Isu Terkini

Dua Tahun Brexit: Cukupkah Soft Brexit Ala Theresa May?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Pada tanggal 23 Juni 2016, referendum Brexit dilakukan. Secara demokratis, referendum tersebut menghasilkan sebuah keputusan besar: keluarnya United Kingdom (UK) dari Uni Eropa. Perlu dicatat bahwa UK merupakan negara independen yang berisikan Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara. Keputusan ini tentunya mengagetkan banyak pihak, karena banyak yang mengira meskipun referendum dilakukan, hal tersebut akan menghasilkan keputusan bahwa UK tidak akan keluar dari Uni Eropa. Tak terkecuali Perdana Menteri UK kala itu, David Cameron. Sehari setelahnya, Cameron menyatakan mundur dari jabatannya. Theresa May  pun naik menjadi Perdana Menteri.

Theresa May, yang juga berasal dari Partai Konservatif Inggris, mengemban tugas yang cukup berat: membuat Brexit, sebuah singkatan yang memiliki arti keluarnya UK dari Uni Eropa, menjadi sesuatu yang amat menguntungkan bagi UK. Theresa May pun membentuk kabinet yang berisikan pihak-pihak yang menginginkan UK keluar dari Uni Eropa. Nama-nama beken pun dipilih, salah satunya adalah Boris Johnson sebagai Menteri Luar Negeri. Boris merupakan seseorang yang paling keras mendukung keluarnya UK dari Uni Eropa.

Dua Tahun Pasca Referendum: Bagaimana Nasib Brexit?

Kini, dua tahun pasca Referendum Brexit dilakukan, dan hampir 1,5 tahun dari ketika Perdana Menteri May mengaktifkan klausa keluarnya UK dari Uni Eropa di bulan Maret 2017, arah UK masih belum jelas. Orang-orang yang mendukung Brexit kini memiliki dua posisi yang berbeda, yaitu orang-orang yang mendukung hard brexit dan orang-orang yang mendukung soft brexit. Hard Brexit adalah suatu posisi yang menginginkan UK keluar dari Uni Eropa secara total, dengan tidak lagi berada dalam mekanisme pasar tunggal dan custom union yang diterapkan oleh Uni Eropa. Hard Brexit dapat memberikan UK kontrol total pada imigrasi dan perdagangan internasional. Khusus untuk perdagangan, UK akan menggunakan mekanisme milik WTO.

Di sisi lain, Soft Brexit sedikit berbeda. Posisi ini menginginkan UK tidak lagi menjadi anggota tetap Uni Eropa, tetapi tetap berada di dalam pasar tunggal dan custom union Uni Eropa. UK pun harus tetap membayar sejumlah uang ke Uni Eropa dan harus mematuhi aturan tentang kebebasan berpindah untuk barang, jasa, orang, dan modal yang diberlakukan dalam Uni Eropa. Orang-orang yang mendukung posisi ini cenderung berasal dari orang-orang yang saat referendum menginginkan UK tetap bertahan di Uni Eropa.

Theresa May pun dihadapkan antara dua pilihan tersebut. Pada salah satu pidatonya, May pernah berujar, “Brexit means Brexit.” Maksudnya, keputusan referendum tidak boleh diganggu gugat. Pada hari Jum’at tanggal 6 Juli 2018, untuk menyelesaikan dilema tersebut, May pun mengumpulkan seluruh kabinet di sebuah daerah bernama Chequers untuk merumuskan rencana Brexitnya. Pernyataan yang keluar dari rapat tersebut pun bernama Pernyataan Chequers.

Dalam pernyataan tersebut, tertera jelas seperti apa yang Brexit yang direncanakan oleh Theresa May. Dalam pernyataan tersebut, May berencana untuk menegosiasikan adanya sebuah buku aturan bersama antara UK dan Uni Eropa dalam konteks perdagangan. Selain itu, May juga berharap Uni Eropa akan menyetujui pembentukan sebuah Facilitated Customs Arrangement, yang memberikan keleluasaan bagi UK untuk menerapkan tarif pada barang-barang yang diinginkannya, begitu pun Uni Eropa pada barang-barang yang diinginkannya. Secara singkat, Pernyataan Chequers menyatakan UK tidak akan meninggalkan aturan dalam pasar tunggal dan custom union secara penuh, tapi menggantinya agar UK memiliki posisi yang lebih independen.

Pernyataan tersebut awalnya disetujui oleh seluruh anggota kabinet Theresa May yang hadir di Chequers. Namun, hanya selang dua hari, terdapat tiga anggota kabinet yang merupakan hard brexiters mundur dari posisinya sebagai menteri. Pertama, Boris Johnson. Ia merupakan salah satu orang yang paling keras dalam urusan Brexit. Ia mundur dari jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri. Kedua, David Davis. David merupakan orang pertama yang keluar dari kabinet dan menyatakan ketidakpercayaannya atas Pernyataan Chequers. Ia meninggalkan posisi yang amat strategis, yaitu Sekretaris Brexit. Ketiga, Steve Baker. Steve Baker, yang merupakan wakil dari David Davis sebagai sekretaris Brexit, pun ikut mundur setelah David menyatakan mundur. Baker merasa pernyataan tersebut tidak sesuai dengan gambarannya mengenai Brexit.

Pernyataan Chequers sebagai Bentuk Soft Brexit

Ketiga anggota kabinet yang keluar memiliki posisi yang sama tentang Brexit: yaitu Hard Brexit. Boris Johnson, Steve Baker, maupun David Davis merasa bahwa rencana Theresa May dalam Pernyataan Chequers merupakan pengkhianatan terhadap orang-orang yang memilih keluar dari Uni Eropa dan menginginkan Hard Brexit. Dalam pernyataan mundurnya, Johnson merasa pernyataan Chequers hanya mengarahkan UK ke arah semi-Brexit, sesuatu yang tidak diharapkan olehnya. Selain itu, David Davis juga menyatakan bahwa Pernyataan Chequers hanya membuat UK menyia-nyiakan kesempatan jika pada akhirnya mempertahankan hal tersebut. Dengan kata lain, Pernyataan Chequers tidak cukup bagi para hard brexiters tersebut.

Pernyataan Chequers tersebut pun menjadi tanda ketidakstabilan yang nyata dalam kabinet May. Banyak pihak yang merasa bahwa ketidakstabilan ini akan mengakibatkan mosi tidak percaya pada kepemimpinan May dan berujung pada Pemilihan Umum. Ada juga yang yakin bahwa Theresa May akan mundur dan mempersiapkan pemilihan umum. Namun, tidak sedikit yang melihat bahwa ia akan terus bertahan sampai titik darah penghabisan, meskipun hal tersebut harus dibayar dengan melakukan bongkar pasang kabinet. Satu hal yang pasti adalah kini, Theresa May telah menyatakan posisinya secara jelas. Beberapa anggota kabinet yang baru dipilih pun dinilai memiliki posisi yang sama dengan May. Sekarang, tinggal menunggu dinamika dari House of Commons, terutama anggota-anggota Partai Konservatif Inggris, terkait Pernyataan Chequers dan posisi May sebagai Perdana Menteri.

Share: Dua Tahun Brexit: Cukupkah Soft Brexit Ala Theresa May?