Isu Terkini

Eks-Direktur Remotivi: Selamatkan Jurnalisme, Bukan Bisnisnya

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Era digital memaksa industri media berubah. Tak sedikit media yang berguguran, dan yang mampu bertahan harus terus-menerus mencari cara agar tak tumbang. Hal ini semakin diperparah dengan kedatangan COVID-19. Di Indonesia, Dewan Pers bersama Asosiasi Perusahaan Media dan Asosiasi Profesi Media sempat mendorong pemerintah untuk memberikan insentif ekonomi bagi industri media nasional yang dilanda krisis akibat pandemi. Menurut mereka, perlu ada peran pemerintah untuk memastikan pers dapat menyajikan informasi dan analisis yang akurat dan memastikan masyarakat terhindar dari kesimpangsiuran.

Krisis jurnalisme di Indonesia ini juga diamini oleh Roy Thaniago, peneliti sekaligus mantan direktur Remotivi. Menurutnya, perlu ada skema baru untuk menyelamatkan jurnalisme di Indonesia. Informasi menurutnya perlu dilihat sebagai kebutuhan mendasar masyarakat, berdampingan dengan air, tanah, dan udara. Masyarakat membutuhkan informasi untuk dapat bertahan hidup, merespons kebijakan pemerintah, dan memilih produk yang tepat untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari.

“Artinya, kalau orang nggak bisa hidup tanpa air, orang juga nggak bisa hidup tanpa informasi. Di dalam demokrasi, konteks ini jadi semakin penting,” ujar Roy dalam diskusi “Menyelamatkan Media dengan Subsidi Publik, Kenapa?” (15/7).

Berbeda dari Dewan Pers yang memberi penekanan pada ketahanan bisnis media, Roy menyoroti keberlangsungan jurnalisme yang bermutu.

”Buat saya, gagasan yang dilontarkan oleh Dewan Pers ini lebih menyelamatkan bisnis jurnalisme, tetapi tidak menyelamatkan jurnalisme. Jadi, seperti jangka pendek. Bisnisnya yang diamankan supaya tetap tumbuh. Apakah konglomerat media adalah kelompok yang akan dibiayai pemerintah? Apakah pajak kita akan dipakai untuk membiayai pebisnis raksasa? Saya pikir itu yang membuat posisi saya berbeda dengan Dewan Pers,” lanjutnya.

Selama ini, jurnalisme di Indonesia kebanyakan dikelola dengan model komersial. Artinya, kelangsungan jurnalisme bertopang pada iklan alih-alih dukungan dari pembaca. Walaupun telah ada media daring di Indonesia yang memanfaatkan dana hasil langganan pembaca-pembacanya untuk bertahan, tetapi pemasukan itu tidak sebanding dari hasil iklan. Hasilnya, banyak media daring yang bertumpu pada yellow journalism—menghasilkan berita-berita sensasional dan clickbait yang menempatkan publik sebagai penonton drama ketimbang aktor yang punya peran aktif.

“Agenda pemberitaannya juga jadi tidak mandiri. Karena komersial, mereka nggak ada dana buat membiayai jurnalisme investigasi. Karena berusaha mencari pasar sebesar-besarnya, mereka cari apa yang ramai. Itu yang kemudian mereka beritakan. Ujung-ujungnya, corak dari pelayanan publik ini luntur. Mereka tidak lagi melayani publik sebagai warga negara, tetapi sebagai konsumen,” ungkap Roy.

Jurnalisme yang dikelola secara komersial ini juga mengakibatkan wartawan sebagai pekerja media menjadi rentan. Jurnalis dituntut untuk menulis sangat banyak berita. Mereka juga dipekerjakan dengan sistem kontrak, sehingga rawan diberhentikan. Hal ini dinilai berpengaruh kepada kesehatan mental dan perkembangan intelektual jurnalis—yang nantinya berpengaruh juga kepada kualitas berita yang mereka hasilkan.

“Ujung-ujungnya berdampak pada demokrasi. Kita yang tadinya melihat informasi sebagai sumber daya sosial yang penting untuk mengambil keputusan, berkumpul, dan membicarakan sesuatu, akhirnya justru disuplai oleh sebuah moda yang tidak menjadikan kita semakin berdaya—tapi semakin diperdaya,” kata Roy.

Sistem bayar-untuk-berlangganan pun tak sempurna. Walaupun media-media internasional seperti New York Times membuktikan bahwa jurnalisme dapat bertahan melalui skema langganan, tetapi tak semua media bisa seberuntung itu. Menurut Roy, skema ini hanya berhasil bagi media besar yang sudah punya tradisi panjang dan punya kepercayaan besar dari masyarakat luas. Alhasil, media kecil yang berdomisili di daerah terpencil kesulitan untuk mengandalkan skema ini. Kedua, hanya para pembaca yang mampu secara ekonomi yang dapat mengakses informasi yang berkualitas. Kelas pekerja dan kelompok-kelompok terpinggirkan lain disisakan oleh berita-berita dari media berkualitas buruk.

Roy menawarkan ide public service journalism, di mana negara dan publik turut terlibat dalam mengelola jurnalisme. Sebagaimana pendidikan, obat-obatan, dan kesehatan tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, Roy beranggapan hal yang sama juga mesti diterapkan bagi jurnalisme. Untuk itu, ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi, baik oleh media ataupun pemerintah.

Pertama, media perlu berubah dari lembaga profit menjadi nonprofit. Media tetap bisa mencari keuntungan, tetapi dipakai sepenuhnya untuk kepentingan jurnalisme. Kedua, media mesti dikelola secara kolektif dan mandiri, contohnya oleh serikat pekerja media itu sendiri. Ketiga, adanya badan independen di luar pemerintah yang mengelola dana untuk jurnalisme.

“Jadi, kekhawatiran orang [bahwa] pemerintah akan mengintervensi jurnalisme bisa diatasi. Di luar negeri, badan-badan semacam ini ada. Mulai dari Finlandia, Kanada, dan Amerika. Cukup banyak contohnya.”

Untuk dapat melaksanakan hal itu, Roy menilai perlu ada perubahan dari segi mental paternalistik pemerintah yang menganggap mendanai sama dengan mesti menyebarkan narasi pro-pemerintah, perlunya penelitian tentang kondisi bisnis media di setiap daerah, dan ada perbaikan profesi jurnalisme itu sendiri untuk menghindari persoalan clickbait dan berita sensasional. Lebih dari itu, perbaikan terhadap jurnalisme mesti juga memperhatikan ekosistem jurnalisme secara lebih luas. “Misalnya literasi media, pendidikan di sekolah tentang apa itu jurnalisme, dan akses digital yang perlu lebih merata dan murah dan stabil,” katanya.

“Ini bukan hanya tentang jurnalisme, ini tentang ekologi informasi. Jadi, banyak dimensi lain harus dilihat. Kalau kita hanya fokus memperbaiki jurnalisme tapi kemudian tidak membenahi hal-hal lainnya, ya percuma,” lanjut Roy.

Share: Eks-Direktur Remotivi: Selamatkan Jurnalisme, Bukan Bisnisnya