkaya.

Pada 1997 misalnya, para pengusaha keturunan Tionghoa mendapatkan porsi bantuan likuiditas yang lebih besar dari pengusaha non-Tionghoa. Sebab, tahun itu, Indonesia tengah mengalami krisis keuangan, sehingga penyelewengan dana pada sektor perbankan terjadi, yang mana sektor perbankan dikuasai pengusana keturunan Tionghoa.

“Ini fakta, tapi tidak bisa menarik garis lurus bahwa semua keberhasilan etnis tertentu akibat melakukan moral hazzard, kan tidak bisa begitu,” kata Enny seperti dilansir BBC Indonesia.

Ekonom Unika Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko menambahkan, “Kalau pun data objektifnya mengatakan kebanyakan orang terkaya di Indonesia beretnis Tiongkok, [kesenjangan sosial] bukan persoalan dia Tiongkok atau bukan. Bukan salahnya dia [beretnis] Tiongkok. Persoalannya pada distribusi yang tidak merata.”

Jadi, penting untuk diingat, ya guys, kalau tidak semua Chinese Indonesian itu kaya. Chinese Indonesian itu enggak lebih dari sekadar persoalan rasial yang disatukan dalam Bhinneka Tunggal Ika-nya Indonesia, dan sama sekali enggak ada hubungannya sama status ekonomi. Gong xi, gong xi!

Share: Enggak Semua Chinese Indonesian Itu Kaya, Lho!